Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Manfaat dan kegunaan mempelajari fiqh dan ushul fiqh


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Diketahui bahwa fiqh itu wajib ein hukumnya untuk dipelajari bagi tiap mukalaf. sebagai umat islam tentu wajib melaksanakan kewajibannya untuk melakukan ibadah yang berbentuk amaliyah.
Fiqh lahir dari ushul fiqh, yakni ushul fiqh adalah pencetus lahirnya hukum fiqh. Ushul fiqh berperan sebagai penetapan segala hukum fiqh sedangkan fiqh adalah hasil dari pada ushul fiqh. Ushul fiqh tidak lahir dengan begitu saja, dalam menetapkan hukumada peran imam ijtihad yang mensyarahkan nash yang masih ijmali dan mengeluarkan fatwa hukum yang belum ada pada masa Rasulullah SAW.
Hukum ijtihat tidak terlepas dan melenceng dari  AL-QURAN dan Assunah karena tidak sembarangan orang dapat mengijtihadkan hukum dan tentu ada kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi imam mujtahid. Oleh karena itu kami akan mencoba menjelaskan pengertian fiqh dan ushul fiqh serta manfaat dan kegunaan mempelajari fiqh dan ushul fiqh mudah-mudahan penjelasan kami dalam makalah ini dapat menambah wawasan kita dalam belajar fiqh dan ushul fiqh. Kritik dan saran dari dosen bidang studi serta teman-teman selalu kami harapkan.
B.     Rumusan masalah
1.      Apa pengertian fiqh dan ushul fiqh?
2.      Manfaat mempelajari fiqh dan ushul fiqh?
3.      Kegunaan mempelajari fiqh dan ushul fiqh?




C.     Tujuan masalah
Dari rumusan masalah dapat disimpulkan bahwa tujuan penulis dalam makalah ini tidak lepas dari rumusan masalah yang penulis paparkan, yakni: 1. Dapat mengetahui apa pengertian fiqh dan ushul fiqh.
2. manfaat serta kegunaan memplajari fiqh dan ushul fiqh.
3. kegunaan mempelajari fiqh dan ushul fiqh.

 sebagai umat islam kita wajib belajar fiqh dan sebagai orang awam mengetahui ushul fiqh sebagai sumber asal ilmu fiqh, yang tujuannya meskipun tidak mencetuskan hokum layaknya imam mujtahid fiqh menfatwakan hukum setidaknya mempelajari, mengetahui, serta menghafal sedikit kaidah fiqh.















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian fiqh dan ushul fiqh
Istilah ushul fiqh dilihat dari dua sisi. Dari sisi tarkib idhofi dan dari sisi laqab (sebagai istilah untuk ilmu tertentu). Ushul fiqh sebagai takrib idhofi terdiri dari kata ( أصول ) dan fiqh yang mempunyai makna tersendiri. Kata ushul merupakan jama’ dari ashl yaitu berarti sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain. Atas dasar ini  ushul fiqh dipandang sebagai sandaran bagi fiqh dan sebagai alat untuk melahirkan fiqh.
Secara istilah kata ashal mempunyai beberapa arti, yaitu[1]
1.      Al- kaidah al- kulliyah (kaidah umum), yakni suatu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku untuk seluruh cakupannya. Misalnya ketentuan tentang keharaman bangkai bagi setiap muslim dengaan berlandaskan pada firman Allah  QS: al-baqarah;173:
“sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut (nama) selain Allah.
2.      Dalil (landasan hokum) seperti ungkapan para ahli ushul fiqh bahwa aslu lilwujubi al-sholat al-kitabu wa al-sunnah (dalil wajib sholat adalah alquran dan sunnah)
3.      Rajih (yang terkuat) seperti ungkapan para ahli usul fiqh:
الاصل في الكلا م الحقيقه
“Yang dipandang kuat dari suatu ungkapan adalah makna hakikat”.
Dengan demikian setiap perkataan yang dibaca dan didengar yang menjadi patokan adalah makna hakikat dari bacaan dan perkataan itu.



4.      Mustashhab, yaitu memberlakukan hokum yang ada sejak semula selama belum ada dalil yang membatalkan atau merubahnya. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudhu, lalu ia ragu apakah masi ataupun sudah batal. Namun ia merasa yakin belum melakukan sesuatu yang membatalkan wudhunya maka berdasarkan kaidah tadi orang tersebut tetap masi suci karena pada mulanya memang dia telah bersuci (wudhu).
5.      Al- maqis (cabang) seperti tindakan para ulama mengqiaskan terjadinya riba pada beras dan gandum adalah ashl karena ada ketentuan hukum mengenai ribanya dalam hadis nabi.

Dari lima pengertian ushul secara bahasa, ushul dengan pengertian dalil yang biasa dipakai dalam ilmu ushul fiqh. Pandangan seperti ini dianut oleh al- syatibi dalam kitabnya al-munawarah fi ushul as-syariah  yang memehami ushul fiqh dalam dua bentuk. Pertama sebagai al-kuliyat al-khams yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah atau disebut pula dengan al-adilah (ushul-ushul al fiqh. Bentuk pertama ini semuanya qath’i. Kedua sebagi al-Qawanin yang diistinbathkan dari Al-Qur’an dan sunnah. Bentuk terakhir ini lazim dikenal banyak orang dengan ushul fiqh.
Sementara kata fiqh secara etimologi berasal dari kata فقها yang merupakan masdar dari fiil madhi fakiha dan fiil mudharik yafkahu berarti paham . selain itu ada yang berpandangan bahwa fiqh berarti paham yang mendalam untuk sampai kepadanya perlu mengerahkan pemikiran secara ijtihad (sungguh-sungguh). Kedua arti fiqh ini dipakai para ulama dan masing-masing mempunyai alasan yang kuat. Kata fiqh juga digunakan untuk menunjukkan pemahaman terhadap sesuatu dengan baik secara zahir maupun batin.
Kata fiqh berkembang dikalangan ulama secaara khusus berarti paham yang mendalam. Orang yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang fiqh disebut faqih. Kata fuqaha atau yang seakar dengannya muncul dalam Al-Qur’an sebanyak 20 kali yang sebagian besaarnya mengacu kepada makna pemahaman mendalam[2].

Fiqh merupakan hasil kreatifitas mujtahid dalam menggali dalil-dalil tentang suatu persoalan hokum baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun sunnah, hal itu bukan diproleh melalui taqlid, disisi lain juga bukan dikatakan fiqh bila mengetahui hukum Allah melalui ketentuan yang termasuk dalam kategori ma’lum bi al-dharurah.
Kalangan syaf’iyaah mendefinisikan: fiqh adalah ilmu tentang hokum syara’ yang bersifat amaliyah diproleh melalui dalili-dalil yang terperinci.
Sementara kalangan Hanafiyah mendefinisikan:fiqh adalah: fiqh adalah pengetahuaan seseorang tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban.
Kalangan syafi’iyah muta’akhirin seperti imam al-ghazali memberi definisi: fiqh adalah sumber bagi ilmu tentang akhirat.
Fiqh sebagai hasil ijtihad mujtahid dapat berubah, beragam dan dikembangkan mujtahid berikutnya. Kemungkinan berubahnya fiqh mengambarkan keelastisannya. Fiqh memiliki relativitas dari sisi kepada siapa fiqh tersebut dinisbahkan (dinisbahkan) kepada imam syafi’i, Abu hanifah dan imam malik. Relativitasnya dapat diamati dari kawasan mana fiqh dilahirkan, dari kawasan Madinah, Irak, Andalusia dan kawasan lain. Meskipun fiqh bersifat zhan tetapi harus diamalkan mujtahid yang melahirkannya dan siapa yang menyakini.
Dengan membandingkan urairan diatas dan uraian sebelumnya tentang fiqh terlihat bahwa antara fiqh dan ushul fiqh mempunyai hubungan erat. Ushul fiqh membicarakan tentang kaidah-kaidah umum,sedangkan penerapan kaidah-kaidah tersebut kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi merupakan objek kajiaan fiqh sehingga melahirkan fiqh itu sendiri.
Menurut Rizka Agustin) ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah dan hukum fiqh atau disebut dengan ashal, yakni sebelum ditetapkan hukum fiqh maka harus berpedoman terlebih dahulu kepada kaidah fiqh. Fiqh adalah hasil ijtihat atau buah dari ushul fiqh, yang merupakan buah fikir, atau gagasan para imam mujtahid yang telah sampai standar untuk menjadi mujtahid, dan karyanya disebut fatwa yang bisa digunakan oleh masyarakat awam untuk dijadikan panduan, dan pedoman.
Menurut (Eka Nofiya Sari) ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari metode penetapan hukum fiqh yang mana terdapat cara dan kaidah ushul fiqh. Fiqh adalah sekumpulan hukum syarak yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalil yang terperinci, dan dihasilkan dengan jalan ijtihad.
B.     Manfaat mempelajari fiqh dan ushul fiqh
Menurut para ahli ushul fiqh, manfaat utama ilmu ini adalah untuk mengetahui kaidah-kaidah yang bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk diterapkan pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehingga dapat diistinbathkan hukum syara’ yang ditunjukkannya. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqh diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum ditunjukkannya. Dengan ushul fiqh dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain. Melalui dalil-dalil yang ada dalam kajian ushul fiqh, seperti qiyas, istihsan, istishab, urf dapat dijadikan landasan menetapkan persoalan yang hukumnya tidak dijelaskan langsung oleh nash.
Sementara manfaat utama fiqh untuk dapat menerapkan hukum syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataan mukallaf. Fiqh meupakan rujukan bagi hakim dalam menetapkan keputusan dan menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan, fiqh menjadi petunjuk berharga bagi setiap mukallaf dan menetapkan hukum perkataan dan perbuatannya sehari-hari.
Selain itu tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk:[3]
1.      Menerapkan kaidah-kaidah dalil syara’yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’yang bersifat amali;
2.      Dengan kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-nash syara’dan hokum yang terkandung didalamnya.
3.      Mampu memahami secara baik dan tepat  apa-apa dirumuskan ulama mujtahid dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu.
Ø  Mukalaf mengetahui cara beribadah hukum syar’i kepada allah yang berhubungan dengan amalan yang di instibatkan dengan dalil-dalil yang jelas. Hukum syar’i islam bersumber dari la-qur’an dan dalil-dalil syar’i yang berhubungan  dengan segala tindakan manusia baik ucapan dan perbuatan.
Ø  Mempelajari ilmu figh juda memudahkan mengerjakan hal-hal yang sunah yang bersangkutan dengan ibadah baik yang madha dan ghairu madha.[4]

Manfaat ushul figh bagi seorang mujtahid adalah menjadi pedoman dalam menentukan/menetapkan sesuatu hukum syara’ berdasarkan  dalil yang ia dapatkan, sedangkan bagi seorang muttabi’ karna ia mengetahui dasar hukum dari suatu amal yang ia ikut kerjakan ata yang ia ikuti maka ia terhindar dari perbuatan taglid.
Ushul figh juga sangat berfaedah bagi seorang mujtahid dalam menetapkan hukum syara’. Demikian bagi mahasiswa sarjana agama yang berstatus cendikiawan tentu ia tidak mungkin beramal taglid artinya ia selalu berfikir kritis sebelum melakukan suatu amalan perbuatan[5].


   Ushul fiqh bagi umat yang mendatang, dalam hal ini ada dua maksud mengetahui  ushul fiqh itu:
Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan ulama terdahulu maka bila suatu ketika kita menghadapi masalah baru yang tidak mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab fiqh terdahulu,maka kita dapat mencari jawaban hokum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannyakarena sudah begitu jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha lama itu atau ingin merumuskan hokum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tuntutan kondisi yang mengkehendakinya, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kaji ulang terhadap suatu kaidah atau menentukan kaidah baru itu tidak mungkin dapat dilakukan bila tidak mengetahui secara baik usaha dan cara ulama lama dalam merumuskan kaidahnya. Hal itu akan diketahui secaa baik dalam ilmu ushul fiqh.
C.     Kegunaan mempelajari fiqh dan ushul fiqh[6]
v  Kegunaan mempelajari ushul figh adalah untuk mengetahui hukum dengan jalan yakin dan pasti atau dengan jalan dhan yaitu perkiraan yang lebih kuat pada kebenaran. Disamping itu juga ushul figh sangat berguna menghindarkan diri dari mengikuti alasan-alasannya. Dengan kata lain menghindarkan diri dari tag’lid.
Adapun mempelajari kaidah figh berguna untuk menentukan sikap dan kearifan dalam menarik kesimpulan serta menerapkan aturan-aturan figh terhadap kenyataan-kenyataan yang ada, sehingga tidak menimbulkan ekses yang tidak  perlu karena  diperhatikan skala prioritas penerapannya. Tidak bersifat ifrath yaitu lebih dari batas dan tidak pula besikap tafrith yaitu kurang dari batas.
v  Kegunaan mempelajari ilmu figh dirumuskan sebagai berikut:
Ø  Mempelajari figh berguna dalam memberi pemahaman tentang berbagai aturan secara mendalam. Dengan itu kita tahu aturan-aturan secara rinci mengenai kewajiban dan tangung jawab manusia terhadap tuhannya, hak dan kewajiban dalam rumah tangga dan bermasyarakat mengetahui cara bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, nikah, talak, rujuk, warisan dan lain-lain.
Ø  Mempelajari ilmu figh berguna sebagai patokan untuk brsikap dalam menjalani hidup dan kehidupan dengan mngetahui figh kita tahu perbuatan wajib, sunnah, mubah, makruh, haram, sah, batal. Dengan memahami ilmu figh kita brusaha untuk bersikap dan bertingkah laku menuju pada rizha allah.
D.    Contoh-contoh fatwa lama dan sekarang
Dalam hal zakat menurut imam yang empat[7]
Ø  Dalam mazhab hanafi sabilillah adalah fakir-fakir yang menyediakan dirinya dalam perang sabil.
Ø  Dalam mazhab maliki sabilillah yang mujahid yakni lascar yang berperang
Ø  Dalam mazhab hambali sabilillah adalah yang berperang dengan tidak dibelanjai oleh suatu badan yang memberi gaji
Ø  Dalam mazhab syafi’I sabilillah yaitu mujahid yang dengan suka rela berperang
Bagaimana dengan fatwa mufti saat ini disaat Negara aman damai tanpa ada perperangan siapa yang dijadikan kategori sabilillah? Ternyata di Indonesia disebagian desa atau suatu daerah khususnya ACEH mengkategorikan guru TPA yang tidak digaji adalah fisabilillah karena ditarik kesimpulan yang bahwa mereka memberikan ilmu bagi anak-anak muslim untuk pemahaman ilmu agama tentunya sebagai bekal anak muslim dengan suka rela tanpa mengharapkan gaji atau pun hanya menagih iuaran listrik atau peralatan lain namun jasa nya tetap secara suka rela diberikan untuk kemaslahatan umat. Kemudian fatwa tentang itu tidak dipakai lagi dalam kesepakatan ulama Aceh, yang membagikan anggota yang mendapatkan zakat hanya amil zakat,faqir, miskin, mualaf,dan ibnu sabil.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pemaparan pemakalah mengenai pokok bahasan dapat kita simpulkan bahwa fiqh dan ushul fiqh sangat erat tekait. Untuk mengeluarkan hokum fiqh atau ingin menfatwakan sesuatu hukum yang bersifat amaliyah dalam hal ibadah, muamalah, munakahat, jinayah dan sebagainya perlu belajar ilmu ushul fiqh. Bila kita tidak jadi seorang mufti yang bisa menfatwakan suatu hokum maka cukup menjadi mufti dalam hal yang ringan saja seperti contoh yang pemakalah sebutkan dalam pembahasan makalah ini yakni mengambil atau menyimpulkan sesuatu hukum bersuci yang bisa kita ambil kesimpulan yang haqqul yaqin.
B.     Saran
Dalam sebuah karya ilmiah tentu pentingnya saran dari pada dosen pembimbing dan teman-teman sekalian. Agar dapat memperbaiki makalah ini untuk memenuhi syarat, menurut prosedur makalah yang telah ada maka pemakalah sngat mengharapkan saran kritik bagi makalah ini yang sangat jauh dari kesempurnaan dan keterbatasan referensi yang mungkin saran dari dosen dan teman-teman mampu meningkatkan hasil makalah yang baik bagi masa yang mendatang.









DAFTAR PUSTAKA
Abbas, siradjuddin. 2008. Empat Puluh Masalah Agama. Jakarta selatan: Pustaka Tarbiyah Baru
Amiruddin, zen. 2009. Ushul fiqh , cet I. Yogyakarta: Teras
Firdaus. 2004. Ushul fiqh. Jakarta timur: Zikrul Hakim
Nata, ubuddin. 2010. Metodelogi studi islam, cet,17, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Syarifuddin, amir. 2008. Ushul fiqh. Jakarta: Kencana Preneda Media Group
Tina Siska hardiansyah, penting belajar figh untuk kehidupan sehari-hari, diakses dari http://www.ummi-online.com.html, pada tanggal 7 juni 2017 pukul 09:20


[1] Firdaus, ushul fiqh (JakartaTimur: Zikrul Hakim, 2004) hlm.1.
[2] Sapiudin shidiq, ushul fiqh (Jakarta: Kencana prenada media group, 2014), hlm.9.
[3] Amir Syarifuddin, ushul fiqh (Jakarta: Kencana prenada  media group, 2008), hlm.48.
[4] Tina Siska hardiansyah, penting belajar figh untuk kehidupan sehari-hari, diakses dari http://www.ummi-online.com.html, pada tanggal 7 juni 2017 pukul 09:20
[5] Amiruddin, zen, ushul fiqh, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 12
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, cet. 3, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 298
[7] Siradjuddin Abbas, Empat Puluh Masalah Agama (Jakarta Selatan: Pustaka Tarbiyah baru, 2008) hlm.135.

MAKALAH HUKUM SYARA’ FULL LENGKAP


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Seperti yang kita ketahui bersama bahwa didalam mempelajari Ushul Fiqh terdapat bermacam-macam hukum yang diantaranya yaitu hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan kata “Syara”. Kata Hukum berasal dari bahasa arab. “Hukum” yang secara etimologi berarti “memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan”. Sedangkan kata Syara’ secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah. Dalam Al-Quran terdapat 5 kali disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.
            Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan, berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dalam hukum syara’ terdapat beberapa pembagian hukum. Didalam pembagian hukum tersebut terdapat beberapa macam bentuk-bentuk hukumnya yang akan saya bahas lebih luas didalam pembahasan makalah ini.
            Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.



B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas dapat kami ambil rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh ?
2.      Apa Pengertian Hukum Syara’ ?
3.      Apa Macam-Macam Hukum Syara’ ?
4.      Apa-apa saja Unsur-Unsur Hukum Syara’ ?

C. Tujuan Penulisan
            Setiap kegiatan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian juga yang dilakukan oleh penyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah :
1.      Untuk mengetahui Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
2.      Untuk mengetahui Pengertian Hukum Syara’
3.      Untuk mengetahui Macam-Macam Hukum Syara’
4.      Untuk mengetahui Unsur-Unsur Hukum Syara’.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
            Menurut bahasa “Fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqh yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshilli).
            Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (    اصل   )  yang artinya kuat (rajin), pokok sumber, atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.

B. Pengertian Hukum Syara’
            Secara bahasa hukum berarti mencegah atau memutuskan. Menurut terminologi, hukum adalah Khitab (doktrin) Syara’ (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan orang yang sudah Mukallaf. Baik doktrin itu berupa tuntutan (perintah, larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran untuk meninggalkan. Atau wadh’i (menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ atau penghalang).[1]
            Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang bersangkutan dengan manusia, yakni yang dibahas dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bersangkutan dengan akidah dan akhlak.[2]
            Bila dicermati dari definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadist-hadist hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam berikut :
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.      Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang itu sifatnya haram.

c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang di anjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.       Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.       Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad atau batal.
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]

C. Macam-Macam Hukum Syara’
            Ulama ushul fiqh membagai hukum syara’ menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi dan hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi
            Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk meakukan atau tidak melakukan perbuatan.[4] Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh-contoh berikut :
·         Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk dilakukannya;
a.       Mukallaf wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
b.      Mukallaf melakukan ibadah haji bagi yang mampu.

·         Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk meninggalkan perbuatan:
a.       Mukallaf tidak boleh memakan bangkai, darah, daging babi, mencuri, membunuh, dan berzina.
b.      Mukallaf tidak boleh berkata tidak sopan kepada kedua orang orang tua.



·         Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya :
a.       Mukallaf bisa memilih antar bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat jumat.
b.      Mukallaf boleh mengqasar shalat ketika berpergian jauh.[5]

v  Pembagian Hukum Taklifi
1.      Wajib ialah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh sesuatu yang hukumnya wajib seperti : Shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi orang yang mampu, dan berbakti kepada orang tua.
2.      Mandup (sunah), secara bahasa mandup adalah sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah untuk yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mykallaf secara tidak tegas atau harus. Konsekuensi dari mandup ini jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan tidak mendapat siksa atau celaan bagi orang yang meninggalkannya. Contoh dari perkara mandup (sunah) seperti : mencatat utang, shalat sunah, dan mengucapkan salam.
3.      Haram, secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya dan sesuatu yang dilarang. Konsekuensi dari haram ini ialah bagi sesorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum khamar, membunuh tanpa hak, memakan harta orang dengan zalim, dan lain-lain.
4.      Makruh, ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi. Secara istilah makruh ialah sesuatu yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Contohnya seperti : larangan Allah kepada manusia untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan kamu,  dan menghamburkan harta.
5.      Mubah, secara bahsa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah, mubah ialah suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Contohnya seperti : makan dan minum, berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah shalat jumat, dan lain-lain.[6]

2. Hukum Wadh’i
            Hukum Wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’, rukhsah atau azimah, sah dan batal.[7]
v  Pembagian Hukum Wadh’i
1.      Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.[8] Contohnya seperti masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah suatu yang jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan sebab, sedangkan datangnya kewajiban berpuasa Ramadhan disebut musabbab atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
2.      Syarat, menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya ada hukum. Dari definisi kedua dapat dipahami bahwa syarat merupakan penyempurna bagi suatu perintah syara’. Contohnya seperti hubungan perkawinan suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak, tidak adanya perkawinan maka tidak ada talak. Wudhu adalah syarat sahnya shalat, tanpa wudhu maka tidak sah mendirikan shalat, tetapi tidak berarti adanya wudhu menertapkan adanya shalat. Dengan demikian, antara syarat dan yang disyarati itu merupakan bagian yang terpisah.[9]
3.      Mani’(penghalang), secara bahasa kata mani’ yaitu penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai penghalang bagi adanya hukum atau berfungsinya sebab (batalnya hukum). Contohnya seorang anak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang (mani’). Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau kematiaan ayahnya ternyata karena dibunuh oleh anak itu sendiri.
4.      Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula dimana tidak ada kekhususan karena suatu kondisi. Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat, puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada hukum yang mendahului hukum wajib tersebut.
5.      Sah dan Batal, secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan saqam yang berarti sakit. Istilah sah dalam syara’ digunakan dalam ibadah dan akad maumalat. Yaitu suatu perbuatan dipandang sah apabila sejalan dengan kehendak Syara’, atau perbuatan mukallaf disebut sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, tidak tecapainya suatu perbuatan yang memberikan pengaruh secara syara’. Yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan syara’, maka perbuatan disebut batal. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka perbuatan itu menjadi batal.

C. Unsur-Unsur Hukum Syara’
1. Hukum
       Secara etimologi kata hukum yaitu berarti mencegah atau memutuskan.[10] Ahli ushul Fiqh mendefinisikan hukum yaitu “sebagai ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan”.
            Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa :
a.       Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf, bukan hukum syara’ menuntut para ushul fiqh, seperti khitab Allah yang berkaitan dengan zat sifat-Nya.
b.      Dalam pandangan ahli ushul fiqh bahwa hukum adalah khitab Allah itu sendiri atau al-nushus al-syar’iyah. Sementara hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa yang dikandung oleh khitab Allah atau al-nushus tersebut.
            Istilah khitab Allah dalam definisi diatas adalah kalam Allah yang langsung terdapat dalam Al-Qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan yang berasaldari Sunnah, ijma’, dan semua dalil-dalil syara’ yang dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui hukum-Nya.

2. Al-Hakim
      Istilah hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan hukum. Dalam kajian usul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang menentukan dan membuat hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa yang menjadi sumber pembuat hukum-hukum yang ditetapkan tersebut ada yang datangnya melalui Al-Qur’an dan Sunnah dan ada juga melalui perantaraan para ahli fiqh dan mujtahid. Dalam hal ini, para mujtahid dan ulama dipandang sebagai orang yang menjelaskan dan mengungkapkan hukum.
       Meskipun para ahli ushul fiqh sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah, tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum itu hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu dan datangnya Rasulullah atau apakah akal dapat secara independen mengetahui hukum tersebut.
      Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat para ulama yang dilatar belakangi oleh perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik (al-husnu) dan buruk (al-qubhu) yaitu sebagai berikut :
1.      Kalangan Mu’tazilah, berpendapat bahwa menjadikan akal sebagai sumber hukum terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dal Al-Qura’an.
2.      Kalangan Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal secara independen tidak dapat mengetahui hukum Allah tanpa perantaraan Rasul dan Wahyu.
3.      Kalangan Maturidiyyah, berpendapat bahwa akal mampu mengetahui baik dan buruk pada sebagian besar perbuatan karena ada sebagai besar perbuatan karena ada berbagai sifat yang melekat pada perbuatan tersebut, baik mengandung kemalahatan maupn yang mengandung kerusakan.



3. Mahkum Fih/Bih
     Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum. Mahkum fih atau perbuatan mukallaf adakalanya terdapat dalam hukum taklifi dan adakalanya terdapat dalam hukum wadh’i. Mahkam fih serring juga disebut dengan mahkam bih, karena perbuatan mukallaf tersebut selalu dihubungkan dengan perintah atau larangan.
      Ada beberapa syarat untuk sahnya suatu taklif (pembebasan hukum), yaitu :
1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasyaratkan nas-nas ini Al-Qur’an  yang bersifat global (belum jelas), maka tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul. Contohnya, tentang perintah haji dalam Al-Qur’an yang masih global. Maka tidak wajib mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.
2.      Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3.      Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar hukum itu dapat ditaati, oleh karena itu tidak ada beban yang diperintahkan oleh Al-Qur’an untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) mukallaf. Contohnya perintah untuk terbang seperti burung.

4. Mahkum Alaih
       Yang dimaksud dengan makum alaih adalah mukallaf yang layak mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berbungan dengan hukum syara’.
        Seseorang dapat dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a.      Mukallaf dapat memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
b.      Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini adalah layak atau wajar untuk menerima perintah.


        Dalam hal ini, keadaan manusia harus dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban, yaitu dapat dikelompokkan menjadi 2 :
·         Tidak sempurna artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajiban. Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu. Baginya ada beberapa hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
·         Secara sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).

5. Ahliyyah
  Secara bahasa, kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan seatu pekerjaan.
Menurut para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminologi yaitu “Sifat yang dijadikan sebagai ukuran oleh syara’ yang terdapat pada diri seseorang untuk menentukannya telah cakap dikenai tuntutan syara’”. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
          Ahliyyah sendiri terbagi menjadi dua yaitu :
1.      Ahliyyah al-ada’, adalah kecakapan yang telah dimilliki seseorang seehingga setiap perkataan dan perbuatan telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang telah memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun negatif. Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecakapan secara sempurna apabila telah baligh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa, dan lain-lain. Contohnya seperti : apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji, maka semua itu bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban.

2.      Ahliyyah al-wujub, adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menerima hak-hak dan sejumlah kewajiban.[11]
            Sifat kecakapan ini dimiliki seseorang sejak ia diperhitungkan ada dan hidupnya. Para ahli fiqh menyebutkan sebagai zimmah, yaitu suatu sifat yang ditetapkan syara’ yang menjadikan seseorang memiliki kewajiban dan hak-hak.

         Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua yaitu :
·         Ahliyyah al-wujub al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya. Contoh yang pertama yaitu : janin yang berada dalam perut ibunya, janin ini berhak mendapatkan warisan
·         Ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada masa kanak-kanaknya, tamyiz, dan setelah baligh Ahliyyah al-wujub al-kamilah ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara menyeluruh.



















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Jadi, dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan dalam makalah ini adalah .
            Secara garis besar, hukum syara’ adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
            Perbedaan perselisihan dikalangan dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya adallah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci.
            Hukum yang termasuk dalam hukum syara’ adalah sebagai berikut :
1.      Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan demikian hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
2.      Hukum wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah, batal, ataupun fasid.

B. Saran
            Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja Hukum Syara’. Dan semoga kita dapat mengambil mamfaatnya.
            Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses evaluasi pendidikan.



DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Ushul al-Fiqh al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Karim Zaidan, Abd. 1987. al-Wjiz Fi Ushul al-Fiqh, cet-2. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Efendi, Satria, dkk. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. Jakarta: 1985.
Wahab Khalaf, Abdul. Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.


[1] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
[2] Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
[3] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2, hlm. 42.
[5] Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah , tt), hlm. 105-115
[7] Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm. 93.
[8] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 55.
[9] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
[10] Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Cet.Ke-2, hlm. 37.
[11] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 112-126