BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa didalam
mempelajari Ushul Fiqh terdapat bermacam-macam hukum yang diantaranya yaitu
hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan kata
“Syara”. Kata Hukum berasal dari bahasa arab. “Hukum” yang secara etimologi
berarti “memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan”. Sedangkan kata Syara’
secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah
jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah. Dalam Al-Quran terdapat 5
kali disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau jalan yang harus
ditempuh.
Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan,
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku, serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dalam
hukum syara’ terdapat beberapa pembagian hukum. Didalam pembagian hukum
tersebut terdapat beberapa macam bentuk-bentuk hukumnya yang akan saya bahas
lebih luas didalam pembahasan makalah ini.
Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang
pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i
yang menjadi bagiannya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat kami ambil rumusan
masalahnya sebagai berikut :
1.
Apa Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh ?
2.
Apa Pengertian Hukum Syara’ ?
3.
Apa Macam-Macam Hukum Syara’ ?
4.
Apa-apa saja Unsur-Unsur Hukum Syara’ ?
C.
Tujuan Penulisan
Setiap kegiatan
pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian juga yang dilakukan oleh
penyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah
:
1.
Untuk mengetahui Pengertian Fiqh/Ushul
Fiqh
2.
Untuk mengetahui Pengertian Hukum Syara’
3.
Untuk mengetahui Macam-Macam Hukum
Syara’
4.
Untuk mengetahui Unsur-Unsur Hukum
Syara’.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
Menurut bahasa “Fiqh”
berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham
berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqh yang
memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh
Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu
untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf
baik yang wajib, sunah, mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil
yang jelas (tafshilli).
Ushul fiqh
berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari
kata Ashl ( اصل
) yang artinya kuat (rajin), pokok sumber,
atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang
mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan
istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.
B. Pengertian Hukum
Syara’
Secara
bahasa hukum berarti mencegah atau memutuskan. Menurut terminologi, hukum
adalah Khitab (doktrin) Syara’ (Allah) yang bersangkutan dengan
perbuatan orang yang sudah Mukallaf. Baik
doktrin itu berupa tuntutan (perintah, larangan), anjuran untuk melakukan, atau
anjuran untuk meninggalkan. Atau wadh’i
(menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ atau penghalang).[1]
Menurut
istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul.
Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang bersangkutan
dengan manusia, yakni yang dibahas dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang
bersangkutan dengan akidah dan akhlak.[2]
Bila
dicermati dari definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat
atau hadist-hadist hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam berikut :
a.
Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf
yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.
Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang
dilarang itu sifatnya haram.
c.
Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang
dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.
Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang di
anjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.
Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak
melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan
itu sifatnya mubah.
f.
Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.
Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.
Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad atau batal.
j.
Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]
C.
Macam-Macam Hukum Syara’
Ulama ushul fiqh
membagai hukum syara’ menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi dan hukum wadh’i.
1.
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut
mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk
meakukan atau tidak melakukan perbuatan.[4]
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh-contoh berikut :
·
Contoh hukum Taklifi yang menuntut
kepada mukallaf untuk dilakukannya;
a. Mukallaf
wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
b. Mukallaf
melakukan ibadah haji bagi yang mampu.
·
Contoh hukum Taklifi yang menuntut
kepada mukallaf untuk meninggalkan perbuatan:
a. Mukallaf
tidak boleh memakan bangkai, darah, daging babi, mencuri, membunuh, dan
berzina.
b. Mukallaf
tidak boleh berkata tidak sopan kepada kedua orang orang tua.
·
Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si
mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya :
a. Mukallaf
bisa memilih antar bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat
jumat.
b. Mukallaf
boleh mengqasar shalat ketika berpergian jauh.[5]
v Pembagian
Hukum Taklifi
1.
Wajib ialah ketentuan
suatu perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan petunjuk yang
telah ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala
jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh sesuatu
yang hukumnya wajib seperti : Shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan haji
bagi orang yang mampu, dan berbakti kepada orang tua.
2.
Mandup (sunah),
secara bahasa mandup adalah sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah
perintah yang datang dari Allah untuk yang datang dari Allah untuk dilakukan
oleh mykallaf secara tidak tegas atau harus. Konsekuensi dari mandup ini jika
dilakukan akan mendapatkan pahala dan tidak mendapat siksa atau celaan bagi
orang yang meninggalkannya. Contoh dari perkara mandup (sunah) seperti :
mencatat utang, shalat sunah, dan mengucapkan salam.
3.
Haram,
secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya dan sesuatu yang
dilarang. Konsekuensi dari haram ini ialah bagi sesorang yang mengerjakan akan
mendapat dosa dan kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala
dan kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum khamar, membunuh
tanpa hak, memakan harta orang dengan zalim, dan lain-lain.
4.
Makruh,
ialah berasal dari kata kariha yaitu
sesuatu yang tidak disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi. Secara istilah
makruh ialah sesuatu yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk meninggalkannya
dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Contohnya seperti : larangan Allah
kepada manusia untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan
akan menyusahkan kamu, dan menghamburkan
harta.
5.
Mubah,
secara bahsa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah, mubah ialah
suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan
meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan
jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Contohnya seperti : makan dan minum,
berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah shalat jumat, dan lain-lain.[6]
2.
Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan
sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’, rukhsah atau azimah, sah dan batal.[7]
v Pembagian
Hukum Wadh’i
1.
Sebab,
dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan
syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda
bagi tidak adanya hukum.[8]
Contohnya seperti masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban
puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah suatu yang jelas dan dapat
diukur, apakah bulan Ramadhan sebab,
sedangkan datangnya kewajiban berpuasa Ramadhan disebut musabbab atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
2.
Syarat, menurut para
ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum,
lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya
ada hukum. Dari definisi kedua dapat dipahami bahwa syarat merupakan
penyempurna bagi suatu perintah syara’. Contohnya seperti hubungan perkawinan
suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak, tidak adanya
perkawinan maka tidak ada talak. Wudhu adalah syarat sahnya shalat, tanpa wudhu
maka tidak sah mendirikan shalat, tetapi tidak berarti adanya wudhu menertapkan
adanya shalat. Dengan demikian, antara syarat dan yang disyarati itu merupakan
bagian yang terpisah.[9]
3.
Mani’(penghalang),
secara bahasa kata mani’ yaitu
penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’
adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai penghalang bagi adanya hukum atau
berfungsinya sebab (batalnya hukum). Contohnya seorang anak berhak mendapatkan
warisan dari ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan
tidak mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang (mani’).
Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau kematiaan ayahnya
ternyata karena dibunuh oleh anak itu sendiri.
4.
Rukhsah dan Azimah,
Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf dalam
kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku secara umum
yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula dimana tidak ada kekhususan
karena suatu kondisi. Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada
semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat,
puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada hukum
yang mendahului hukum wajib tersebut.
5.
Sah dan Batal,
secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan saqam yang berarti sakit. Istilah sah
dalam syara’ digunakan dalam ibadah dan akad maumalat. Yaitu suatu perbuatan
dipandang sah apabila sejalan dengan kehendak Syara’, atau perbuatan mukallaf disebut
sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, tidak tecapainya suatu perbuatan
yang memberikan pengaruh secara syara’. Yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan
mukallaf apabila tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan syara’, maka
perbuatan disebut batal. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang tidak memenuhi
rukun dan syaratnya, maka perbuatan itu menjadi batal.
C.
Unsur-Unsur Hukum Syara’
1.
Hukum
Secara etimologi kata hukum yaitu
berarti mencegah atau memutuskan.[10]
Ahli ushul Fiqh mendefinisikan hukum yaitu “sebagai
ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa
tuntutan melakukan atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan”.
Dari definisi diatas, dapat dipahami
bahwa :
a. Khitab
Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf, bukan hukum syara’
menuntut para ushul fiqh, seperti khitab
Allah yang berkaitan dengan zat sifat-Nya.
b. Dalam
pandangan ahli ushul fiqh bahwa hukum adalah khitab Allah itu sendiri atau al-nushus
al-syar’iyah. Sementara hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa
yang dikandung oleh khitab Allah atau
al-nushus tersebut.
Istilah khitab Allah dalam definisi diatas adalah kalam Allah yang langsung
terdapat dalam Al-Qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan yang berasaldari
Sunnah, ijma’, dan semua dalil-dalil syara’ yang dihubungkan kepada Allah untuk
mengetahui hukum-Nya.
2.
Al-Hakim
Istilah
hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan hukum. Dalam
kajian usul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang menentukan dan membuat
hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa yang
menjadi sumber pembuat hukum-hukum yang ditetapkan tersebut ada yang datangnya
melalui Al-Qur’an dan Sunnah dan ada juga melalui perantaraan para ahli fiqh
dan mujtahid. Dalam hal ini, para mujtahid dan ulama dipandang sebagai orang
yang menjelaskan dan mengungkapkan hukum.
Meskipun para ahli ushul fiqh sepakat
bahwa yang membuat hukum adalah Allah, tetapi mereka berbeda pendapat dalam
masalah apakah hukum-hukum itu hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu
dan datangnya Rasulullah atau apakah akal dapat secara independen mengetahui
hukum tersebut.
Dalam masalah ini terjadi perbedaan
pendapat para ulama yang dilatar belakangi oleh perbedaan pendapat tentang
fungsi akal dalam mengetahui baik (al-husnu)
dan buruk (al-qubhu) yaitu sebagai
berikut :
1.
Kalangan Mu’tazilah, berpendapat bahwa
menjadikan akal sebagai sumber hukum terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dal
Al-Qura’an.
2.
Kalangan Asy’ariyyah, berpendapat bahwa
akal secara independen tidak dapat mengetahui hukum Allah tanpa perantaraan
Rasul dan Wahyu.
3.
Kalangan Maturidiyyah, berpendapat bahwa
akal mampu mengetahui baik dan buruk pada sebagian besar perbuatan karena ada
sebagai besar perbuatan karena ada berbagai sifat yang melekat pada perbuatan
tersebut, baik mengandung kemalahatan maupn yang mengandung kerusakan.
3.
Mahkum Fih/Bih
Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang
berkaitan dengan hukum. Mahkum fih
atau perbuatan mukallaf adakalanya terdapat dalam hukum taklifi dan adakalanya terdapat dalam hukum wadh’i. Mahkam fih serring juga disebut dengan mahkam bih, karena
perbuatan mukallaf tersebut selalu dihubungkan dengan perintah atau larangan.
Ada beberapa syarat untuk sahnya suatu
taklif (pembebasan hukum), yaitu :
1. Perbuatan
itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan
itu sesuai dengan perintah. Maka berdasyaratkan nas-nas ini Al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas), maka
tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.
Contohnya, tentang perintah haji dalam Al-Qur’an yang masih global. Maka tidak
wajib mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.
2. Diketahui
secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk
memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3. Perbuatan
yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh
mukallaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar
hukum itu dapat ditaati, oleh karena itu tidak ada beban yang diperintahkan
oleh Al-Qur’an untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan
manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil
(di luar kemampuan) mukallaf. Contohnya perintah untuk terbang seperti burung.
4.
Mahkum Alaih
Yang dimaksud dengan makum alaih adalah mukallaf yang layak mendapatkan
khitab dari Allah di mana perbuatannya berbungan dengan hukum syara’.
Seseorang dapat dikatakan mukallaf jika
telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Mukallaf dapat
memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau sunah baik secara
langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka
ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya Dan
alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak
berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
b.
Mukallaf
adalah
orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan
ahli di sini adalah layak atau wajar untuk menerima perintah.
Dalam hal ini, keadaan manusia harus
dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban,
yaitu dapat dikelompokkan menjadi 2 :
·
Tidak
sempurna artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak
baginya kewajiban. Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu.
Baginya ada beberapa hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima
wasiat, tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
·
Secara
sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan
layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).
5.
Ahliyyah
Secara
bahasa, kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya ungkapan yang
menyatakan seseorang ahli untuk melakukan seatu pekerjaan.
Menurut para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara
terminologi yaitu “Sifat yang dijadikan sebagai ukuran oleh syara’ yang
terdapat pada diri seseorang untuk menentukannya telah cakap dikenai tuntutan
syara’”. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat
yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga
semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
Ahliyyah
sendiri terbagi menjadi dua yaitu :
1.
Ahliyyah
al-ada’, adalah
kecakapan yang telah dimilliki seseorang seehingga setiap perkataan dan
perbuatan telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang telah memiliki sifat
ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya
diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun negatif. Seseorang
dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecakapan secara sempurna apabila
telah baligh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari
kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa, dan lain-lain.
Contohnya seperti : apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji, maka
semua itu bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban.
2.
Ahliyyah
al-wujub,
adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menerima hak-hak dan sejumlah
kewajiban.[11]
Sifat
kecakapan ini dimiliki seseorang sejak ia diperhitungkan ada dan hidupnya. Para
ahli fiqh menyebutkan sebagai zimmah, yaitu suatu sifat yang ditetapkan syara’
yang menjadikan seseorang memiliki kewajiban dan hak-hak.
Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua
yaitu :
·
Ahliyyah al-wujub al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak
untuk mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau
sebaliknya. Contoh yang pertama yaitu : janin yang berada dalam perut ibunya,
janin ini berhak mendapatkan warisan
·
Ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk
mendapatkan hak dan layak untuk menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat
oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada masa kanak-kanaknya, tamyiz, dan
setelah baligh Ahliyyah al-wujub al-kamilah ini dapat diartikan sebagai sesuatu
yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara
menyeluruh.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, dari pembahasan diatas dapat
kami simpulkan dalam makalah ini adalah .
Secara garis besar, hukum syara’
adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan
diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk
seluruh anggotanya.
Perbedaan perselisihan dikalangan
dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah
pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya adallah mengeluarkan hukum dari
dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum
yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang
dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci.
Hukum yang termasuk dalam hukum
syara’ adalah sebagai berikut :
1.
Hukum
taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan demikian
hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
2.
Hukum
wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak
langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan
mukallaf itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya
waktu dzuhur.
Ketentuan syariat dalam bentuk
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah, batal, ataupun fasid.
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat menambah
sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja Hukum Syara’. Dan semoga kita dapat
mengambil mamfaatnya.
Dalam penyusunan makalah
ini, penyusun sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan
semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan dalam
penyusunannya, baik dari segi materi, maupun penyusunannya, oleh karena itu
penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi
manfaat dalam proses evaluasi pendidikan.
DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili, Wahbah.
2001. Ushul al-Fiqh al-Islam. Beirut:
Dar al-Fikr.
Al-Karim Zaidan, Abd.
1987. al-Wjiz Fi Ushul al-Fiqh, cet-2.
Beirut: Muassasah al-Risalah.
Efendi, Satria, dkk.
2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Shidiq, Sapiudin. 2011.
Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. Jakarta: 1985.
Wahab Khalaf, Abdul.
Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah
al-Dakwah al-Islamiyah.
[1]
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
[2]
Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta:
1985), hlm.20.
[3]
Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
[4]
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2, hlm. 42.
[5]
Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
[6]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh,
(Mesir : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah , tt), hlm. 105-115
[7]
Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm. 93.
[8]
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 55.
[9]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh,
(Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
[10]
Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001),
Cet.Ke-2, hlm. 37.
[11]
Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul
al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 112-126
Numpang promo ya admin...^_~
ReplyDeleteDisini kami menyediakan 5 permainan dalam 1 aplikasi,
-Bandar Poker
-Bandar Q
-Dimino 99
-Poker
-Bandar 66
Hanya dengan 20ribu bisa menang puluhan juta rupiah
Ayo segera bergabung dengan kami di ionqq^^com
Whatsapp +85515373217
domino99qq
ReplyDeletedomino99qq
domino99qq
domino99qq
domino99qq
domino99qq
domino99qq
boleh tau referensinya dong kak
ReplyDeleteijin save kak
ReplyDelete