PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
SYARIAH, FIQH DAN USHUL FIQH
1. Syariah
adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui perantaraan rasul agar hambanya
beriman dan bertaqwa
2. Fiqh
adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum islam dan cara pelaksanaannya
3. ushul
fiqh berasal dari dua kata yaitu ushul dan fiqh, ushul adalah jamak dari kata
aslh yang artinya kuat,pokok sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu,
adapun fiqh yaitu memahami,mengertisedangkan menurut istilah adalah hukum dalam islam yang didalamnya
mempelajari tentang kaedah-kaedah, teori dan sumbernya
menurut pendapat para
ahli sebagai berikut :
- menurut syaikh ‘atha abu ar-rasytah ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang diatasnya dibangun ilmu tentang hukum syar’I yang bersifat aplikatif digali dari dalil-dali terperinci.
-
Menurut dr.wahba az-zuhaili hafizhullah
adalah kaidah-kaidah yang dengannya seorang mujtahid bias mencapai itinbath
terhadap hukum syar’I dan dalil terperinci.
- Menurut syaikh taqiyuddin an-nabani rahimatullah adalah kaidah-kaidah yang dengannya bisa dicapai istinbath terhadap hukum –hukum syar’I dari dalil terperinci.
B. PENGERTIAN
IJTIHAD
Ijtiihad
berasal dari kata ijtahada yang memiliki arti bersungguh-sungguh, rajin, dan
giat.karenanya ijtihad memiliki arti berupaya dengan mencurahkan segala
kemampuan dan bersungguh-sungguh. Sedangkan ulama ushul mengartikan sebagai
perbuatan-perbuatan istinbat hukum syariah dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syaria. Sedangkan al ghazali medefinisikan ijtihad sebagai
usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang dalam rangka mengetahui hukum syariah
dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Ijtihad adalah sebuah usaha sunguug-sungguh yang
sebenarnya bisa di laksanakan siapa saja
yang sudah mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara. (menurut ikram)
Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan
para oleh para ulama ushul dalam mencurahkan segala piikiran dan kemampuannya
dalam menetapkan suatu hukum.apabila hukum tersebut tidak ada dalam al-qur’an.dan
hadist.(menurut saifin)
Menuru pendapat para ahli sebagai berikut :
-
Menurut al-midi ijtihad adalah mencurahkan
segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni.
-
Menurut al-ghazali ijtihad adalah upaya
maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum syara’.
-
Menurut yusuf qardlawi adalah
mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan .
Mujtahid didefinisikan
sebagi seorang ahli fiqih yang menhabiskan tenaga fikirannya untuk memperoleh
persangkaan yang kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari
al-qur’an atau dan sunnah atau dari sesuatu dalil yang dibenarkan
oleh syara’.[1]
1.
Dasar Hukum
Ijtihad
Posisi ijtihad memiliki
dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat ayat-ayat
yang menunjukkan perintah untuk berijtihad.baik diungkapkan secara isyarat
maupun jelas.
a. Surat
an-nisa/4ayat 59
Artinya: hai orang-orang yang
beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amrin diantara kamu,
kemuduan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih
baik akibatnya.
Pada ayat diatas terdapat perintah untuk
mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada al-qur’an dan sunnah. Hal ini
menunjukkan perintah berijtihad dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi
menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai sumbernya. Dalam hadis nabi antara
lain:
a. Penghargaan
terhadap hasil ijttihad
Artinya:’’ apabila
seorang hakim memutuskan perkara ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinilai
benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara
kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.’’
b. Hadis
yang menceritakan tentang pengangkatan muadz bin jabal sebagai hakim.
Artinya:
ketika nabi mengutus muadz bin jabal sebagai hakim di negeri yaman. Nabi
bertanya kepada Muadz, dengan apa kamu akan menghukum? Dengan apa yang ada
dalam kitab Allah. Nabi bertanya, jika tidak kamu dapatkan dalam kitab Allah?
Aku akan berhukum dengan sunnah Nabi? Jika tidak kamu dapatkan, aku akan
berijtihad dengan pendapatku. Segal puji bagi Allah telah memberikan taufik
atas utusan rasulnya.”(HR.Turmudzi).
Dua
hadis diatas dapat dasar hukum ijtihad sebagai salah satu sumber hukum setelah
al-qur’an dan sunnah.
Di
zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena karena permasalahan baru yang
belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi langsung
menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin kebenarannya, setelah Nabi
wafat barula ijtihad diperlukan oleh ulama mujtahid untuk hukum permasalahan
baru yang timbul dengan tetap berpegan pada prinsip-prinsip al-Qur’an dan
sunnah,jika tidak usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad,
maka akan terjadi kekosongan hukum. hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum,
Oleh karena itu ijtihad untuk sekarang merupakan hal yang dharury(mendesak)
untuk dilakukan karena begitu banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks
dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum islam.[2]
2.
Syarat-Syarat Mujtahid
a. Mengetahui
ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara
istilah syara’. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak dituntut hafal seluruh
ayat ahkam tersebutnamun paling tudak harus tahu tempat ayat tersebut, sehingga
dapat mencarinya dengan cepat saat perlu.
b. Mengetahui
hadist ahkam secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu di hafal sebagaimana
juga al-Qur’an, menurut riwayat ahmad bin hambal 1.200 hadis, tetapi wahbah
zuhailitidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh
hadis hukumyang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahihi
muslim dll.
c. Mengetahui
al-Qur;an dan hadis yang telah di nasakh, tujuan agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari nask yang
tidak berlaku lagi
d. Mengetahui
sesuatu hukum yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak
menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.
e. Mengetahui
qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengannya yang meliputi rukun, syarat,illat
dan keseluruhannya, pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode
ijtihad.
f.
Mengetahi bahasa Arab tentang nahwu,saraf,maani
bayan dan uslubnyarkarena al-Qur’an berbahasa arab
g. Mengetahui
ilmu ushul fiqh karena ushul fiqh tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci
yang menunjukkan hukum melaui cara tertentu.[3]
3.
Tingkatan Mujtahid
a. Mujtahid
mustaqil adalah seorang yang mandiri
dalam melakukan kajian ijtihadnya dia
berijtihad dengan menggunakan kaidah sendir,dan dia pun merumuskan dasar-dasar
pemikiran yang menjadi asa dalam perumusan kaidahnya itu. Mereka ini para
mujtahid salaf yang melahirkan mazhab –mazhab fiqh
b. Mujtahid
muntasib adalah mereka yang mengambil atau memilih pendapat imam-imamnya dalam
ushul dan berbeda pendapat dalam cabang furu’, meskipun secara umum
menghasilkan kesimpulan yang hampir sama dengan yang diperoleh imamnya.
c. Mmujtahid
takhrij adalah mereka yang sangat terikat dengan kaidah –kaidah imamnya,
sertamenyelesaikan berbagai furu’ dengan kaidah imanya itu, mereka tidak
melakukan kritik terhadap fatwa imamnya, dan tidak melahirkan kaidah –kaidah
baru dalam berfatwa diantara mujtahid tingkat ini adalah hasan bin zayaddan
al-kurakhi dari kalangan hanafia.
d. Mujtahid
tarjih adalah mereka yang tidak memenuhi kriteria kelompok 1,2,3, tapi dia
menguasai ilmu fiqh dengan baik. Menguasai mazhab imamnya dan memahami Dalil-dalil
yang menjadi dasar fiqh.
e. Mujtahid
fatwa adalah mereka yang cukup menguasai fatwa fiqh imam mazhabnya, tetapi
kurang menguasai kaidah ushulnya itusehingga tidak mempunyai kecakapan dalam mengaplikasikan kaidah tersebut pada
berbagai furu’ dan juga kurang punya kecakapan dalam melakukan kajian analogis
untuk menetapkan hukum islam . oleh sebabb itumereka hanya berfatwa dengan
pemikiran-pemikiran fiqh hasil karya imam mazhabnya atau tokoh-tokoh
disekitarnya.[4]
4.
Metode Ijtihad
Untuk melakukan ijtihad ,menurut azhar basyri ada beberapa cara yang di
tempuh oleh seorang mujtahid cara-cara itu adalah
a. Qiyas,
dengan cara menyamakan hukum sesuai dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya
dikarenakan adanya persamaan sebab
b. Maslahah
mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan
pertimbangan untukkepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada asas yang
menarik manfaat dan menghidari mudharat
c. Istihsan,
ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan
meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum
d. Istishab
e. Urf.[5]
C.
TAKLID
1. Pengertian
Taklid
Kata taklid berasal dari fi’il madhi(kata dasar) qalada
dan taklidu yang secara lughawi yang mengalungkan’’ atau ‘’menjadikan kalung’’
. kalau dikatakan berarti masyarakat
awam mesir yang mengikuti pendapat imam al-syafi’i, hal demikian mengandung
arti menjadikan pendapat imam syafi’I sebagai kalung.
Kata taklid mempunyai hubungan rapat dengan kata
qaladah, sedangkan qaladah itu sehdiri berarti kalung. Menurut asalnya qaladah
(kalung) itu digunaanuntuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan;
dan hewan itu sepenuhnya mengikuti kemana saja ditari korang. Kalau yang
dijadikan ‘’kalung ‘’ itu ‘’pendapat’’ atau ‘’perkataan”seseorang ,maka berarti
orang yang dikalungi itu mengikuti “pendapat” orang itu tanpa memoertanyakan
lagi kanapa pendapat orang tersebut demikian.
Dari uraian diatas. Maka jelas bahwa secara lughawi
bila dikatakan “si A bertaklid kepada si
B’’, berarti si A mengikuti pendapat si B dengan patuh tanpa merasa perlu
mengetahui kenapa pendapat si B begitu. Dari taqklid menurut pengertian lughawi
berkembang menjadi istilah hukumyang hakikatnya tidak berjahuan darimaksud
lughawi itu. Diantara definisinya, ialah:
a. Al-ghazali
memberi definisi: menerima ucapan tanpa hujjah
b. Al-asnawi
dalam kitab nnihayat al-ushul mengemukakan definisi: mengambil perkataan orang
lain tanpa dalil
c. Ibnu
subki dalam kitab jam’ul jawami’ merumuskan definisi: mengambil perkataan orang
lain tanpa mengetahui dalilnya.[6]
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang
lain tanpa mengetahui sumber ataupun dalil yang jelas (menurur ikram).
Taklid adalah mengikuti keyakinan atau pendapat
orang lain tanpa mengetahui alas an dan sumberny (menurut saifin).
2. Hukum
Bertaqlid
Hukum bertaklid dibedakan menjadi dua
macam, yakni taklid yang haram dan taklid yang diperbolehkan.
a. Taklid yang haram meliputi:
-
Taklid yang semata-mata mengikuti adat
kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan
dengan al-Qur’an dan sunnah.
-
Taklid kepada orang atau sesuatu yang
belum diketahui kemampuan dan keahliannya sehingga dapat dipegangi pendapatnya.
-
Taklid kepada perkataan atau pendapat
seseorang, sedangkan yang bertaklid mengetahui perkataan dan pendapat itu
salah.
b. Taklid
yang diperbolehkan
Adapun
taklid yang diperbolehkan adalah bertaklid kepada seorang mujtahid atau
beberapa orang mujtahid dalam yang belum ia ketahui tentang hukum Allah dan
rasulnya yang behubungan dengan persoalan atau peristiwa dengan syarat yang
bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti
itu.jadi sifatnya sementara.
c. Taklid
yang diwajibkan
Wajib bertaklid kepada orang yang
perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan
Rasul SAW.[7]
3. Ketentuan
Bertaklid
Ibn
al-human menunjukkan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaklid kepada
seseorang yang ahli ilmu yang
diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki
sifat ‘adalah. (pengertian ‘adalah atu adil disini mengandung maksud khusus,
yaitu ‘adil dalam dalam pengertian periwayatan hadis, bukan dalam pengertian
peradilan, yaitu seseorang yang memiliki sifat sebagai berikut: (1) tidak
pernah melakukan dosa besar, (2) tidak sering melakukan dosa kecil, (3) selalu
menjaga harga diri).
Pengetahuan
akan kemampuan seseorang untuk berijtihad, memiliki sifat adil tersebut
diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya atau
diketahui melalui kedudukannya dan orang-orang yang sering minta fatwa minta
fatwa kepadanya serta menghormati kedudukannya.
Menurut
kalangan ulama syafi’I bahw pendapat yang paling tepat adalah harus memeriksa
tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang , untuk mengetahui
keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa harus memeriksa.
Bila
dua syarat tersebut (berilmu dan adil) tidak terdapat pad seseorang maka tidak
boleh bertaklid, para ulam sepakat bahwa diduga kuat ia tidak memiliki satu
diantara keduany, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaklid
kepadanya, Apabila dalam satu wilaya terdapat beberapa orang mujtahid dan
berbeda tingkat keilmuannya, maka harus diikuti pendapatnya oleh orang awam.[8]
D. ITTIBA’
1. Pengertian
Ittiba’
Menurut
bahas ittiba’ berasal dari bahas arab dri kata ittaba’ yang berarti mengikuti.
Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya.
Dan kat aini menyisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meladaninya, dan
mencontoh.
Sedangkan
menurutu istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik ulama atau lainnya
dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh para ulama tersebut.
Menurut ulam ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang di
perintahkan yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah. Dengan kata lain
melaksanakan ajaran agama islam.
Ittiba’
adalah mengikuti semua yang diperintahkan oleh Allah swt dan menjahui semua
larangannya.(menurut ikram)
ittiba’
adalah mengikuti atau menerima pendapat para ulama dengan mengetahui
alaannya.(menurut saifin)
2. Macam-Macam
Ittiba’
a. Ittiba’
kepada Allah dan Rasul-Nya
b. Ittiba’
kepada selain Allah dan Rasul
Ulama
berpendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam ahmad bin
hambal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, rasul, dan
para sahabat tidak boleh kepada yang lain, pendapat yang lain membolehkan
kepada ulama yaitu ulama yangwaratsatul anbiyaa(ulama pewaris nabi).
1. Tujuan
ittiba’
Dengan adanya ittiba’ diharapkan agar kita kaum muslim, sekalipun orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama dengan penuh keyakinan tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu amal atau ibadah kalu dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keiklasan dan kekhususan yang merupakan syarat sahnya ibadah atau amal yang dikerjakan.[9]
E. FATWA
1. Pengertian
fatwa
Fatwa
berasal dari bahasa arab yang artinya petuah,nasihat,jawaban atau
pendapat.adapun mengenai istilah adalah mengenai pendapat atu tafsiran pada suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Fatwa dalam bahasa arab adalah
nasihat,petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah
keputusan atau nasihat resmi yang diambil dari suatu lembaga yang disampaikan
oleh seorang mufti atu ulama sebaga tanggapan atau pertanyaaab yang diajukan
oleh peminta fatwa(mustafti).[10]
Fatwa
adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau
perorangan yang diakui otoritasnya.(menurut ikram
Fatwa adalah
keputusan hukum atau mengeluarkan hukum tentang suatu perkara yang dinyatakan
oleh seoramg mujtahid.(menurut saifin).
Menurut pendapat para ahli sebagai
berikut :
-
Menurut syarifuddin fatwa adalah usah memberi
penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang lain yang belum
mengetahuinya.
-
Menurut ibnu qayyum fatwa adalaha
pernyataan yang diampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan
- Menurut ahmad hasan fatwa adalah jawaban pertanyaan atau ketetapan hukum, tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid.
2. Mufti
Mufti
adalah orang yang memberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui
dan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat bila ia memberi fatwa yang benar dan
akan sesat bila ia salah dalam berfatwa, dengan demikian ia harus memiliki
syarat-syarat tertentu
Adapun
syarat-syarat seorang mufti dikelompokkan pada empat kelompok sebagai berikut:
a. Syarat
umum: ia harus seorang mukallaf yaitu muslim,dewasa,dan sempurna akalnya
b. Syarat
keilmuan: yaitu ia ahli dan mempunyai kemampuan berjihad. Untik itu ia harus
memenuhi syarat sebagaimana yang berlaku pada mujtahid antar lain ia mengetahui
secara baik dalil-dalil sam’I dan dalil-dalil aqli.
c. Syarat
kepribadian: yaitu adil dan dapat dipercaya, dua pesyaratan ini dituntut oleh
seorang mufti karena ia langsung menjadai ikutan bagi umat beragama, dua syarat
ini bahkan tidak dituntut bagi mujtahid karena tugasnya hanya meneliti dan
mengali.
d. Syarat
pelengkap dalam kedudukannya yang diuraikan oleh al-midi antara lain:ia
bermaksud mendidik dan mengetahui hukum syarat’. Al-asnawi secara umum
mengemukakan syarat mufti yaitu sepenuhnya syarat’syaratnya berlaku pada
seorang perawi hadis karena dalam tugasnya menberi penjelasn sama dengan tugas
seorang perawi.
3. Hukum
befatwa
Berfatwa atau menyampaikan fatwa menduduki amar ma’ruf nahi mungkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan dan yang harus dijauhinoleh umat. Oleh karena itu hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya suatu masalah hukum yang terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ain. Namun bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik (menurut pandangan ulama mengharuskan mencari yang lebih afdhal) atau masalah yang ditanyakan bukan sesuatu yamg mendesak yang harus segera dipecahkan, maka hukum berfatawa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifayah.[11]
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtiihad
berasal dari kata ijtahada yang memiliki arti bersungguh-sungguh, rajin, dan
giat.karenanya ijtihad memiliki arti berupaya dengan mencurahkan segala
kemampuan dan bersungguh-sungguh. Sedangkan ulama ushul mengartikan sebagai
perbuatan-perbuatan istinbat hukum syariah dari segi dalil-dalilnya yang
terperinci di dalam syaria. Sedangkan al ghazali medefinisikan ijtihad sebagai
usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang dalam rangka mengetahui hukum syariah
dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Kata
taklid berasal dari fi’il madhi(kata dasar) qalada dan taklidu yang secara
lughawi yang mengalungkan’’ atau ‘’menjadikan kalung’’ . kalau dikatakan
berarti masyarakat awam mesir yang
mengikuti pendapat imam al-syafi’i, hal demikian mengandung arti menjadikan
pendapat imam syafi’I sebagai kalung.
Menurut
bahas ittiba’ berasal dari bahas arab dri kata ittaba’ yang berarti mengikuti.
Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya.
Dan kat aini menyisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meladaninya, dan
mencontoh.
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atu
tafsiran pad suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Fatwa dalam
bahasa arab adalah nasihat,petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud
adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil dari suatu lembaga yang
disampaikan oleh seorang mufti atu ulama sebaga tanggapan atau pertanyaaab yang
diajukan oleh peminta fatwa(mustafti).
B. SARAN
Mungkin dari makalah kami terdapat kesalahan kami mohon kepada dosen dan kawan-kawan mahasiswa untuk mengkritik dan memberikan saran kepada kelompok kami, agar terciptanya makalah yang sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta:
Total Media,2001.
Amir
Syarif.Usul Fiqh. Jakarta : Kencana,2001.
Amir
Syarif.Usul Fiqh. Jakarta : Kencana,2001.
Abdul
Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta:
Total Media,2001.
Abdul
Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta:
Total Media,2001.
Amir
Syarif.Usul Fiqh. Jakarta : Kencana,2001.
Dede
Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial.
Jakarta: Raja Gfrindo Persada,1999
http://
ahmadafuadhasan. Blogspot. Co.id/2011/06/ijtihad-talfiq-dan-ittiba’ 23.html?m=1
http://id.m.wikypedia.org/wiki/fatwa
Ibrahim
Husen. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung
Sapiuddin
Shiddiq. Ushul Fiqh. Jakarta:
Kencana,2011.
[1]
Abdul Ghoffur Ansyori. Hukum Islam, (Yogyakarta:Kreasi
Total Media, 2008), hal. 153.
[2]
Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata
Sosia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),hal. 115-116.
[3]
Sapiudin Shiddiq. Ushul FiqH.
(Jakarta: Kencana, 2011 ),hal. 257-258.
[4]
Abdul Ghofur Al-ansori. Huku Islam.(Yogyakarta:Total
Media, 2008 ), hal.117-118.
[5]
Ibrahim Husen. Ijtihad dalam Sorotan.
(Bandung:Mizan 1996 ),hal. 123.
[6]
Amir syarif, ushul fiqh, (Jakarta :
kencana, 2001),hlm 433-434
[7]
Abdul ghofur al-ansori , hukum islam
,(yogyakarta : total media, 2008 ),hlm 157-158
[8]
Amir Syarif. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana,
2001),hal.145-146.
[9] http://ahmadfuadhasan.blogsop.co.id/2011/06/ijtihad-talfiq-dan-ittiba’_23.html?m=1diakses tanggal 20 april 2017.
[10] http://id.m.wikypedia.org/wiki/fatwa diakses tanggal 20 april 2017.
[11]Sapiuddin
Shiddiq. Ushul Fiqh. (Jakarta:
Kencana, 2001), hal. 457-461.
https://saglamproxy.com
ReplyDeletemetin2 proxy
proxy satın al
knight online proxy
mobil proxy satın al
AELY6