Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Showing posts with label IJTIHAD. Show all posts
Showing posts with label IJTIHAD. Show all posts

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB III

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan 
Fiqh adalah ilmu yang mempelajari hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah atau perbuatan mukallaf baik yang wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram yang di dasari atas dalil-dali yang jelas. Ushul fiqh ialah ilmu yang mempelajari pembentukan hukum-hukum yang mengatrur kehidupan masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.
Ijtihad ialah usaha yang sungguh-sungguh dengan segenap usahanya untuk mencari ilmu, dan kemudian dapat memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengikuti sumber atau alasannya. Dan ittiba’ adalah perbandingannya taqlid, yaitu mengikuti seseorang atau suat ucapan dengan hujjah.
Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Yang harus kita ketahui bahwasanya keempat pembahasan ini saling berkaitan dan bisa dipakai untuk menjahui dari kesesatan. 


B. Saran 
Semoga makalah ini dapat menambah sedikit ilmu pembaca tentang ijtihad, taqlid, ittiba’, dan fatwa. Serta mengambil manfaat dari seisinya, walau masih banyak kekurangan dari makalah ini. Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini nantinya.

DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Abdul. Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Chalil, Moenawar. Kembali Kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005.
Amirudin, Zen. Ushul Fiqh, Yoqyakarta: Teras, 2009.

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II PART II

Imam Al-Ghazali mengungkapkan ijtihad merupakan upaya maksimal seorng mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hanafi juga berpendapat bahwa pengertian adalah mencurahkan tenaga untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Untuk menjadi seorang mujtahid, harus mencukupi  beberapa syarat yang kemudian menjadi hukum sah nya melakukan ijtihad. Yang kemudian syarat-syarat ini telah ditetapkan oleh para ulama ahli ushul adalah sebagai berikut:
a. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya seperti ilmu nahwu, sharaf, dan lain sbagainya, sehingga ia mengerti benar-benar  akan susunan kata ayat-ayat  Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.

b. Mengerti tentang nash-nash Al-Qur’an, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat mujmal, yag muhkam, yang khas dan lain sebagainya, hingga mengerti akan sebab-sebab diturunkan, dimana ayat diturunkan, dan demikianlah seterusnya  hingga hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
c. Mengerti tentang hadist-hadist dan bagian-bagiannya, seperti hadist mutawatir, ahad, shahih, dan lai sebagainya dengan tidak mesti menghafal hadist-hadistnya, asal sudah dapat membedakan mana yang shahih dan dan mana yang tidak, dan lain sebagainya. 
d. Mengerti tentang ushul fiqh. Ilmu ushul inlah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang mujtahid dapat berinstinbat dari Al-Qur’an dan Hadist untuk menetapkan sesuatu hukum syar’i. 

C. Taqlid 
Kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidah yang artinya mengukangi, meniru, dan mengikuti. Taqlid secara istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. 
Adapun pengertian Taqlid menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Al-Ghazali “Menerima suatu perkataan dengan tidak ada huddjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusam ushul maupun dalam urusan furu’.
b. Ibnu Subki  “Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Taqlid adalah mengakui kebenaran pendapat seseorang yang dipercayainya tanpa tahu sumber atau atas dalil apa pendapata yang dibenarinya tersebut.
Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad Al-Maliki berkata “Taqlid itu artinya pada syara’ ialah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya”. Imam Al-Ghazali berkata “Taqlid itu ialah menerima perkataan tidak dengan alasan”. Dan banyak lagi pengertian yang artiya serupa dengan pengertian tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa “Taqlid itu ialah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjahnya (alasannya) dari Al-Qur’an ataupun dari Sunnah Rasul”.
Lalu muncullah pertanyan “Bolehkah ber-taqlid dalam urusan keagamaan ?” Jika Anda telah memahami pengertian taqlid diatas, maka sangat jelas bahwa bertaqlid dalam urusan agama itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. Dalam surah Al-Baqarah ayat seratus tujh puluh menjelaskan kepda kita bahwa orang yang sudah bertaqlid akan dibeci oleh Allah. Karena, apabila mereka diajak kembali mengikut pimpinan Allah dan kepada tutunan Rasul, mereka menjawab, “Kami hanya akan menuruti cara-cara yang telah dilakukan oleh orang tua kami, nenek-nenek moyang kami, dan datuk-dtuk kami”. Atau “Cukuplah bagi kami kami agama yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami dan datuk-datuk kami”. Mereka berkata begitu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan bahwa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka. Maka, sangat jelaslah bahwa islam benar-benar melarang bertaqlid khususnya dalam urusan agama. 
Tidak semua perbuatan taqlid itu dilarang dalam agama, akan tetapi ada juga taqlid yang dibolehkan oleh agama. Yaitu taqlid kepada para mujtahid dengan syarat yang dibolehkan adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum-hukum syariat. Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencar sendiri hukum-hukum suariat, maka harus berijtihad sendiri. Akantetapi, bila waktuny sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.

D. Ittiba’ 
Kata ittiba’ barasal dari kata ittiba’a-yattabi’u-muttabi’un, dan kata ini diambil dari tabi’a-yatba’u-tabi’un, yang artinya menikuti atau menuruti, menelusuri jejak, bersuri tauladan, dan berpanutan. Adapun secara istilah Ittiba’ adalah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Jika taqlid mengikuti seseorang ataupun ucapannya tanpa alasan. Maka, ittiba’ mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil padanya. Jadi, ittiba’ terhadap A-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. 
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin dan muslimat ber-ittiba’ kepada Rasulullah seperti firmannya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)  Maka wajib hukumnya berittiba’ dan dilarang untuk bertaqlid kepada yang tidak memenuhi syarat mujtahid. Disinilah letak yang membedakan antara ittiba’ dengan taqlid.
 Kata Imam Dawud dalam hadistnya “Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata ‘Ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya’.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ittiba’ ialah mengikuti, menuruti apa-apa yang diperintakan oleh Rasulullah S.A.W. atau dengan kata lain, mengerjakan perintah agama dengan meuruti apa-apa yang yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, dan juga menjauhi apa-apa yang telah dilarang, dan orang yang mengerjakan demikian itu namanya muttabi’. 
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang atau mengikuti perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya tersebut.
A. Fatwa 
Menurut Ensiklopedia Islam, fatwa secara bahsa arinya nasihat, petuah, jawaban, atau pendapat.  Maka, definisi fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Aku menyampaikan atau menfatwakan kepada si Fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskan kepada dirinya tentang pendapat itu. Aku berfatwa mengenai jawaban atas masalah itu”.
Secara istilah, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan juga merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menerangkan hukum-huku syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya. Kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan, dan kadang juga datang setelah adanya pertanyaan mengenai suatu permasalahan hukum syara’ tersebut.
Adapun pengertian Fatwa menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ahamd Hasan “Bahasa arab yang berarti jawaban pertannyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
b. Ibnu Qayyim “Pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. 

Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu. Maka, fatwa harus di dasari dari dalil-dalil syariat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad. Jika mujtahid ini memberikan fatwa (seorang muftiy berfatwa), haruslah kita menjadi muttabi’nya. Akan tetapi, apabila dia bukan seorang mujtahid, secara tidak sengaja ia telah bertaqlid dan menjadi orang yang dibenci oleh Allah serta orang-orang yang juga mempercayai fatwanya (bertaqid atasnya). 


LANJUTAN BAB III

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fiqh dan Ushul Fiqh 

a. Pengertian Fiqh 
Sacara bahasa fiqh  berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Dan secara istilah, fiqh merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum yang diperoleh melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.  
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ashshiddieqy “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshily”.
b. Hanafi “Mengetahui hukum-hukum syara’ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.
c. Rosyada “Mengetahuii hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang di kaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fiqh yaitu memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai ilmu pengetahuan. 
Hukum mempelajari ilmu fiqh ini adalah wajib atau fardhu ‘ain bagi setiap laki-laki maupun wanita. Dan hukum mempelajari hukum ini bisa berubah tergantung amal yang akan dilakukannya. Yang pertama, kalau amal yang akan dilakukan itu wajib, maka hukum mempelajarinya juga wajib. Seperti shalat lima waktu, hukum mempelajari ilmu yang membahas tata cara shalat lima waktu akan menjadi wajib. Yang kedua, kalau amalannya sunnah, maka mempelajarinyapun menjadi sunnah contohnya shalat rawatib. Akan tetapi, walaupun hukumnya sunnah kalau itu akan dijalankan, maka hukum mempelajariya manjadi wajib pula.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allahkebaikan atasnya, maka Allah akan menjadikannya paham dalam masalah agamanya” (H.R. Bukhari-Muslim, dari Muawiyah R.A.). Maka dapat disimpulkan bahwa, fiqh ini adalah suatu ilmu yang mempelajari hukum-hukum islam yang mana hukum ini sudah dikumpulkan oleh para ulama’, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.dan hukum mempelajarinya adalah fardu ‘ain, ketika ingin melakukan suatu amal, karena amalan tersebut harus dikerjakan dengan syarat-syarat tertentu hingga menjadi wajib hukum mempelajarinya.

b. Pengertian Ushul Fiqh 
Secara bahasa, ushul fiqh terdiri dari dua kata. Yang pertama yaitu ushul, ushul adalah bentuk jamak dari al-ashlu yang bararti pondasi, asas, akar, atau dasar atas segala sesuatu. Sedangkan menurut istilah, kata al-ashlu adalah dalil. Misalnya, para ulama mangatakandalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an. Yang kedua fiqh, kata ini berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal seperti yang telah dibahas secara rinci diatas. 
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ibnu Qudamah “Dalil-dalil fiqh yang menunjukkan kepadanya secara garis besar, tidak secara terperinci (Raudhatun Nazhir, 1:60-61)”.
b. Imam Al-Ghazali “Sesungguhnya ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum ini dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkan terhadap hukum-hukum secara garis besar tidak secara terperinci (Lihat, Al-Mustashfa,1:5)”.
c. Ibnu Burhan “Keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (Al-Wushul, 1:51)”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ushul fiqh mengenai dalil-dalil dan pengetahuan secara garis besar bukan terperinci.
Jadi, pengertian ushul fiqh adalah dalil-dali fiqh yang termasuk kedalam ilmu hukum islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori, dan sumber-sumber secara umum dalam rangka menghasilkan hukum islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.Dalil-dalil yang dimaksud adalah kaidah atau kajian umum yang bersifat universal, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh dan jelas berbeda.

B. Ijtihad 
Kata ijtihad barasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang artinya barsungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah mencurahkan segala upaya sekuat tenaga dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas secara menditeil atau kejelasannya masih umum didalam Al-quran maupun hadis Nabi dengan menggunakan logika sehat dan pertimbangan matang.  
Adapun pengertian Ijtihad menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Mahdi “Mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tak mampu mencari tambahan kemampuan.
b. Ibrahim Hoesen “Ijtihad tidak diterapkan pada konsep pengertian sesuatu yang mudah atau ringan”.
c. Ulama Ushul “Usaha seorang ahli fiqih menggunakan seluruh kemampuan untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ijtihad adalah usaha yang dilakukan dengan sunguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilakukan dengan siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadist atau dengan kata lain, menggali dan kemudian mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang kemudian dipublikasikan kepada orang awam dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. 
Ijihad biasa sering kita dengar sebagai jihad yang biasa diartikan perang, hal ini dikarenakan berjihad tentu dilakukan dengan bersusah payah. Suatu perbuatan dapat diktakan jihad apabila dilakukan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Maka, dapat dikatakan bahwa ijtihad adalah menghabiskan kesanggupan dalam memperoleh suatu hukum syara’ yang ‘amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah. 

SAMBUNGAN >>> BAB II PART III

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB I

BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Ilmu ushul fiqh merupakan metode dalam mengenali dan menetapkan hukum islam. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum syara’ secara benar dan dipertanggung jawabkan. Melalui ushul fiqh kita dapat menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Sedangkan bagi orang awam yang tidak mampu menggali hukum islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup menginstinbatkan sendiri hukum-hukum islam, maka diperbolehkan bagi mereka megikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang diprcayainya.

Dalam ushul fiqh juga membahas masalah ijtihad, taqlid, ittba’, dan fatwa. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dengan maksud yang berbeda pula. Akan tetapi, keempatnya sangat jelas diatur dalam agama Islam. Salah satunya ialah ittiba’ yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 43 yang artinya “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri Wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

B. Rumusan Masalah 
1. Apa yang dimaksud dengan fiqh dan ushul fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
3. Apa yang dimaksud dengan ittiba ?
4. Apa yang dimaksud dengan taqlid ? 
5. Apa yang dimaksud dengan fatwa ?



C. Tujuan dan Manfaat 

  1. Memberi pemahaman tentang pengertian fiqh, ushul fiqh, ijtihad, ittiba’, taqlid, dan fatwa. Agar para pembaca bisa membedakan antara ittiba’ dengan taqlid dan juga pemahaman yang lainnya yang bisa menjadi pengetahuan masing-masing. Seperti melakukan segala perlakuan atas tujuan berijtihad dijalan Allah, mencari dari mana dasar hukum yang selama ini menjadi taqlidnya sebelum mengetahuinya dan lain sebagainya. 
  2. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah ushul fiqh yang kemudian akan didiskusikan bersama-sama agar lebih dimengerti nantinya.