Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

DASAR HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN LENGKAP DENGAN AYAT

 

BAB II

PEMINANGAN 

A.     Pengertian peminangan

Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang yang banyak diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an yang artinya : “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.(QS. An-nisa’4:3).

Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam.


PERKEBANGAN SEJARAH FIQIH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG

              Hukum islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa mengalami dinamika. Masa perjalanan hukum islam sendiri sebenanrnya dapat diklarifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga di susul dengan masa tabi’it tabi’in. pada rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat islam terbilang belum begitu kompleks. selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih di serahkan penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh umat islam semakin komplek, dan terkadang suatu permasalahan yang di hadapi oleh umat islam pada saat itu belum di jumpai pada zaman Rasuullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ashul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang di hadapi oleh umat islam. Jika di teliti lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar dari kalangan ahli hukum islam.

             

PENGERTIAN SYARIAH, FIQH DAN USHUL FIQH

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SYARIAH, FIQH DAN USHUL FIQH

1.      Syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui perantaraan rasul agar hambanya beriman dan bertaqwa

2.      Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum islam dan cara pelaksanaannya

3.      ushul fiqh berasal dari dua kata yaitu ushul dan fiqh, ushul adalah jamak dari kata aslh yang artinya kuat,pokok sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu, adapun fiqh yaitu memahami,mengertisedangkan menurut istilah  adalah hukum dalam islam yang didalamnya mempelajari tentang kaedah-kaedah, teori dan sumbernya

menurut pendapat para ahli sebagai berikut :


-          menurut syaikh ‘atha abu ar-rasytah  ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang diatasnya dibangun ilmu tentang hukum syar’I yang bersifat aplikatif digali dari dalil-dali terperinci.

Muamalah Bab 2

Dasar Hukum Qardh

Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadist, dan ijma’.
1.      Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah QS. Al-Hadid/57:11 ;
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah),maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.

Pokok-pokok Muamalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak hal ini, yang bertujuan untuk mencukupkan kebutuhan sehari-hari. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, bercocok tanah atau usaha-usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.

Dasar Hukum Munakahat (Pernikahan)

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SYARI’AH, FIQH.DAN USHUL FIQH
1. Syariah
Syariah adalah hukum atau aturan yang ditetapkan allah melalui rasulnya untuk hambanya agar mereka menaati hukum itu atas dasar iman dan taqwa baik yang berkaitan dengan aqidah,amaliyah (ibadah dan muamalah)dan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
2. fiqh
Fiqh adalah mengetahui tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang sebagaimana diketahui dalam al-quran, assunnah,ijma”,qiyas serta hukum yang membahas tentang tingkah laku manusia.
3. ushul fiqh
Ushul fiqh berasal dari dua kata yaitu kata ushul bentuk jama’ dari ashl dan kata fiqh yang masing-masing mengandung pengertian yang luas secara etimolongi diartikan sebagai pondasi sesuatu baik bersifat materi atau bukan, sedangkan menurut istilah adalah ilmu yang mempelajari tentang suatu landasan hukum.
Menurut pendapat kami:
Syariah adalah hukum yang telah ditetapkan oleh manusia sebagai aturan sumber hukum dalam kehidupan.(m.firdaus)
Fiqh adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia.(nur)
Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber tentang ibadah pada Allah SWT.(m.firdaus)
Ilustrasi : Image Regional Kompas


B. KHITBAH (MEMINANG)
1.   Defenisi Khitbah
Khitbah adalah permintaan seorang laki-laki untuk menguasai seseorang  tertentu dari keluarganya dan bersekutu dalam urusan kebersamaan hidup.atau dapat pula diartikan, seorang laki-laki menampakkan kecintaannya untuk menikahi seorang wanita yang halal dinikahi secara syara. Adapun pelaksanaannya beragam;  adakalanya
peminang itu sendiri yang meminta langsung kepada yang bersangkutan,atau melalui keluarga,atau melalui utusan seseorang yang dapat dipercaya untuk meminta orang yang dikehendaki.
2. Hikhmah disyaraatkan khitbah
Transaksi nikah dalam islam tergolong transaksi yang paling agung dan paling tinggi kedudukannya, karena ia hanya terjadi pada makhluk yang paling agung di bumi, yakni manusia yang dimuliakan oleh Allah. Akad nikah untuk selamanya dan sepanjang masa  bukan untuk sementara. Salah satu dari kedua calon pasangan hendaknya tidak mendahului ikatan oernikahan yang saklar terhadap yang lain kecuali setelah diseleksi benar dan mengatahui secara jelas tradisi calon teman hidupnya, karakter, perilaki, dan akhlaknya sehingga keduanya akan dapat meletakkan hidup mulia dan tentram, diliputi suasana cinta puas, bahagia dan ketenangan. Ketergesaan dalam ikatan pernikahan tidak mendatangkan akibat kecuali keberukan bagi kedua belah pihakdiisyaratkan hikmah atau salah satu pihak. Inilah di antara hilmah diisyaratkan khitbah dalam islamuntuk mencapai tujuan yang mulia dan impian yang agung.
3.  Hukum memandang wanita terpandang
Syariat islam memperbolehkan seorang laki-laki memandang wanita yang ingin dinikahi, bahkan dianjurkan dan di sunnahkan karena pandangan peminang terhadap terpinang merupakan bagian dari sarana keberlangsungan hidup pernikahandan ketrentaman. Syariat islam memprbolehkan pandangan terhadap wanita terpinang, padahal asalnya haram memandang wanita lain yang bukan mahram. Hal ini didasarkan pada kondisi darurat, yakni unsur keterpaksaan untuk melakukan hal tersebut karena masing-masing calon pasangan memang harus mengetahui secara jelas permasalahan orang yang akan menjadi teman hidup dan secara khusus perilakunya. Ia akan menjadi bagian yang paling penting untuk keberlangsungan pernikahan, yakni anak-anak dan keturunannya. Demikian juga diperbolehkan masing-masing  laki-laki dan wanita memandang satu sama lain pada sebagian kondisi selain khitbah,seperti pengobatan, penerima persaksian. Hal tersebut termasuk masalah pengecualian dari hukum asal keharaman pandangan laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya.
4.  Perempuan yang boleh dipinang
Tidakn semua perempuan boleh dikawini, ada perempuan yang untuk selama-lamanya tidak boleh dikawini, seperti ibu,saudara kandung,mrtua dan sebagainya. Asa yang dilarang hanya untuk sementara seperti saudara ipar, perempuan yang sedang dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki
Boleh dipinang seketika; perempuan boleh dipinang apabila memenuhi dua syarat:
a. Tidak terdapat halangan-halangan syara untuk dikawini seketika oleh laki-laki yang meminang, karena tidak adahubungan mahram, tidak dalam hubungan perkawinan dengan laki-laki atau tidak sedang menjalani  ‘iddah talak raj’i.
b. Tidak sedang dalam peminangan laki-laki lain.
Baca Juga : Dalil Hukum Islam
C .NIKAH
1. Definisi Nikah
Menurut bahasa Nikah dapat diartikan adh-dhamm(berkumpulatau bergabung) dan al-ikhtilath (bercampur). Seseorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat islam.
Para ulama merinci makna lafal nikah ada empat macam:
a. Nikah diartikan akad dalam arti yang sebenarnya dan diartikan percampuran suami istri da kam arti kiasan.
b. Nikah diartikan percampuran suami istri dalam arti sebenarnya dan akad berarti kiasan
c.  Nikah lafal musyatarak (mumpunyai dua makna yang sama)
d. Nikah diartikan adh-dhamm (bergabung secara secara mutlak) dan al-ikhtilath (perampuran).

2. Rukun Nikah
a. Pengantin lelaki (suami)
b. Pengantin perempuan (istri)
c. Wali
d. Dua orang saksi lelaki
e. Ijab dan kabul (akad nikah)

3. Hukum Nikah
Hukum nikah ada :
Fardu
Hukum nikah pada kondisi ini seseorang yang mampu biaya wajib nikah,yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan dengan baik.
Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan yang baik dengan isteri yang dinikahinya, dan ia mampunyaidugaan kuat akan melakukan perzinaan apbila tidak menikah.
Haram
Hukum nikah menjadi haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayan jika menikah.
Makruh
Hukum nikah menjadi makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran,seseorang mempunyai kemampuan hartabiaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiyaan istrhi yang tidak sampai ke tingkat yakin.
Mubah
Hukum nikah menjadi mubah bagi laki-laki yang tidak tersedak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

4. Hikmah Nikah
pernikahan dalamislam tidak hanya sekedar pada batas pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual,tetapi memiliki tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial,psikologi,dan agama.Diantara yang terpenting dalah sebagai berikut:
a.  Memelihara gen manusia.
b. Pernikahan sebagai tiang keluarga yang teguh tan kokoh.
c.  Nikah sebagai perisai diri manusia.
d. Melawan hawa nafsu.

5. Syarat Sah Nikah
syarat sah nikah adalah yang membuat akad itu patut menimbulkan beberapa hukum. Jika satu syarat saja tidak ada,maka akadnya pun tidak akan sah.
a. Persaksian
Adapun tujuan persaksian adalah memilahara ingatan yang benar karta dikhawatirkan lupa.
b. Wanita yang dinikahi bukan Mahran
Wanitayang dinikahi syaratnya bukan yang di haramkan selamanya seperti  ibudan saudara peremuan atau haram secara temporal seperti saudara perempuan istri atau bibi istri atau bibi perempuannya.

c. Shiqhat Akad
Shiqhat akad memberi makna untuk selamanya. Artinya, tidak ada kata yang menunjukkan pembatasan waktu dalam pernikahan, baik dinyatakan maupun tidak dinyatakan, baik dalam masa yang lama maupun pada waktu yang pendek.

D. AL-MUHARRAMAN (Wanita-wanita yang diharamkan)
Diantara wanita ada yang haram dinikahi seorang laki-laki selamanya; tidak halal sekarang dan tidak halal sekarang dan tidak akan halal pada masa-masa yang akan datang, mereka itu disebut haram abadi. Dan di antara wanita adayang haram untuk dinikahi seorang laki-laki sementara. Keharaman berlangsung selama ada sebab dan terkadang menjadi halal ketika sebab keharaman itu hilang,macam yang kedua ini disebut haram sementara atau temporal.
1. Keharaman Menikah Wanita Secara Abadi (Keharaman Mutlak)
a. Wanita Haram Sebab Nasab
Yang dimaksudkan dengan nasab adalah kerabat dekat, orang yang mempuanyai kerabat disebut pemilik rahim yang diharamkan. Wanita yang diharamkan sebab nasab adaempat macam yaitu:
Ibu dan mereka yang dinisbatkan nasabnya kepadaseseorang perempuan sebab kelahiran,baik atasnama ibu secara hakiki yaitu yang melahirkan atau secarakiasan yaitu yang melahirkan dari anaknya ke atas seperti neneknya bapak k atas. Haram atas laki-laki menikahinya karena merupakan bagian dari mereka.
Anak-anak perempuan ke bawah. Haram atas laki-laki menikahi putrinya sendiri,putri dari anak putrinyaa,dan putri dari anak laki-lakinya.
Anak-anak orangtua, mereka saudara perempuan secara mutlak,baik sekandung atau yang bukan sekandung, putri saudara laki-laki,putri saudara perempuan,putri dari anaknya saudara laki-laki,puti dari anaknya perempuan,putri dari anaknya saudara perempuan sampai ke bawah.
Anak-anak kakeknya dan anak-anak neneknya dengan syarat terpisah satu tingkat. Saudara perempuan bapak haram atas laki-laki,karena mereka terpisah dari kakek ke bapak satu tingkat, saudara perempuan ibu haram atasnya karena mereka terpisah dari kakek ke ibunya satu tingkat, bibinya bapak dari pihak bapak (kakek) haram karena terpisah dari kakek ayahnya satu tingkat.
b. Keharaman sebab persambungan (Mertua):
Ada empat tipe wanita yang haraam selamamya bagi laki-laki untuk menikahinya sebab hubungan persambungan,yaitu sebagai berikut:
Orangtua isteri, baik telah bercampur dengan istri atau belum. Ibunya isteri dan neneknya haram bagi seorang laki-laki dukarenakan akad nikah dengan isteri semata.
Anak-anak istri yang telah dicampuri. Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan telah bercampur, bagi wanita ini mempunyai anak-anak putri dari orang lain atau mempunyai cucu putri dari anak laki-laki atau cucu perempuan maka tidak halal bagi laki-laki tersebut menikahi satu wanita dari mereka itu
Istri-istri orang tua walaupun belakangan sebagai penengah nasab antara ia dan mereka. Istri kakek,dan istri kakek, dan istri bapaknya kakek haram atasnya selamanya, baik apabila mereka telah bercampur atau belum karena nikah secara mutlak berpihak kepada akad.
Istri-istri anak walaupun belakangan sebagai penengah nasab antara ia dan mereka. Istri anak,istri cucu dari anak laki-laki dan istri cucu dari anak perempuan ke bawah,haram bagi bapak dan kakek ke atas selama anak tersebut masih keterunannya, bukan anak angkat (adopsi)
c. Keharaman Sebab Persusuan
Sebab ketiga di antarasebab keharaman abaddi  adalah persususan. Agar kalian paham kami harus memaparkan subtansi persusuan,syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga berkesimpulan haram dan faktor-faktor penyebab keharamannya.
1. Faktor keharaman sebab persusuan
Orang tua seseorang sepersusuan ke atas
Anak-anak seorang sepersusuan
Anak-anak kedua orangtua sepersusuan
Anak-anak kakek dan nenenk sepersusuan
Istri orangtua sepersusuan
Istri anak sepersusuan
Orangtua istri sepersusuan
Anak-anak istrinya sepersusuan

2. Syarat-syarat persusuan yang mengharamkan
Susu keturunan adam perempuan
Wanita adam masih hidup
Usia wanita yang menyusui 9 tahun komariah ke atas
Dapat dibuktikan sampainya susu ke dalam perut anak yang menyusui melalui cara alami, walaupun dimuntahkan seketika karena ia sampai ke perut tempat makanan
Usia anak yang menyusui dalam dua tahun awal
Penyusuan terjadi lima kali yang terpisah

2. Wanita Haram Sementara
a. Wanita-wanita yang Dinikahi dan Sesamanya
Maksudnya, wanita ber-iddah baik karena ditalak atau dipisah karena dicampuri syubhat, atau karena dipisahkan. Baik talaknya raj’i (talak satu dan dua) atau ba’in (talak tiga), baik talak ba’in shuqhra atau kubra. Alasannya, karena masih ada hubungan hak suami bagi wanita yabg dinikahi atau ber-iddah karena talak raj’i.
b. Wanita Tertalak Tiga Kali bagi Suaminya
Wanita yang ditalak tiga tidak boleh dinikahi kembali oleh suaminya kecuali telah dinikahi suami lain secara sah menurut syara’ dan telah bercampur’ kemudian dipisah karena meninggal dunia atau di talak dan telah habis masa iddahnya.hikmah keharaman ini mendorong suami agar tidak terburu-buru menjatuhkan talak dan memberikan hukuman terhadap pasangan yang buruk akhlaknya yang semakin menguat dengan talak tiga. Di antara maslahat diharamkan wanita ini sementara waktu (temporer) sehingga berpengalaman hidup dengan pasangan suami lain.
c. Poligami antara Dua Wanita Mahram
Haram bagi seseorang berpoligami dua orang wanita yang ada hubungan hubungan kerabat atau persusuan yakni sekiranya ditaktirkan mempunyai anak laki-laki maka haram yang lain atasnya. Keharaman disini dari dua sisi, seorang yang menikahi seseorang wanita haram menikahi saudara perempuannya, baik saudara perempuan kandung atau tunggal bapak atau tunggal ibu. Demikian juga haram mengumpulkan antara seorang wanita dan paman wanitanya atau bibi wanitanya karena akan mendatangkan perpecahan keluarga dandan permusuhan yang disebabkan kecemburuan antara dua istri tersebut.
d. Poligami Melebihi Empat Orang wanita
Tidak halal bagi seseorang yang telah beristri empat wanita menikahi wanita lagi. Keharaman ini berlangsung sampai ada yang mati atau dicerai salah satunya dan keluar dari masa iddahnya. Sebagaimana haram bagi laki-laki menikahi istri yang kelima, jika dibawahnya masih ada empatorang istri, haram pula menikahinya jika ia talak satunyadan masih dalam iddah , karena hukumnya ia masih menjadi isterinya.
e. Wanita yang Bukan Beragama Samawi
Tidak boleh menikahi wanita athies yang ingkar terhadap semua agama dan tidak beriman wujudnya tuhana. Demikian juga tidak boleh menikahi wanita yang beriman kepada agama selain agama samawi,seperti agama-agama yang diciptakan manusia seperti agama Majusi yang menyembah api, Watsaniyah yang mnyembah Berhala, Shabiah yang menyembah bintang-bintang dan benda-benda di langit,dan Hindu yang menyembah sapi. Demikian pula muslim tidak sah menikahi wanita yang dilahirkan dari campuran antara Kitabi dan Majusi, sekalipun bapaknya Kitabi karena memenangkan keharaman. Hikmah keharaman ini adalah membedakan antara muslim dan dan antara orang yang tidak beragama,karena tidak akan tercapai ketenangan dan kasih sayang sebagaimana yang dicita-citakan dalam pernikahan.
f. Wanita Murtad
Tidak boleh bagi seseorang menikahi wanita yang keluar dari agama islam, ia tdiak beragama karena tidak menetap pada agamnya. Ia bukan muslim karena karena ia tidak lebih sebagai orang kafir seperti warsaniyah(penyembah berhala). Ia tidak tergolong orang kafir karena masih ada hubungan dengan islam dan tidak tergolong orang murtad. Sebagaimna orang murtadtidak boleh menikahi wanita muslimah, ia tidaak boleh menikahi kitabiyah dan wanita murtadah sesamanya. Karena pernikahan itu mempunyai karakter dan berindikasi agama, orang murtad tidak beraga karena ia juga tidak berpendirian pada agamanya walaupun telah berpindah agama samawi lain.

E. THALAK(PENCERAIAN)
Menurut bahasa, talak berarti melapas tali dan membebaskan. Misalnya naqah thaliq (unta yang terlepas tanpa diikat). Menurut syar’, melepas tali nikah dengan lafal talak atau sesamanya. Menurut imam nawawi dalam bukunya Tahdzib, talak adalah tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus nikah.
1. Hukum Talak
Para ulama berbeda pendapat  tentang hukum talak. Pendapat yang lebih benar adalah makruh jika tidak ada hajat yang menyebabkannya, karena talak berarti kufur terhadap nikmat allah. Pernikahan itu adalah suatu nikmat dari beberapa nikmat allah, mengkufuri nikmat allah haram hukumnya. Talak tidak halal kecuali karena darurat, misalnya suami ragu terhadap perilaku istri atau hati sang suami tidak ada rasa tertarik pada istri karena allah maha membalikkan segala hati. Jika tidak ada hajat yang mendorong talak berarti kufur terhadap nikmat Allah Secara murni dan buruk adab terhadap suami,hukumnya makruh.
2. Rukun Talak
a. Pencerai
pencerai merupakan tindakan kehendak yang berpengaruh dalam hukum syara’. oleh karena itu penceraian dapat diterima apabila memenuhi beberapa persyaratan, yaitu sebagai berikut:
Mukallaf
Ulama sepakat bahwa suami yang diperbolehkan menceraikan istrinya dan talaknya diterima apabila ia berakal,balig,dan berdasarkan pilihan sendiri. Tidak sah talak seseorang suami yang masih kecil,gila,mabuk dan tidur, baik talak menggunakan kalimat yang tegas maupun bergantung.
pilihan sendiri
Tidak sah talaknya orang yang dipaksa tanpa didasarkan kebenaran. Maksud tertupup disini orang yang terpaksa itu tertutup segala pintu,tidak dapat keluar melainkan harus talak. Adapun jika pemaksaan itu didasarkan kepada kebenaraan seperti kondisi keharusan talak yang dipaksakan oleh hakim,hukumnya sah karena paksaan ini dibenarkan. Selanjutnya, akan dijelaskan lebih terperinci.
b. Ungkapan Cerai(SHIQHAT TALAK)
1. Ungkapan Talak dengan Bahasa Jelas (Sharih)
Talak terjadi dengan segala sesuatu yang menunjukkan putusnya hubungan pernikahan,baik dengan menggunakan ucapan,tulisan yang ditunjukkan kepada istri, isyarat dari seseorang suami bisu, maupun dengan utusan.
2. Ungkapan Talak dengan Sindiran (Kinayah)
Suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yang lain. Kalimatnya banyak dan tidak terhitung, tetapi berikut ini disebutkan beberapa contoh saja bukan berarti menjumlah hitungan. Ungkapan kata yang tidak berarti talak,tidak menyerupainya, dan tidak menunjukkan c,erai seperti perkataan seseorang kepada istrinya , misalnya duduklah,engkau cantik,semoga allah memberkahi engkau,dan sesamanya. Dengan menggunakan kata-kata tersebut tidak terjadi talak sekalipun berniat talak,karena kata-kata tersebut tidak ada kemungkinan di dalamnya makna talak. Andaikata dijatuhkan, talak hanya sekedar niat belaka.
Berikut ini beberapa contoh talak sindiran, misalnya engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melanggarlah, bebaskan rahimmu, pulanglah ke orangtuamu,talimuterhadapaku keanehanmu, jauhkanlah aku, pergilah, dan lain-lainnya.
3. Talak dengan Isyarat
Di sini akan saya sebutkan apakah terjadi talak dengan isyarat? Dan apakah isyarat ini tergolong talak yang jelas(sharih) atau talak sindiran(kinayah) jawaban ini tidak lepas dari dua hal, yaitu sebagai berikut:
a. Isyarat bagi orang bisu
Isyarat bagi orang bisu sebagai alat berkomunikasi. Ia menempati lafal dalam menjatuhkan talak. Jika ia memberi  isyarat yang menunjuk pada maksudnya yaitu menghentikan hubungan pasangan suami istri dan semua orang paham,maka talak itu SHARIH (jelas).jika isyarat itu tidak dapat dipahami melainkan orang-orang cerdassaja,ad dua pendapat;adakalanya sharih dan adakalnya kinayah.
b. Isyarat bagi orang yang dapat Berbicara
Ulama berbeda pendapat tentang isyarat orang yang dapat berbicara.Pertama, isyarat talak dari orang yang dapatberbicara tidak sah talaknya,karena isyarat yang diterima dan menempati ucapan bagi haknya orang bisu diposisikan karena darurat,sedangkan disini tidak ada darurat.
Kedua:isyarat orang yang dapat berbicara dikatagorikan talak sendirian(kinayah) karena secara global memberi pemahaman talak.
4. Talak dengan Tulisan
Talak dapat terjadi dengan tulisan walaupun penulis mampu berkata-kata. Sebagaimana suami boleh menalak istri dengan lafal atau ucapan,ia juga boleh menalak dengan tulisan.
Fuaqaha’ mensyaratkan bahwa tulisan itu hendaknya jelas dan terlukis. Maksudnya jelas adalah jelas tulisannya sehingga terbaca ketika ditulis di lembaran  kertas dan sesamanya. Maksudterlukis, tertulis ke alamat istri. Misalnya suami menulis menulis surat kepada istri: hai fulanah engkau tercerai’. Jika tulisan itu tidak dialamatkan kepada istri maka tidak tercerai kecuali dengan niat. Misalnya suami menulis di atas kertas :’Engkau tercerai atau istriku tercerai’. Tulisan tersebut ada kemungkinan tidak  bermaksud talak, tetapi hanya sebuah kaligrafi misalnya. Pendapat lain mengatakan,tulisan tersebut termasuk sharih, maka terjadilah talak.
5. Talak Bebas dan Bergantung
Shiqhat talak adakalanya bebas tidak terikat(manjizah), adakalanya bergantung (mu’allaq),dan adakalanya disandarkan pada maa yang akan datang. Shiqhat talak yang bebas adalah siqhat yang tidak bergantung pada syarat dan tidak disandarkan pada waktu yang akan datang. Ia  dimaksudkan oleh yang mengucapkannya terjadinya talak sekaligus, seperti ucapan suami: “engkau tertalak”. Hukum talak ini menjatuhkan talak seketika, kapan saja diucapkan oleh ahlinya dan padatempatnya.
Shiqhat talak bergantung adalah apa yang dijadikan suami untuk mencapai talak digantungkan pada syaratsuatu sifat. Seperti ucapan seorang suami kepada istri: ‘jika engkau pergi ke teater maka engkau tertalak”.
c. Shiqhat Talak pada Masa yang Akan Datang
Talak terkadang disandarkan pada masa yang akan datang dengan tujuan talak kapan waktu itu datang. Seperti perkataan suami kepada istrinya : Engkau tertalak besok atau besok Awal Tahun”. Talak terjadi besok atau pada awal tahun apabila wanita itu masih miliknya pada saat datangnya waktu yang disandari tersebut.
d. Persaksian Talak
Bertepatan bicara shiqhat, kami mempertanyakan,apakah perlu syarat persaksian pada talak? Jawabannya: Menurutnya pendapat jumhur fuqaha’ baik salaf maupun khalak menjatuhkan talak tidak perlu bukti atau saksi untuk melaksanaknnya haknya. Talak  ada semua bahwa persaksian itu wajib dan menjadi syarat sahnya talak adalah hak suami,allah jadikannya di tangan suami dan allah tidak jadikan hak pada orang lain.
Berbeda pendpat dengan fuqaha “syiah Imamiyah yang mengatakan bahwapersaksian itu menjadi syarat sahnya talak. Dan juga Ath-Thabarsi menyebutkan, bahwa lahirya persaksian dalam talak itu diperintahkan.diriwayatkan oleh ahli bait semua bahwa persaksian itu wajib dan menjadi syarat sahnya talak. Di antara sahabat yang berpendapat wajibnya saksi dan menjadi syarat sahnya talak adalah Ali bin Abi Thalib.
e. Pemberian Kekuasaan/Penyerahan Talak (kepada istri)
Sebagaimnana kami katakan bahwa talak itu di antara hak suami. Ia boleh mencerai istri sendiri dan boleh menyerahkannya pada wanita untuk menceraikan dirinya. Fugaha’ telah membicarakan yang kedua ini, misalnya seorang suami berkata kepada istri:’talaklah diri engkau sendiri jikaengkau mau’. Fuqaha juga menyebutkan contoh bentuk lain misalnya, “pilihlah dirimu urusanmu di tanganmu”.
Meraka berpendapat bahwa ungkapan kalimat: “pilihlah dirimu” dapat menjatuhkan talak, karena syra’ menjadikannya di antara shiqhat talak.

F. RUJU’ (RUJUK)
Rujuk berasal dari kata arab raj’ah yang berarti kembali. Dimaksud disini adalah kembali hiduo bersuami istri antara laki-laki dan perempuan yang melakukan pencaraian dengan talak raj’i selama masih dalam masa ‘iddh tanpa akad nikah baru.
a. Syarat-syarat rujuk
Rujuk dapat dilakukan suami apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bekas isteri sudah pernah dicampuri. Dengan demikian penceraian yang terjadi antara suami isteri yang belum pernah berhubungan badan tidak memberikan hak rujuk kepada bekas suami.
2. Talak yang dijatuhkan suami tanpa pembayaran ‘iwadl dari pihak istri. Dengan demikian, apabila suami menjatuhkan talak atas permintaan istri dengan pembayaran ‘iwadl, baik dengan jalan khuluk atau terpenuhinya ketentuan-ketentuan taklil talak, tidak berhak merujuk bekas istri.
3. Rujuk dilakukan pada waktu bekas istri masih dalam masa ‘iddah. Dengan demikian apabila masa ‘iddah telah habis, maka hak suami merujuk istri menjadi habis pula
4. Persetujuan istri yang akan dirujuk. Syarat ini sejalan dengan prinsip su ka rela dalam perkawinan.

b. Pelaksaan Rujuk
Jumhur fuqada memandang sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan tanpa kata-kata apapun juga, misalnya dengan jalan mengumpuli jalan bekas istri atau dengan perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan antara suami istri. Menurut pendapat imam syafi’i, rujuk harus dilakukan dengan pernyataan lisan dari bekas suami kepada istri. Sejalan dengan adanya syarat persaksian dalam talak,dalam hal rujuk harus dipersaksian. Imam syafi’i berpendapat bahwa persaksian dalam talak hukumnya sunat, tetapi dalam rujuk hukumnya wajib.
Pelaksanaa rujuk di indonesia telah diatur amat rapii dalam aturan peraturan menteri agama nomor3 tahun 1975 tentang kewajiban pegawai pencatatnikah dan tat kerja pengadilan agama,bab X1 pasal 32,33dan 34. Peraturan menteri agama tersebut antaralain menentukan bahwa rujuk dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan pegawai pencatat Nikah atau P3.NTR.dari ketentuan ini saja,menurut hukum yang berlaku di indonesia, rujuk harus dilakukan secaralisan oleh suami dengan persetujuan istri di dalam saksi-saksi yang terdiri dari Para Pegawai Pencatat nikah atau P.3NTR

c. Hak ruju
Menurut ketentuan QS.al-baqarah:228, yang mempunyai hak rujuk  adalah suami,sebagai imbangan hak talak yang dipunyainya.

G. MENGASUH ANAK (HADLANAH)
Hadhanah berasal dari kata hadlanayang disamping atau di bawah ketiakak. Dimaksud didini adalah mendidik atau merawat seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan sendiri.

a. Yang lebih berhak Mengasuh
Apabila perceraian terjadi antara suami istri yang telah berketurunan,pihak yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istrinya, ibu dari anaknya. Apabila ibu anak tidak ada, yang berhak adalah neneknya, yaitu ibu dari ibu anak dan seterusnya ke atas. Apabila dari pihak ibu tidak ada, hak mengasuh beralih kepada ibu ayah dan seterusnya ke atas.
Apabila keluarga gariis vertikal tersebut tidak ada berpindah kepada keluarga hubungan horizontal, yaitu saudara perempuan kandung, kemudian saudara perempuan seibu,kemudian saudara perempuan seayah, kemenakan (anak perempuan saudara perempuan kandung, kemudia anak perempuan saudara perempuan ibu).urutan berikutnya, apabila kemenakan-kemenakan tersebut tidak ada,hak hadlanah berpindah kepada bibi kandung (saudara saudara kandungan ibu), kemudian bibi seibu, kemudian bibi seayah. Apabila bibi itu tidak ada, maka berpindah
kepadakemenakan (anak perempuan saudara perempuan seayah). Dan seterusnya.

b. Syarat-syarat Hadhanah
Ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berakal sehat
2. Baliqh
3. Mampu mendidik
4. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia
5. Beragama islam

c. Biaya Mengasuh anak
Biaya mengasuh anak dibebankan kepada ayah anak. Segala sesuatu yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah untuk mencukupannya. Apabila ibu yang mengasuh tidak mempunya tempat tinggal, maka ayah harus menyediakannya, agar ibu dapat mengasuh anak dengan sebaik-baiknya. Apabila untuk keperluan asuhan yang baik diperlukan pembantu rumah tangga, maka jika ayah memang mampu diwajibkan menyediakan pembantu rumah tangga itu. Jika anak masih dalam masa menyusu,dan untuk dapat menyusui anak dengn baik ibu memerlukan makanan sehat, obat-obat vitamin dan sebagainya, maka semuanya itu menjadi beban ayah. Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah, maka biaya pendidikan itu menjadi tanggungan ayah juga.
d. Berakhirnya masa asuhan
Hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai umur tujuh tahun.pada umur ini anak disuruh memilih, apakah akan ikut ibu teru atau akan ikut ayah. Satu hal yang perlu diperhatikan, siapapun yang akhirnya dipilih untuk diikuti, keberhasilan pendidikan agar menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Segala sesuatu harus dimusyawarahkan bersama, perceraian ayah ibu jangan sampai berakibat si anak menjadi korban. Kepada anak jagan sekali-kali di tanamkan rasa benci kepada orang tua , ibu tidak boleh memburukkan nama ayah di depan anak, ayahpun jangan memburukkan nama ibu di depan muka anak. Anak yang mengikuti ayah jangan sampai dipisahkan sama sekali dari ibunya dan anak yang ikut ibu jangan sekali-kali sampai terpisah hubungan dari ayahnya.

H. MAWARIS
1.  Pengertian mawaris
Kata mawaris secara etomologis adalah bentuk jamak dari kata tunggal mirats artinya warisan. Mawaris juga disebut faraid, bentuk jamak dari kata faridah.kata ini berasal dari kata farada yang artinya ketentuan, atau menentukan.
Dengan demikian kata faraid atau faridah artinya adalah ketentuan-ketentuan tentang sia-siapa yang termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, ahli waris yang tidak berhak mendapatkannya.
Jadi mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima warisan, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
           2. Hukum kewarisan sebelum islam dan perkembangannya
Menurut masyarakat jahiliyah, ahli waris yang berhak mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal, adlah mereka yang  laki-laki, berfisik kuat, dan memiliki kemampuan untuk menganggul senjata dan mengalahkan musuh dalam setiap peperangan. Kepentingan suku (qabilah) menjadi sangat diutamakan. Karena dari prestasi dan eksisten sukunya itulah, martabat seseorang sebagai anggota suku dipertaruhkan.
Konsekuensinya adalah, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan dilarang dan tidak diberi hak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Mereka tidak bisa menghargai kaum perempuan yang nantinya menurut perspektif Al-Qur’an,mempunyai kedudukan sederajad dengan laki-laki. Bagi mereka, kaum perempuan tidak ubahnya bagaikan barang, bisa diwariskan dan diperjualbelikan, bisa dimiliki dan dipindah-pindahkan.
3.Sumber-sumber hukum kewarisan islam
a. Al-Qur’an
Isinya menghapus ketentuan-ketentuan hukum masa Jahiliyah dan ketentuan yang berlaku pada-pada masa awal islam. Rinciannya dapat ditegaskan:
Menghapuskan ketentuan bahwa penerima warisan adalah kerabat yang laki-laki dan dewasa saja.
Penghapusan ikatan persaudaraan antara golongan Muhajirin dan Ansar sebagai dasar mewarisi melalui QS. Al-Ahzab: 6.
Penghapusan pengangkatan anak yang diperlukan sebagai anak kandung swbagai dasar pewarisan.
b. Al-Sunnah
Riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim atau sering disebut dengan istilah muttafaq ‘alaih.
Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Riwayat dari Sa’ad ibn Abi oleh al-Bukhari dan Muslim tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat.
c. Al-ijma’
Yaitu kesepakatan kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat didalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat.
d. Al-ijtihad
Yaitu pemikiran sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid, untuk mrnjawb persoalan-persoalan yang muncul, termasuk didalamnya tentang persoalan pembagian warisan.
4.Syarat dan rukun pembagian warisan
Adapun rukun pembagian warisan ada tiga, yaitu:
a. Al-mawaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.
b. Al-waris atau ahli waris, yaitu orang yang ditanyakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena darah, hbungan sebab perkawinan, atau karena akibat memerdekakan hamba sahaya.
c. Al-maurus atau Al-miras, yaitu harta peninggalan simati telah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat di simpulkan bahwa Munakahat disebut juga dengan pernikahan, jadi pernikahan adalah  Seseorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui aqad yang dilakukan menurut hukum syariat islam. Di dalam mukahat terdapat beberapa bagian yaitu
1. Khitbah (meminang)
2. Nikah
3. Al-muharraman (wanita-wanita yang diharamkan)
4. Thalak (perceraian)
5. Rujuk
6. Mengasuh anak
7. Mawaris
B. Kritik dan Saran
Diharapkan kepada pembaca dapat memahami makalah ini dan dapat  mengembangkan lebih sempurna lagi, kritik dan saran sangat kami harapkan, agar dalam penyelesaian makalah ini bisa memperbaiki diri dari kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan trimaksih.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul aziz muhammad azzam dan abdul wahhab sayyed hawwas,fiqh munakahat,  Jakarta: imprin bumi aksara, 2009.
Ahmad Robiq, FIQH MAWARIS,Jakarta: raja grapindo persada, 2001.
Hamid sarong,hukum perkawinan islam di indonesia, Banda aceh: PeNA, 2010.
Totok Jumantoro, kamus ushul fiqh, Jakarta: sinar gravika, 2005

DALIL HUKUM ISLAM YANG DI SEPAKATI DAN TIDAK DI SEPAKATI


BAB I
PENDAHULUAN

Kata  Fiqh secara entimologi berarti “paham yang memdalam”.Bila kata paham dapat digunakan unuk hal-hal yang bersifat lahiriyah maka fiqh berari paham yang menyampaikan ilmu ahir kepada ilmu batin.
Iimu Fiqh adalah ilmu yang bertugas menentukkan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al-Quran dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat di dalam Sunnah Nabi yang di rekam dalam kitab-kitab hadis.Dengan kata lain ilmu fiqih adalah ilmu berusaha memahami hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk di terapkan pada perbuatan manusia yang telah sehat akalnya yabg berkewajuban melaksanakan hukum islam.
Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan suatu hukum.
Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak,akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah, Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam diri kita mengenai sesuatu hukum
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dalil itu?
2. Apa saja dalil hukum yang disepakati?
3. Apa saja dalil hukum yang tidak disepakati?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Dalil
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi.  Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi).
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan mengenai definisi dalil yaitu : sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
3. Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan As-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya. 
Dari sini dapat penulis simpulkan bahwa dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.

Baca Juga : Hukum Syara`
B. Dalil Hukum yang Disepakati
Berdasarkan penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber dalil (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai dalil yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas). A. Hassan, guru Persatuan Islam, menganggap musykil terjadinya Ijma, terutama setelah masa sahabat. Demikian juga Muhammad Hudhari Bek. Para ulama dari kalangan madzhab Zhahiri (di antara tokohnya adalah Imam Daud dan Ibnu Hazm al-Andalusi) dan para ulama Syiah dari kalangan Akhbari tidak mengakui al-Qiyas sebagai dalil yang disepakati.  
Untuk lebih jelasnya berikut kami sajikan dalil yang disepakati yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
1. Al-Qur’an
Dari segi bahasa Lafadz Al-Quran berasal dari lafadz qira’ah, yaitu mashdar (infinitif) dari lafadz qara’a, qira’atan, qur’anan. Dari aspek bahasa, lafadz ini memiliki arti “mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih”. Sedangkan secara istilah al-Qur’an ialah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw yang ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan sampai kepada kita dengan jalan yang mutawatir, tanpa ada keraguan.
Al-Qur’an ( القرآن ) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur’an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Jadi dapat disimpulkan Al-Qur’an Al-Qur’an ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya dihukumkan sebagai suatu ibadah.
 Kedudukan Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh Allah.
Al-Qur‘an juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.


Pada setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.
Hukum-hukum dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama, hukum-hukum i’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya. Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua, hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga, hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
A. Hukum ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
B. Hukum-hukum mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan,jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
C. Hasil penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan ibadat dan ahwalus-syakhshiyah sudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata, pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan (dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
2. As-Sunnah
Definisi As-Sunnah
As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju) Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1. Sunnah qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian. Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2. Sunnah fi’liyyah ialah segala tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan ibadah haji, dan sebagainya.
3. Sunnah taqririyah ialah perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh beliau sendiri.
 Kehujjahan As-Sunnah
Baca Juga : Hukum Syara`

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah (alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya mutaba’ah (diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan, makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32, An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
Hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah, dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain, As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl: 44, dan an- Nahl: 64.
 Fungsi As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi sebagai berikut.
1. As-Sunnah berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an. Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2. As-Sunnah sebagai bayan (penjelas); takhshish (pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal (global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
3. Ijma’
Definisi
Menurut ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut. Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.


 Kehujjahan Ijma’
Apabila keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakanperhitungan pada suatu masa diantara masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkankepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual, kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan tidak boleh ditentang.   
Jadi kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri sebagai Ulama’, jika ulama’ telah sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
 Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1. Ijma Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2. Ijma Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.
Sedangkan dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1. Ijma Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma sharih.
2. Ijma Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain, sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.  


4. Qiyas
Pengertian
Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya, masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1. Al-Ashl ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2. Al-Far’u ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur)
3. Hukmul Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
4. Al-Illat ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya
C. Dalil Hukum yang Tidak Disepakati
Selain dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada empat : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, 
1. Isthisan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan arah Ka”bah itu.”  
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. 
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum. 
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yangmembuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”. 
2. Isthisab
Secara terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut)”. 
Baca Juga : Hukum Syara`

Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh) menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”. 
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
b. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. 
Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”. 
3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum)
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan menghilangkanmafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “ menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” . 
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanyaqorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda dengan Imam Ghazali.
1. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat mursalah.
2. Sinergi dengan maqhasid syari’ah
3. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).[18]
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada buktipengakuan dari syara’”.  
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.  
4. ‘Urf
a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh manusia dan mereka maenjadikan tradisi. 
b. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash hukum syara’
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja. 

d. Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nas

Baca Juga : Hukum Syara`

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dalam penyajian makalah ini makadapat kami simpulkan bahwa hukum islam itu ada yang disepakati dan ada juga yang tidak disepakati. Hukum islam yang disepakati itu ada empat yaitu : Al-qur’an, Sunnah, Ijtima’ dan Qias. Sedangkan hukum islam yang tidak disepakati yaitu : Ihtishab, Ihtisan, masalul mursal, U’ruf. Inilah hukum-hukum Islam yag ada  baik yang disepakati maupun tidak menurut ilmu ushul fiqh
B. Saran

Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui apa yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari







SISTEMATIKA FIQH

SISTEMATIKA FIQH



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam setiap penulisan suatu karya tulis terdapat susunan atau sistematika yang membuat tulisan terlihat menarik dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membaca tulisan tersebut. Namun jika tulisan tersebut tidak tersusun secara sistematik maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu: orang akan susah dalam memahami suatu karya tulis.
Namun, apakah sistematika ini juga berlaku dalam penulisan kitab-kitab fiqh Ushul ushul Fiqh itu sendiri Dan apakah ada perbedaan pembahasan masalah pada masa dulu tepatnya masa tabi’in dengan masa setelahnya.
Ada pergulatan sejarah yang panjang dalam mengungkapkan atau menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, para ahli telah menjawab pertanyaan tersebut dengan berbagai penelitiannya. Disini pemakalah hanya ingin menyampaikan apa yang telah diteliti oleh para ahli.




BAB II
PEMBAHASAN


A. TAHARAH

Taharah adalah bersuci,taharah menurut  syara’ adalah bersuci dari hadast dan najis.bersuci dari hadst ialah bersuci dengan mengerjakan wudhu,mandi dan tayamu,sedangkan beruci dari najis ialah menghilangkan najis yg ada di badan,tempat,dan pakain.

1. Macam macam air

Air yg dapat diapaki bersuci ialah air yang besih seci dan menyucikan yaitu air yg turun dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
            
            Air yang suci menyucikn ialah sebagai berikut:

a. Air hujan
b. Air sumur
c. Air laut air sungai
d. Air salju air telaga
e. Air embun
Baca Juga : Bahan Full
a.Tayamum
          Ialah mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yg suci, pada suatu                                   ketika tayamum itu dapat menggantikan wudhu dan mandi dengan syarat syarat tertentu.
Sebab sebab tayamum:
Karena tidak adanya air yg memunuhi syarat kesucian dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak mendapatkan.
Berhalangan menggunakan air,misalnya karna sakit yg akan aabila menggunakan air akan bertamah sakitnya.
Adanya air yg diperkukan untuk yg lebih penting

Syarat tayamum:
Menggunakan debu yg suci, yg belum digunakan untuk bersuci,dan tidak tercampur dengan sesuatu.
Mengusap kedua wajah dan keuda tangan
Terlebih dulu menghilangkan najis
Telah masuk waktu shalat
Tayamum hanya skali untuk shalat fardhu. 



B. IBADAH

           Sebagai mausia yg beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, tentu kita tidak akan terlepas dari yg namanya ibadah. Selalu banyak kesempatan kita untuk melakukan ibadah kepada allah dalam keadaan apapun, dimanapun dan kapanpun kita melakukan pasti banyak kesempatan. Jadi yg dimaksud dengan ibadah ialah secara bahasa ibadah adalah tunduk atau merendhkan diri sedangkan menurt istilah ibadah adalah merupakan suatu ketaatan yg dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya.

           Adapun ibadah terbagi menjadi 3 yaitu ibadah hati,ibadah lisan dan ibadah anggotabadan atauperbuatan.

Ibadah hati (qalbiah) antara lain: memiliki rasa takut, rasa cinta atau bisa dibilang (mahabbah),mengharap (raja’) senang (raqhbah) iklas.tawakkal.
Ibadah lisan dan hati antara lain: berdzikir,tasbih,tahlil,tahmid,takbir,syukur,berdoa,membaca ayat al-qur’an
Ibadah anggota badanantara lain: sholat,zakt,haji,berjihad,berpuasa.

Syarat- syarat diterima ibadah

Ikhlas semata mata karena allah semata,bebas dari syirik besar dan kecil.
Ittiba;, sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu;alaihi wa sallam
Meninggalkan riya, artinya beribada kita kepada allah hanya semata mata ingn dilihat oleh sama orng lain supaya tidak malu.
Bermuraqabah, artinya yakin bahwa alah itu melihat dan selalu ada disamping ita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya. 


C.MUAMALAH

            Muamalah adalah hubungan kepentingan antara seseorang denan orang lain apakah itu  hubungan kepentingan. Dan muamalah sendiri bisa dikatan suatu kegiatan yg mengatur hal hal yg berhubungan dengan tat cara hidup sesame umat manusia untuk memenuhi keperluan manusiahidup sehari hari.sedngkan yg dimaksud dngn kegiatan muamalat adalah.jual beli,sewa menyewa dan untang piutang.

1.jual beli
           
           Jual beli menurut syaria islam adalah kesepakatan tukar-menukar barang dengan tujuan untuk dimilikinya selamanya,melakukan jual beli dibenarkan sesuai dengan firman allah yang arinya”dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Syarat syarat jual beli :
Penjual dan pembelinya haruslah
Baliqh
Berakal sehat
Atas kehendak sendiri

Uang dan barangnya haruslah
Halal dan suci
Bermanfaat
Keadaan barng harus diserah terimkan
Keadaan barang harus diketahui olh penjual dan pembeli.apakah itu milik sendiri
Milik sendiri

2.utang-piutang

              Utang-piutang adalh menyerahkan hartadan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian

Rukun untang piutang
Yang berutan dan yang berputang
Ada harta atau barang
Lafadz kesepakatan antara kedua belah pihak

3.sewa-menyewa
             
             Sewa menyewa dalam fiqih islam disebut ijarah,artinya imbalan yg harus diterima oleh seseorang atau jasa yang di berikannya .jasa disiniberupa penyediaan tenaga dan pikiran,tempat tinggal atau hewan. 


D.MUNAKAHAT ( PERNIKAHAN )
             Munakaht atau pernikahan ialah akad yg menghaalkan di antara lelaki denhan perempuan hidup bersama dan menetapkan tiap-tiap pihak dari pada mereka hak-hak dan tanggung wab,dalam arti kata lain suatu akad yg menghalalkan persetubuhan dengn sebab perkataan yg mengandungi lafadz nikah, perkawinan dan sebagainya.  
1.Dasar Hukum Nikah
              Hukum nikah (perkawinan) yaitu hokum yg mengatur hubungan antara manusia dngan sesamanya yg menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis,dan hak serta kewajiban yang behubungan dengan akibat perkawinan tersebut.
              Perkawinan adalah sunnatullah, pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, imam izzudin abdusalam membagis mashlahat menjadi tiga bagan yaitu:
a. Maslahat yg diwajibkan oleh Allah SWT.
b. Maslahat yg disunnahkn oleh syar’i
c. Maslahat mubah.
2.Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
              Rukun Yaitu, sesuatu yg mesti ada yg menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan Sesutu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk shalat.
              Syarat yaitu, sesuatu yg mesti ada yg meentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Tetapi sesuatu itu tidk termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.
 
               Sah yaitu, sesuatu pekerjaan (ibadah) yg memenuhi rukun dan syarat.pernikahan yg didalamnya terdapat akad, layaknya akd akad lain yg memerulukan adanya persetujuan kedua belah pihak yg mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:

1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Shigat ijab kabul 


Syarat Syarat Suami

1. Bukan mahram dari calon istri
2. Tidak terpaksa ats kemauan sendiri
3. Orangnya tertentu, jelas orangnya
4. Tidak sedang ihram

Syarat Syarat Istri

1. Tidak ada halangan syara’ yautu tidak ada suami
2. Merdeka atas kemauan sendiri
3. Jelas orangnya
4. Tidak sedang berihram

Syarat Syarat Wali

1. Laki-laki
2. Baliqh
3. Waras akalnya
4. Tidak dipaksa
5. Adil
6. Tidak seang ihram

Syarat Syarat Saksi

1. Laki-laki
2. Baliqh
3. Waras akalnya
4. Adil
5. Dapat mendengar dan melihat
6. Bebas tidak dipaksa
7. Tidk sedang mengerjaan ihram
8. Memahami bahasa yg dipergunakan untuk ijab Kabul.


E.JINAYAT

         Jinayat ialah penganiayaan terhad tubuh badan,harta,jiwa,sedangkan menurut istilah jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yg didalamnya diwajibkan qisas aau diyat.jinayat juga bermakna  sanksi sanksi yg dijatuhkan atas penganiayaan badan.

Macam macam jinayat

1. Jinayat terhadap jiwa, atau pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan nyawa merupakan hal sangat dilarang oleh allah taala,apalagi manakala pelanggaran tersebut dilakukan secara sadar dang sengaja,srta yang dibunuh adalah mukmin.
2. Jinayat terhadap tubuh,,adalah jinayat atas salah salah satu organ tubuh manusia atau atas dari tulang tulang ats tubuh manusia ,atau atas kepalanya atau bagian dari atas tubuh manusia dengan sebuah pelukaan.para ahli fiqh menetapkan berlakunya kisas selain pada jiwa yaitu pada organ tubuh manusia. 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan 
Hubungan ilmu fiqih dengan Ushul Fiqih, jelas sangat berhubungan sebab memang Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang kerena berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh.Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala ilmu Ushul Fiqh mengalami kemajuan karena ilmu Ushul Fiqh adalah semacam ilmu atau alat yang menjelaskan metode dan sistem penetapan hukum berdsarkan dalil- dalil naqli maupun naqli. Sedangkan Ilmu Ushul fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam- macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.

3.2 Saran 
Tentunya penyusun menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca dan penyimak makalah ini untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif untuk kemudian bisa lebih memperbaiki lagi dalam penysunan makalah serupa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA


Drs. Mohammad Rifa'I, Blogcoretansantri.blogspot.com, Abdul Hamid Hakim,Mabadi Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Muhammad Abu Zahra,fungsi ushul fiqh dan fiqh,(tt:dar al-fikri,2003),hal.12.