Pokok-pokok Muamalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak hal ini, yang bertujuan untuk mencukupkan kebutuhan sehari-hari. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, bercocok tanah atau usaha-usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan cara tertentu yang setiap hari pasti dilakukan yang kadang kita tidak tahu apakah sah atau tidak. Utang piutang juga suatu kegiatan yang sangat kental dengan kehidupan manusia, dan kedua kegiatan muamalah tersebut sangat erat dengan riba.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang jual-beli, utang piutang, agar para pembaca tidak masuk kedalam jurang riba’.


B.       Rumusan Masalah
  Dari latar belakang di atas, maka pada makalah ini dapat dirumuskan Rumusan Masalah sebagai berikut;
1.         Apa pengertian muamalah ?
2.         Apa saja jenis-jenis yang mencangkup pokok-pokok muamalah ?
3.         Bagaimana hubungan pokok-pokok muamalah dalam kegiatan sehari-hari ?
4.         Bagaimana hikmah dan bahaya adanya kegiatan muamalah apabila tak sesuai dengan yang sudah disyariatkan ?

C.      Tujuan Pembahasan
Makalah ini ditulis untuk mengetahui makna dari Pokok-pokok Muamalah dan jenis-jenis dalam sistem penerapan muamalah itu sendiri, dengan tujuan:
a.         Mengetahui pengertian muamalah dan pokok-pokok yang terdapat didalamnya.
b.         Mengetahui kepentingan dalam melakukan kegiatan muamalah
c.         Mengetahui bahaya melakukan muamalah yang tidak sesuai kaidah islam
BAB II
PEMBAHASAN
Pokok-pokok Muamalah ( jual-beli, hutang-piutang, dan riba’)
A.   Pengertian Syariah, Ushul Fiqh, dan Fiqh
1.      Pengertian Syariah
·      Syariah adalah hukum atau aturan yang ditetapkan oleh Allah melalui Rasul-Nya untuk Hamba-Nya agar mereka menaati hukum itu atas dasar iman dan taqwa baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah) dan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya.[1]
·      Pendapat saya Syariah adalah suatu kata masghul dimana didalamnya memuat hukum-hukum Allah yang dapat dilihat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang diturunkan  kepada para hamba-Nya (Allah) dan kepada umat (Nabi) yang mengajarkan tatanan dan cara berkehidupan sebagai umat Islam yang baik dalam rangka mencapai Ridha Allah SWT. (Siti Humairah)
2.      Pengertian Fiqh
·      Menurut bahasa Fiqh berarti paham atau mengetahui, sedangkan menurut istilah Fiqh yaitu ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum Syara’ yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil tafsir.[2]
·      Sedangkan menurut saya Fiqh merupakan ilmu yang memuat segala perbuatan dalam beribadah yang benar kepada Allah sesuai yang dianjurkan oleh Rasulullah dan Syariat sehingga ibadah tersebut diterima oleh Allah, akan tetapi tidak terlepas dari bagaimana kita menjaga ibadah tersebut agar tetap sempurna melalui iringan kata ikhlas dsb. (Siti Humairah)
3.      Pengertian Ushul Fiqh
·         Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang menghasilkan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.[3]
·         Pendapat saya mengenai Ushul Fiqh adalah suatu dasar ilmu atau pijakan ilmu, yang mana ilmu itu akan ditafsirkan atau diamati sehingga akan melahirakan ilmu yang menjelaskan secara lebih luas artinya atau maksud dari kaidah-kaidah tersebut dalam ilmu Fiqh. (Siti Humairah)

Setelah mengetahui pengertian dari Syariah, Ushul Fiqh, dan Fiqh. Dimana ketiga ilmu tersebut saling berkaitan yang menjelaskan tentang tatanan kehidupan manusia sehingga menghasilkan cabang ilmu lainnya. Oleh karena itu, dari sekian banyak cabang ilmu tersebut, kami akan mengkhususkan mengkaji masalah muamalah yang akan kami jelaskan semampu kami dengan materi di bawah ini.

B.       Pengertian Muamalah
Dari segi bahasa, “muamalah” berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku, yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga kedua pelaku tersebut saling bertindak atau saling mengamalkan dari satu terhadap yang lainnya.[4]
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang sangat luas dan dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian muamalah;
·           Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual-beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
·           Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-peraturan mengenai setiap apa-apa yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti perdaganagn dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi, peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara mereka.
·           Jadi, kami berpendapat bahwa pengertian dari muamalat adalah segala aturan yang memuat tentang bagaimana prosedur dalam melakukan persoalan dunia, misalkan transaksi jual beli, hutang piutang, kerjasama dagang dengan sesama manusia baik islam maupun non islam dikarenakan ajaran dalam islam bersifat global dan dapat di aplikasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. (Humairah dan Darwis)

Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

C.      Pokok-Pokok Muamalah
Sehingga dalam kajian pokok-pokok muamalah akan kita jelaskan pengertian dari; Jual-beli, Hutang-piutang(Qardh), dan Riba’.

1.    Jual-beli
a.              Pengertian Jual-beli
Jual beli ( al-bay’) secara bahasa diambil dari kata bai’ diambil dari kata baa’a yabi’u yang artinya memiliki. Artinya sama dengan kata isytara. Kata syara juga sering digunakan untuk dua pengertian (jual dan beli). Mungkin juga berakar dari kata baa’ (tangan), karena masing-masing dari penjual dan pembeli mengulurkan tangan tangannya ketika hendak mengambil atau menyerahkan barang dagangan. Penjual dan pembeli diistilahkan dalam bahasa arab bayyi’an (dua orang bayyi’). Dikatakan dalam bahasa umum si Fulan aba’a (melakukan bai’), yakni melakukan jual-beli[5]
Adapun makna bay’i (jual-beli) menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan, dan yang paling bagus adalah definisi yang disebutkan oleh Syaikh Al-Qalyubi dalam Hasyiyah-nya bahwa; “Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu benda atau manfaat untuk waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata “saling mengganti”, maka tidak termasuk didalamnya hibah,dan yang lain yang tidak ada saling ganti, dan dengan kata “harta” tidak termasuk akad nikah sebab walaupun ada saling ganti namun bukan mengganti harta dengan harta akan tetapi halal bersenang-senang antara suami-istri, dan dengan dia “kepemilikan harta dan manfaatnya untuk selama-lamanya”, namun tidak termasuk didalamnya akad sewa karena hak milik dalam sewa bukan kepada bendanya akan tetapi manfaatnya, contohnya mobil dan rumah tidak dimiliki bendanya tapi manfaatnya setimpal dengan jumlah bayaran yang dikeluarkan dan manfaat dalam akad ini dibatasi dengan waktu tertentu.

Kedua definisi ini mirip dan saling memberikan pengertian sebagai berikut:
1.         Jual-beli dilakukan oleh dua pihak adanya pertukaran kepemilikan antara keduanya.
2.         Pertukaran itu hendaknya berlaku pada harta atau yang senilai dengan harta yakni yang bisa memberi manfaat kepada kedua belah pihak.
3.         Yang bukan harta atau yang tak senilai dengan harta tidak sah dijualbelikan.
4.         Pertukaran itu hukumnya bersifat permanen yakni dengan masing-masing pihak memiliki yang ditetapkan baginya berdasarkan akad/transaksi jual-beli dengan kepemilikan penuh selamanya.

Ibnu Qutaibah dan yang lainnya berkata : “Dikatakan, bi’tu asy-syai’a artinya saya menjualnya atau membelinya, dan barang yang dijualnya dinamakan mabi’ dan mabyu’ sama dengan makhith dan makhyuth (pakaian yang dijahit). Dikatakan kepada yang menjual dan membeli bayyi’an dengan Ya’tasyidid dan aba’a asy-syai’a jika dia menunjukkannya untuk dijual, dan al-ibtiya’ sama dengan isytira’.

Sehingga kami dapat menyimpulkan bahwa pengertian jual-beli adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar menukar barang sehingga dapat dimanfaatkan, yang sebelumnya kedua belah pihak tersebut sudah terikat dengan ikatan akad serah terima, termasuk dalam hal ini adalah jasa yang diterima. (Humairah, Darwis).

b.         Rukun (Unsur) Jual-beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu:
1.        Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli.
2.        Objek transaksi, yaitu harga dan barang.
3.        Akad (Transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.[6]

Menurut Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, unsur jual beli ada tiga, yaitu:
1.        Pihak-pihak. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian jual-beli terdiri dari penjual, pembeli, dan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian tersebut.
2.        Objek. Objek jual-beli terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak, dan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar.
3.        Kesepakatan. Kesepakatan dapat dilakukan dengan tertulis, lisan dan isyarat, ketiganya mempunyai makna hukum yang sama.[7]

c.         Hukum Jual-Beli
Jual-beli diperbolehkan menurut kitabullah dan sunnah serta ijma’ (konsesus) para ulama. Adapun menurut Al-Qur’an, Allah berfirman:
šz3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ÇËÐÎÈ
“Dan Allah Telah menghalalkan jual beli.” (Q.S Al-Baqarah: 275)

Sementara dalam sunnah, diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa ia menceritakan: “Ukazh, Mujinnah dan Dzul-Majaz adalah pasar-pasar yang dikenal di masa jahiliyyah. Setelah datang Islam, mareka tidak lagi mengadakan pasar-pasar itu. Maka turunlah firman Allah:
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4 !t ÇÊÒÑÈ
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”.  ( Q.S Al-Baqarah: 198)
Alim ulama telah bersepakat tentang diperbolehkannya jual-beli secara umum, selama tidak melalaikan kewajiban. Bila sampai meninggalkan yang wajib maka jual-beli menjadi haram, sebelum ditunaikannya kewajiban tersebut.
Allah SWT berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui. Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (Q.S Al-Jumuah: 9-10).
Demikian juga, apabila jual-beli tersebut mendorong seseorang untuk berbuat maksiat atau melakukan perbuatan haram, hukumnya menjadi tidak boleh dan tidak sah. Maka dalam jual beli juga mendapat kesempatan meneruskan/membatalkan Jual beli (khiyar). Jenis atau macam-macam khiyar yaitu:
1.      Khiyar majlis adalah pilihan menghentikan atau melanjutkan jual beli ketika penjual maupun pembeli masih ditempat yang sama.
2.      Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan jual-beli seperti pembeli mensyaratkan garansi.
3.      Khiyar aibi adalah pembeli boleh membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang yang dibeli.[8]

d.        Hikmah Dibalik Disyariatkannya Jual-beli
Hikmah diperbolehkannya jual-beli adalah karena kebutuhan umat manusia terkait dengan sesuatu yang ada ditangan orang lain. Sementara orang lain juga tidak akan melepaskan apa yang dimilikinya tanpa kompensasi. Dengan diperbolehkannya dan disyariatkannya jual-beli, terbukalah jalan bagi masing-masing pihak untuk mencapai maksudnya dan memenuhi kebutuhannya.
Hikmah yang lain dari jual-beli adalah karena semakin luasnya segala urusan kehidupan dan kebutuhan umat manusia. Denganjual-beli itu bisa dipadamkan api pertikaian, perampasan, pencurian, korupsi, dan manipulasi. Karena orang yang membutuhkan sesuatu akan melirik yang dimiliki orang lain, maka apabila tidak ada sistem perniagaan, pasti terjadi bentrokan dan pertikaian, yang pada akhirnya mengakibatkan hancurnya alam semesta, hancurnya sistem kehidupan dan sejenisnya.[9]

2.    Qardh (Utang Piutang)
a.         Pengertian Utang-Piutang
Secara etimologis qardh merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-yaqridhu, yang berarti dia memutuskannya. Dikatakan Qaradhu Asy-syai’a Bil-Miqradh, atau memutus sesuatu dengan gunting. Al-qardh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari. Menurut Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antarlembaga keuangan syariah dengan pihak meminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Definisi yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan Lembaga Keuangan Syariah.[10]



[1] Abdullah Hamid, Hukum-hukum Syariah Islam, (Yogyakarta: Prenada Media Group, 2007), hal. 4.
[2] Nazar Bakhri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003),  hal. 17.
[3] Ibrahim Muslim, Pengantar Fiqh Muqaraan, (Jakarta: Erlangga, 1991), hal. 5.
[4] Dr. Helmi Karim, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal.14
[5] Shalih Al-Fauzan, Perbedaan Antara Jual-beli dan Riba’,  (Solo: Pustaka  At-Libyan, 2004), hal.15.
[6] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, ( Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2013) hal. 102.
[7] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah ..., hal. 102-103.
[8] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah ...,  hal.105.
[9] Shalih Al-Fauzan, Perbedaan Antara Jual-beli dan Riba’...,  hal.15.
[10] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah ..., hal. 333.


0 comments:

Post a Comment