Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

DASAR HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN LENGKAP DENGAN AYAT

 

BAB II

PEMINANGAN 

A.     Pengertian peminangan

Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang yang banyak diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an yang artinya : “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.(QS. An-nisa’4:3).

Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam.


Muamalah Bab 2

Dasar Hukum Qardh

Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadist, dan ijma’.
1.      Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah QS. Al-Hadid/57:11 ;
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah),maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.

MAQASHID ASY-SYARIAH


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 

Hukum islam adalah hasil dari proses metode ijtihad ( fikih)
dalam penetapan hukum yang bersumber dari  Al-Quran dan hadis. 
oleh karena itu Allah menurunkan hukum kepada manusia untuk mengatur tatanan kehidupan sosial sekaligus menrgakkan keadilan . di samping itu juga , hukum diturunkan untuk kepentingan umat manusia , tanpa adanya hukum maka manusia akan bertindak sebebas-bebasnya tanpa menghiraukan kebebasan orang lain.

Pengertian Ushul Fiqh menurut para ahli

Pengertian Ushul Fiqh Menurut Para Ahli

-Menurut Khudary Beik
Yaitu ilmu tentang kaedah/aturan-aturan dimana dengan kaedah tersebut seseorang mujtahid sampai menemukan hukum syar’i yang diambil dari dalilnya.
-Menurut Ali Hasaballah

FIQH JARIMAH


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Perlu di ketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukum dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat  memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang di maksud oleh syara’ dalam menciptakan nash-nash itu. Petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang di jelaskan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’. 


B.   Rumusan Masalah

1.        Pengertian ushul fiqh dan fiqh ?
2.        Pengertian fiqh jinayah dan jarimah ?
3.        Unsur-unsur jarimah dan macam-macam jarimah?
4.        Pengertian Ta’zir ?

C.   Tujuan

  1. Mengetahui pengertian ushul fiqh dan fiqh.
  2. Mengetahui pengertian fiqh jinayah dan jarimah.
  3. Mengetahui unsur-unsur jarimah dan macam-macam jarimah.
  4. Mengetahui pengertian Ta’zir.

BAB II

PEMBAHASAN


A. PENGERTIAN USHUL FIQH DAN FIQH

1.      Pengertian ushul fiqh
Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar,teori-teori,sumber-atau jalan yang harus di tempuh di dalam melakukan istimbah hukum dari dalil-dalil syara’.
Ushul fiqh adalah kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang di pergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil yang bersifat amaliah dan di ambilkan dari dalil-dalil yang tafsili  (Rauzah)
Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari hukum-hukum dalam islam yang menyangkut tentang kaidah-kaidah yang ada dalam islam  (Fajar)
2.      Pengertian fiqh
Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci
            Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan hukum syara’ tentang perbuatan manusia berdasarkan dalil-dalil yang terperinci lebih dalam (Fajar)
            Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’ yang bersifat fa’riyah (cabang),yang di hasilkan dari dalil-dalil yang tafsil(khusus,terinci,dan jelas). (rauzah)

B. PENGERTIAN FIQH JINAYAH DAN JARIMAH

            Fiqh jinayah adalah fiqh yang mengatur cara-cara menjaga dan melindungi hak Allah,hak masyarakat dan hak individu dari tindakan-tindakan yang tidak di benarkan menurut hukum.[1]
            Fiqh jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan  kriminal yang di lakukan orang-orang mukallaf,sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil yang terinci.(rauzah)
            Fiqh Jinayah adalah fiqh yang mengatur tentang hukum-hukum ALLAH melalui dalil-dalil secara terperinci tentang hak allah maupun hak seorang hambanya (FAJAR)
            Yang di maksud dengan tindakan kriminal menurut zarqa adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.[2]
Ruang lingkup fiqh jinayah ini mencakup ketentuan-ketentuan hukum tentang berbagai tindakan kejahatan kriminal,yaitu pencurian,perzinaan,homoseksual,menuduh seorang melakukan perzinaan,minum khamar,membunuh atau melukai orang lain,merusak harta orang,dan melakukan gerakan-gerakan kekacauan.
Jenis-jenis hukuman untuk kejahatan-kejahatan tersebut ada yang berbentuk hudud,qisash,dan diyat.[3]
 Hukum pidana islam dalam fiqih islam disebut dengan istilah al-jinaayat,yang artinya adalah perbuatan dosa,kejahatan atau pelanggaran. Semua perbuatan dosa,kejahatan atau pelanggaran adalah perbuatan yang termasuk dalam perbuatan pidana(jarimah). 
            Al-Mawardi dalam kitab nya Al-Ahkam As-Sulthaaniyah memberikan beberapa definisi istilah yang terkait dengan jarimah,yaitu sebagai berikut:
a.       Jarimah adalah larangan-larangan syara’ yang di ancam dengan hukuman Hadd atau Ta’zir.
b.      Hukuman hadd adalah hukuman yang telah di pastikan ketentuanya dalam nash al-qur’an dan sunnah rasul.
c.       Hukuman ta’zir adalah hukuman yang ketentuanya tidak di pastikan dalam nash al-quran dan sunnah rasul tetapi ketentuanya menjadi wewenang penguasa.
Larangan-laranga syarak yang di sebut jarimah itu dapat berupa pelanggaran terhasap hal-hal yang di larang,misalnya melanggar larangan zina,minum-minuman keras dan juga dapat berupa hal-hal yang di perintahkan,misalnya mengabaikan kewajiban zakat.

C. UNSUR-UNSUR JARIMAH DAN MACAM-MACAM JARIMAH

 1. unsur-unsur jarimah
            Sesuatu perbuatan dapat di pandang sebagai jarimah jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
1)      Unsur formal,yaitu adanya nash atau dasar hukum yang menunjuk kan sebagai jarimah.
2)      Unsur material,yaitu adanya perbuatan melawan hukum yang benar-benar telah di lakukan.
3)      Unsur moral,yaitu adanya niat atau kesengajaan pelaku untuk berbuat jarimah.
 2. Macam-macam jarimah
            Dilihat dari berat ringanya macam hukum yang di ancam kan,hukum pidana islam mengenal empat macam jarimah,yaitu :
1)      Jarimah qishash,yaitu jarimah yang di ancam dengan hukuman qisash yaitu hukuman yang sama dengan jarimah yang dilakukan.yang termaksud jarimah ialah :
a.       Pembunuhan dengan sengaja,ancaman hukumannya adalah pidana mati.
b.      Penganiayaan dengan  sengaja yang mengakibat kan terpotong atau terlukannya anggota badan,ancaman hukumanya adalah sama yaitu di potong atau di lukai anggota badannya.
2)      Jarimah diyat,yaitu jarimah yang di ancam dengan hukuman diyat,yaitu hukuman ganti rudi atas penderitaan yang di alami korban atau keluarganya,yang termaksud jarimah ini adalah:
a.       Pembunuhan tidak sengaja hukuman dari jarimah ini adalah membayar diyat/ganti rugi.
b.      Penganiayaan tidak sengaja,ancaman hukuman nya adalah membalas melukai anggota badan orang yang menganiaya atau membayar diyat/ganti rugi sesuai dengan permintaan penderita atau keluarganya.
3)      Jarimah hudud,ialah jarimah yang di ancam dengan hukuman hadd yaitu hukuman yang telah di tentukan oleh allah dalam nash Al-quran atau sunnah rasul.hukuman ini tidak dapat di ganti dengan macam hukuman lain atau di batalkan oleh manusia,yang termaksud jarimah ini adalah:[4]
a.       Pencurian,yaitu mengambil harta milik orang lain dengan cara sembunyi dari tempat simpananya dengan maksud untuk dimiliki,ancaman hukuman pencurian adalah potong tangan,hukuman ini telah di jelaskan dala al-quraan surah al-maidah ayat 38 yang berbunyi ;
“lelaki-lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan kuduanya (sebagai) balasan bagi yang mereka kerjakan,dan sebagai siksaan dari Allah”
b.      Perampokan yaitu kejahatan merampas harta di jalan umum dengan cara kekerasan,jarimah perampokan di sebut hirabah,ancaman hukumanya adalah di hukum mati dan di salib,di potong tangan atau kakinya atau di asingkan
c.       Pemberontakan jarimah ini ancaman hukumanya adalah di perangi kemabali.[5]

4)      Zina yakni  melakukan hubungan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah,baik di lakukan dengan suka atau pun paksaan,perbuatan ini di golongkan sebagai tindakan kejahatan karena akan merusak tatanan sosial,serta akan melahirkan anak-anak yang tidak jelas bapaknya,hukuman dari jarimah ini adalah di rajam(di lempari batu sampai meninggal).

5)      Menuduh zina (qadzaf) perbuatan ini di haram kan dalam rangka memelihara kehormatan dan martabat manusiayang biasa terganngu dengan lontaran tuduhan perbuatan nista trsebut,terutama jika di tunjukkan kepada orang baik dan punya kedudukan mulia di tengah-tengah masyarakatnya,hukuman orang yang melakukna perbuatan ini adalah di cambuk sebanyak 80 kali,sebagai mana di tegaskan dalam surah al-nur ayat 4 yang berbunyi; “orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik berbuat zina,dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,maka deralah mereka delapan puluh kali.dan janganlah kamu terima kesaksian merek selama-lamanya”[6]

D. Pengertian Ta’zir

Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ﻋَﺰَﺮَ۔ﻴَﻌْﺰِﺮُ yang secara etimologis berarti ﺍﻠّﺮَﺪُّﻮَﺍﻠْﻤَﻨْﻊُ, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ menolong atau menguatkan.Hal ini seperti dalam firman Allah berikut :
ﻠِّﺘُﺆْﻤِﻨُﻮْﺍﺑِﺎﷲِﻮَﺮَﺴُﻮْﻠِﻪِےﻮَﺘُﻌَﺯِّﺮُﻮﻩُﻮَﺘُﻮَﻘِّﺮُﻮﻩُﻮَﺘُﺴَﺑِّﺤُﻮﻩُﺑُﻜﺮَﺓًﻮَٲَﺻِﻴﻼً۞ 
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS. Al-Fath:9)

Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak di tentukan Al-Qur’an dan Hadis. Ta’zir berfungsi memberikan pengajaran kepada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak mengulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengatakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kafarat.

A. Pembagian jenis ta’zir

Berdasarkan hak yang dilanggar oleh pelaku, Imam Muhammad Abu Zahrah membagi hukuman ta’zir menjadi dua, yaitu sanksi ta’zir yang berkaitan dengan hak Allah dan sanksi ta’zir yang berkaitan dengan pelanggaran hak manusia. Ia pun berpendapat:

Sanksi-sanksi ta’zir sama dengan sanksi-sanksi yang telah ditentukan (qishash dan hudud). Sebagian ada yang merupakan hak Allah dan sebagian merupakan hak manusia. inilah pembagiannya secara umum.
Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak Allah dan pelakunya harus dihukum ta’zir, di antaranya perbuatan bid’ah, pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, perdagangan manusia, berbisnis narkoba, manipulasi, riba, dan kesaksian palsu.

Contoh beberapa pelanggaran yang berkaitan dengan hak manusia, seperti dalam kasus pembunuhan semi-sengaja. Di samping adanya kewajiban pemberian diyat oleh pelaku kepada keluarga korban, masih terdapat satu sanksi lagi berupa ta’zir untuk memelihara hak manusia. demikian pula
pemberlakuan hukuman ta’zir dalam masalah penganiayaan yang tidak mungkin dihukum qishash. Contoh lainnya yaitu percobaan pembunuhan atau kasus penyekapan.

Wahbah Al-Zuhaili juga mengemukakan pernyataan sebagai berikut, ta’zir dapat terjadi pada setiap jarimah yang tidak masuk dalam cakupan had dan kafarah, baik menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah seperti makan pada siang hari di bulan Ramadhan tanpa uzur, meninggalkan shalat (menurut jumhur ulama), menjalankan praktik riba, melemparkan barang najis atau berbahaya lain ke jalan-jalan umum. Ta’zir juga dapat berlaku pada pelanggaran terhadap hak manusia, seperti mencium atau melakukan perbuatan tidak senonoh, mencuri tetapi tidak mencapai nishab syar’I (satu dinar atau sepuluh dirham) menurut Abu Hanifah, mencuri bukan dari tempat penyimpanannya, berkhianat terhadap amanah, suap, qadzf dan mencaci atau menyakiti.

Pendapat ulama’ terkait hukuman mati sebagai ta’zir

Hukuman ta’zir juga terdapat dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu
  1. Hukuman mati
  2. Hukuman penjara
  3. Hukuman ganti rugi 

Menurut Wahbah Al-Zuhaili mengatakan :

Pada umumnya sanksi-sanksi yang terdapat di dalam undang-undang berasal dari sisi ta’zir. Undang-undang itu sebagai satu-satunya aturan yang dirumuskan untuk menanggulangi berbagai kejahatan dan menghalangi pelaku kejahatan. Undang-undang juga berfungsi menjaga kemaslahatan, menegakkan keadilan dan ketentraman, serta menjaga keamanan dan kenyamanan.

Mengenai eksistensi hukuman mati sebagai qishash dan hudud memang disepakati oleh ulama. Hukuman mati sebagai qishash secara tegas disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 178. Demikian juga hukuman mati sebagai hudud bagi pelaku perampokan, zina mukhson, murtad, dan pemberontakan.

Hukuman mati sebagai ta’zir memang diperbolehkan. Akan tetapi, hal itu tergantung dari jarimah apa yang dilakukan. Berikut pendapat ulama

1. Menurut Ulama Kalangan Hanafiyah

Menurut mereka hukuaman mati sebagai ta’zir dapat diterapkan sebagai pertimbangan politik Negara dan berlaku jarimah tertentu seperti sodomi, atau pelecehan terhadap Nabu Muhammad SAW,merampok, berulang kali mencuri, berselingkuh.

2. Menurut Sebagian Ulama kalangan Syafi’iyah

Hukuman mati sebagai ta’zir dapat diberlakukan terhadap orang yang mengajak orang lain untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan agama yang bertentangan dengan Alquran dan hadis.

3. Menurut Ulama Kalangan Malikiyah

Menurut mereka hukuman mati sebagai ta’zir diperbolehkan, sebagaimana hukuman mati bagi mata-mata muslim tetapi memihak musuh.

4. Menurut Ulama Kalangan Hanabilah

Ibnu Aqil berpendapat bahwa mata-mata muslim yang membocorkan rahasia kepada musuh boleh dihukum mati sebagai ta’zir. Pendapat ini sama dengan pendapat yang mengatakan bahwa para pelaku bid’ah atau orang-orang yang selalu berbuat kerusakan juga boleh dihukum mati.
Pada dasarnya hampir semua ulama membolehkan sanksi mati sebagai hukuman ta’zir apabila ada kemanfaatan dan keadaan pun menuntut untuk itu. Umpamanya, ulul amri berpendapat, tiadanya harapan si mujrim dapat menghentikan perbuatannya, tipisnya si pelaku dapat menjadi baik kembali (dengan parameter pengulangan yang sering dilakukan), atau situasi menghendaki dia harus dimusnahkan dari muka bumi. Maka para ulama membolehkan hukuman mati bagi residivis, penyebar bid’ah, dan jenis lain yang dianggap sangat berbahaya.[7]


BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
      Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar,teori-teori,sumber-atau jalan yang harus di tempuh di dalam melakukan istimbah hukum dari dalil-dalil syara’.
            Fiqh jinayah adalah fiqh yang mengatur cara-cara menjaga dan melindungi hak Allah,hak masyarakat dan hak individu dari tindakan-tindakan yang tidak di benarkan menurut hukum. Jenis-jenis hukuman untuk kejahatan-kejahatan tersebut ada yang berbentuk
1.      Hudud
2.      qisash,dan
3.      diyat
            Yang di maksud dengan tindakan kriminal menurut zarqa adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.
            Ta’zir adalah bentuk mashdar dari kata ﻋَﺰَﺮَ۔ﻴَﻌْﺰِﺮُ yang secara etimologis berarti ﺍﻠّﺮَﺪُّﻮَﺍﻠْﻤَﻨْﻊُ, yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ﻨَﺼَﺮَﻩُ menolong atau menguatkan.

Pendapat ulama’ terkait hukuman mati sebagai ta’zir

Hukuman ta’zir juga terdapat dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu
a.       Hukuman mati
b.      Hukuman penjara
c.       Hukum ganti rugi

B.Saran
Karena keterbatasan pengetahuan kami, hingga hanya inilah yang dapat kami sajikan, dan tentu saja masih sangat kurang dari sisi materinya, maka itu kami mengharapkan masukan baik itu kritik maupun saran dari pembaca demi melengkapi kekurangan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli,Fiqh Jinayah (jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 13
Abdul Ghofur Anshari,Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia (Jogjakarta: Kreasi Total Media,2008), hlm. 238
Al-Shan’ani,hukum pidana islam (jakarta: sinar grafika,2006),hlm.13.
Ibnu Rusyd,Hukum Islam Dan Pranata Sosial (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm. 87.
Mushthaf Zarqa,Hukum Pidana Islam (pustaka setia bandung: bandung 2010), hlm.56

Sayid Sabiq, Fikis Sunnah jilid 10 (Bandung:PT.Al-ma’rif),hlm. 412


[1] A.Djazuli,Fiqh Jinayah (jakarta:Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 13.
[2] Mushthaf Zarqa,Hukum Pidana Islam (pustaka setia bandung: bandung 2010), hlm. 56
[3] Sayid Sabiq, Fikis Sunnah jilid 10 (Bandung:PT.Al-ma’rif),hlm. 412
[4] Abdul Ghofur Anshari,Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia (Jogjakarta: Kreasi Total Media,2008), hlm. 238.
[5] Ibnu Rusyd,Hukum Islam Dan Pranata Sosial (jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm. 87.
[6] Al-Shan’ani,hukum pidana islam (jakarta: sinar grafika,2006),hlm.13.
[7] http://kingilmu.blogspot.co.id/2015/10/fiqh-jinayah-pengertian-tazir-jenis.html

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB I

BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Ilmu ushul fiqh merupakan metode dalam mengenali dan menetapkan hukum islam. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum syara’ secara benar dan dipertanggung jawabkan. Melalui ushul fiqh kita dapat menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Sedangkan bagi orang awam yang tidak mampu menggali hukum islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup menginstinbatkan sendiri hukum-hukum islam, maka diperbolehkan bagi mereka megikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang diprcayainya.

Dalam ushul fiqh juga membahas masalah ijtihad, taqlid, ittba’, dan fatwa. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dengan maksud yang berbeda pula. Akan tetapi, keempatnya sangat jelas diatur dalam agama Islam. Salah satunya ialah ittiba’ yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 43 yang artinya “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri Wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

B. Rumusan Masalah 
1. Apa yang dimaksud dengan fiqh dan ushul fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
3. Apa yang dimaksud dengan ittiba ?
4. Apa yang dimaksud dengan taqlid ? 
5. Apa yang dimaksud dengan fatwa ?



C. Tujuan dan Manfaat 

  1. Memberi pemahaman tentang pengertian fiqh, ushul fiqh, ijtihad, ittiba’, taqlid, dan fatwa. Agar para pembaca bisa membedakan antara ittiba’ dengan taqlid dan juga pemahaman yang lainnya yang bisa menjadi pengetahuan masing-masing. Seperti melakukan segala perlakuan atas tujuan berijtihad dijalan Allah, mencari dari mana dasar hukum yang selama ini menjadi taqlidnya sebelum mengetahuinya dan lain sebagainya. 
  2. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah ushul fiqh yang kemudian akan didiskusikan bersama-sama agar lebih dimengerti nantinya.


SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM (AL QUR’AN, HADIST, IJMA’, QIYAS)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
                  Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan  pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
                  Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.  
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang dapat disimpulkan rumusan masalah seperti berikut :
  1. Bagaimana pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh?
  2. Macam-m,acam dalil hukum yang disepakati ?
  3. Macam-macam dalil yang tidak disepakati ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
            Menurut bahasa “Fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqh yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshilli).
            Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (    اصل   )  yang artinya kuat (rajin), pokok sumber, atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.

B. Pengertian Sumber Hukum Islam
            Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[1]
C. Macam-macam dalil yang disepakati
1. Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu  105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
            Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1.      Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.      Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.      Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.      Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.      Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3.      Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4.      Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1.      Ayat-ayat Makkiyah
2.      Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[2]

2. Hadist
             Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
  1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
  2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
  3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
   Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

  1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
  2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawattir
  3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1.      Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
2.      Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:
·               Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
·               Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
·               Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi muhammad.
·               Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.        
3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.[3]
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
  1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
  2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :
  1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
  2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti.[4]

4. Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin  persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan  demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.[5]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).
 Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal.
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.
B.     SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Zainuddin,  Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005
Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, Yogyakata, 2004.





[1] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 13.

[2] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 16.

[3] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 18.

[4] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 13.

[5] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 17.