Pengertian Ushul Fiqh menurut para ahli

Pengertian Ushul Fiqh Menurut Para Ahli

-Menurut Khudary Beik
Yaitu ilmu tentang kaedah/aturan-aturan dimana dengan kaedah tersebut seseorang mujtahid sampai menemukan hukum syar’i yang diambil dari dalilnya.
-Menurut Ali Hasaballah

Yaitu kaedah-kaedah yang dengan kaedah tersebut menyampaikan untuk mengisbatkan ( mengeluarkan ) hukum-hukum dari dalil yang terperinci.
-Menurut Abdul Wahab Khallaf

Yaitu tentang kaedah-kaedah/ketentuan dan pembahasan yang dijadikan sebagai sasaran untuk memperoleh hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan amaliyah dari dali-dalil Nya yang terperinci.
-Menurut Prof.Dr.TM. Hasbi
Yaitu kaedah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-Nya  dan kaedah-kaedah yang menetapkan dalil-dali hukum.[1]
-Menurut Kamaludin Ibnu Humam
Ushul Fiqh adalah pengetahuan tentang kaedah-kaedah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqh.
-Menurut Muhammad Abu Zahra
Yaitu ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan untuk memperoleh jalan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.
-Menurut pengertian Syara’
Yaitu kumpulan kaedah-kaedah yang menjelaskan kepada faqih ( ahli hukum Islam ) cara mengerluarkan hukum-hukum dari dalil syara’
c. Pengertian syariah menurut para ahli
-Menurut Imam Al-Quthurbi
Syariah adalah agama yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-hambaNyayang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan.
-Menurut Ar-Razi
Syariah berasal syaraa, bisa bermakna menempuh, menunjukkan jalan dan menjelaskan.
-Menurut Ali Al-Sayis
Syariah adalah jalan yang lurus.
-Menurut Al Jurjani
Syariah adalah mashab dan jalan yang lurus.[2]
-Menurut Syekh Mahmud Syalul
Syariah yaitu hukum dan tata aturan yang disyariatkan Allah bagi hamba-Nya untuk diikuti.
-Menurut Faruq Nabhan
Yaitu segala sesuatu yang disyariahkan Allah kepada hamba-Nya.
-Menurut Manna Al-Qatthan
Adalah segala ketentuan yang disyariahkan Allah SWT kepada hamba-Nya baik yang menyangkut aqidah, akhlak dan mu’amalah.
1. Menurut Berlia pengertian Fiqh, Ushul fiqh dan Syariah adalah :
2. Menurt Naili pengertian Fiqh, Ushul Fiqh dan Syariah adalah ;
-Fiqh yang berasal dari kata faqhla yang berarti mengerti/paham. Yaitu memahami ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Atau pemaham yang mendalam tentang hukum-hukum Islam. Yang menerngkan tentang perbuatan manusia/mukhallaf ( orang yang suda cukup umur ) berkewajiban melaksanakan perintah Allah. Dan didalam Fiqh terdapat tindakan yang sah/tidak sah. Dan yang boleh/tidak.
Jadi Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum/ajaran Islam yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
-Ushul Fiqh adalah sumber hukumnya/asal hukum tersebut. Seperti Al-Qur’an, hadist, Ijma’, dan Qiyas.
Yang didalamnya mempelajari tentang teori-teori/kaedah dan pendapat para ulama dan sumbernya. Yang tidak melenceng dari Al-Qur’an. Yang mana dengan ilmu-ilmu itulah orang-orang sampai mempergunakan hukum syar’i, amaliyah, ( perbuatan/praktek ). Yang secara terperinci.
Jadi dengan adanya Ushul Fiqh itu kita dapat mengetahui aturan-aturan Islam dan menemukan hukum syar’I yang diambil dari dalil-dalil sumber itu.
-Syariah ialah segala aturan/undang-undang/ketetapan/ketentuan hukum Allah SWT yang berhubungan dengan tingkah laku manusia. Yang diwahyukan kepada para rasul Allah, baik yag berupa kitab seperti : Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an, maupun yang disampaikan kepada para Nabi yang tidak dibukukan sebagai kitab. Dan syariah itu ditetapkan kepada manusia untuk diamalkan dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Didalam syariah terdapat suatu tindakan baik yang boleh maupun yang terlarang.
B. IJTIHAD
a. pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. Kata Ijtihad seperti dikemukakan Al-Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.
Dikalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai reaksi dalam mendefinisikan Ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh Ibnu Abd Al-Syakur dari kalanga hanafiyah mendefinikan sebagai pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum syara’ sampai ketingkat Zhanni ( dugaan keras ) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih itu.
Sedangkan ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan sebagai pengertian seluruh kemampuan dan uapaya menemukan hukum-hukum Syara’ kemudian Abu Zarra mengemukakan bahwa Ijtihad sebagai pengerahan seorang ahli Fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.
Abu Zarrah membagi ijtihad kedalam 2 macam, Yaitu untuk membentuk/mengistinbatkan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. Jadi, dalam mengisbatkan hukum ini khusus dilakukan oleh para ulama yang mengkhususkan diri untk mengistinbatkan hukum dari dalilnya. Sedangkan ijtihad dalam penerapan hukum, maka akan selalu ada disetiap masa, selama umat Islam mengamalkan ajaran agama mereka karena tugas mujtahid semacam ini adalah untuk menerapkan hukum Islam, termaksuk hasil-hasil ijtihad para ulama terdahulu. Jadi dengan penjelasan ini, yang kita maksud dengan ijtihad adalah ijtihad dalam mengistinbatkan hukum.
1. Pengertian ijtihad menurut Berlia
2. Pengertian ijtihad menurut Naili
b. Dasar hukum berijtihad
banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :
1. Ayat 59. Surah An-nisa
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasulnya, Ulil Umri diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
( Al-Qur’an ) dan rasul ( sunnahnya ). Jika kamu benar benar beriman kepada Allah, dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.
Kesimpulannya menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang-orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya. Dengan ijtihad dalam membahas kandungan-kandungan ayat/hadis yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaedah-kaedah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebut dalam Al-Qur’an. Jadi inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut.
2. hadis yang diriwayatkan oleh Mu’az Bin Jabal. Ketika ia akan di utuskan ke Yaman menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum ia menjelaskan secara berurutan yaitu dengan Al-Qur’an, kemudia dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian melakukan ijtihad Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan :
“ segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasulnya. Hadis tersebut secara lengkap sbb :
Dari Al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang-orang Muaz, sesungguhnya Rasulullah saw, mengutus Muaz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Muaz atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah kitab Allah, Nabi bertanya : “ kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah ? “ Dia menjawab “ dengan dasar sunnah Rasulullah Saw. Beliau bertanya lagi “ kalau anda tidak temukan dalam sunnah Rasulullah ? “ Muaz menjawab : “ aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Rasulullah Saw berkata : segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufik atas diri utusan Rasulullah Saw ( HR Tirmizi ).
c. hukum berijtihad
yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, karena yang berwenang melakukan ijtihad adalah orang yang telah mencapai tingkat Faqih. Para ulama Ushul Fiqh antara lain Al-Tayyib Khudurri Al Sayyid, seorang ahli Ushul Fiqh kebangsaan Mesir berpendapat bahwa bila mana syarat-syarat seseorang mujtahid pada diri seseorang itu telah cukup, maka hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu’ain, fardhu kifayah bisa manddup dan bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu’ain ( wajib dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat mujtahid ), bila mana terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihad itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu’ain bila mana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi, yang menhendaki segera mendapatkan jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Melakukan ijtihad merupakan fardu kifayah bila disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Jika salah satu diantara mereka melakukan ijtihad berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid lainnya.
Ijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal :
1.Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tampa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanafiyah yang dikenal dengan Fiqh iftiradhi ( Fiqih pengandaian ).

Jadi dengan adanya Ushul Fiqh itu kita dapat mengetahui aturan-aturan Islam dan menemukan hukum syar’i yang diambil dari dalil-dalil sumber itu.
Syariah ialah segala aturan/undang-undang/ketetapan/ketentuan hukum Allah SWT. yang berhubungan dengan tingkah laku manusia, yang diwahyukan kepada para rasul Allah, baik yag berupa kitab seperti : Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an, maupun yang disampaikan kepada para Nabi yang tidak dibukukan sebagai kitab. Syariah itu ditetapkan kepada manusia untuk diamalkan dengan penuh keimanan dan keikhlasan. Di dalam syariah terdapat suatu tindakan baik yang boleh maupun yang terlarang.
B. Ijtihad
a. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad berarti bersungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ijtihad ialah bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga dalam memutuskan sesuatu hukum Islam.
Kata Ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun pikiran. Kata Ijtihad seperti dikemukakan Al-Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan. Oleh karena itu tidak disebut berijtihad jika hanya mengangkat hal-hal ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.[3]
Berikut pengertian ijtihad menurut para ahli Islam :
1.      Menurut Hanafi : Ijtihad ialah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk menemukan hukum agama berdasarkan sumber dan cara tertentu.
2.      Menurut Imam Al-Ghazali : Ijtihad adalah upaya maksimal seseorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum syara’.
3.      Menurut Yusuf Qardlawi : Ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Dikalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai reaksi dalam mendefinisikan Ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh, Ibnu Abd Al-Syakur dari kalangan hanafiyah mendefinisikan Ijtihad sebagai pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum syara’ sampai ketingkat Zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih itu.
Sedangkan ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikan Ijtihad sebagai pengertian seluruh kemampuan dan upaya menemukan hukum-hukum Syara’. Kemudian Abu Zarrah mengemukakan bahwa Ijtihad sebagai pengerahan seorang ahli Fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya. [4]
Abu Zarrah membagi ijtihad ke dalam 2 macam, yaitu untuk membentuk/mengistinbatkan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya. Jadi, dalam mengisbatkan hukum ini khusus dilakukan oleh para ulama yang mengkhususkan diri untuk mengistinbatkan hukum dari dalilnya. Sedangkan ijtihad dalam penerapan hukum, maka akan selalu ada disetiap masa, selama umat Islam mengamalkan ajaran agama mereka. Karena tugas mujtahid semacam ini adalah untuk menerapkan hukum Islam, termaksuk hasil-hasil ijtihad para ulama terdahulu. Jadi dengan penjelasan ini, yang kita maksud dengan ijtihad adalah ijtihad dalam mengistinbatkan hukum. [5]
1. Pengertian ijtihad menurut Berlia :
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sunguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
2. Pengertian ijtihad menurut Naili :
Ijtihad ialah bersungguh-sungguh dengan segenap tenaga dalam mencurahkan pikiran untuk menetapkan suatu hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan mempunyai kemampuan dalam berfikir disertai dengan cara meneliti. Jadi ijtihad yaitu bersungguh-sungguh dalam meneliti atau memahami tentang Al-Qur’an dan Hadist sehingga bisa mendapat hukummnya.
b. Dasar Hukum Berijtihad
Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :
1.      Surah An-Nisa : 59
 
 “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, Ulil Umri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Kesimpulannya menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang-orang tidak mengikuti hawa nafsunya dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya. Dengan ijtihad dalam membahas kandungan-kandungan ayat/hadis yang barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaedah-kaedah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebut dalam Al-Qur’an. Jadi inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Mu’az Bin Jabal. Ketika ia akan di utuskan ke Yaman menjawab pertanyaan Rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum ia menjelaskan secara berurutan yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian melakukan ijtihad, Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusan dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasulnya.[6]
Hadits tersebut secara lengkap sbb :
”Dari Al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang-orang Muaz, sesungguhnya Rasulullah Saw. mengutus Muaz ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Muaz atas dasar apa anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah kitab Allah. Nabi bertanya : “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah? Dia menjawab “dengan dasar sunnah Rasulullah Saw. Beliau bertanya lagi “kalau anda tidak temukan dalam sunnah Rasulullah? Muaz menjawab : “aku akan berijtihad dengan penalaranku,” maka Rasulullah Saw. berkata : segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufik atas diri utusan Rasulullah Saw.” (HR Tirmizi) [7]
c. Hukum Berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad disini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, karena yang berwenang melakukan ijtihad adalah orang yang telah mencapai tingkat Faqih. Para ulama Ushul Fiqh antara lain Al-Tayyib Khuderi Al Sayyid, seorang ahli Ushul Fiqh kebangsaan Mesir berpendapat bahwa apabila syarat-syarat seseorang mujtahid pada diri seseorang itu telah cukup, maka hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu ’ain, fardhu kifayah bisa manddup dan bisa pula haram.
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ’ain (wajib dilakukan oleh setiap orang yang mencukupi syarat-syarat mujtahid), apabila terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya, hasil ijtihad itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaqlid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu ’ain apabila seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi, yang menhendaki segera mendapatkan jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.[8]
Melakukan ijtihad merupakan fardu kifayah bila disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Jika salah satu diantara mereka melakukan ijtihad berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid lainnya.
Ijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tampa ditanya, seperti yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanafiyah yang dikenal dengan Fiqh Iftiradhi (Fiqih Pengandaian).
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Sedangkan ijtihad hukumnya haram dalam dua hal :
1. Berijtihad dalam hal yang ada nash yang tegas (qath’iy) baik berupa ayat atau/hadits Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menjalani Ijma’ ijtihad hanya dibolehkan pada hal selain itu.
2. Berijtihad bagi sesorang yang tidak cukup syarat seperti yang telah ditetapakan pada syarat seseorang mujtahid. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu hukumnya adalah haram.
d. Macam-Macam Ijtihad
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu ijtihad Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut Al-Thayyib Khuderi Al Sayyid, yang dimaksud dengan ijtihad Fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan/hanya beberapa  orang mujtahid. Misalnya ijtihad yang dilakukan oleh para Imam mujtahid besar, Imam Abu Hanafiyah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Ahmad Bin Hanbal.
Sedangkan ijtihad Jama’i adalah apa yang dikenal dengan Ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Nabi Muhammad Saw. Setelah Rasulullah wafat dalam masalah tersebut. [9]
e. Contoh Ijtihad
Suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar bin Khatab dimana para pedagang muslim bertanya kepada khalifah, berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah.
Jawaban pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Qur’an mapun hadits, maka Khalifah Umar selanjutnya berijtihad dengan menerapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan dengan tarif yang biasanya dikenakan kepada para pedagang muslim oleh negara asing, dimana mereka berdagang.
f. Fungsi ijtihad
Menurut Imam Syafi’i, hukum didalam Al-Qur’an itu harus digali dengan kegiatan berijtihad, karena Al-Qur’an bisa menjawab semua permasalahan. Oleh karena itu, menurutnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berjtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dan sumbernya itu.
Pernyataan Imam Syafi’i diatas, menggambarkan bertapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenarann hadits, yang tidak sampai ke tingkat hadist Muttawatir, seperti hadits Ihad/sebagai uapaya memahami redaksi ayat/hadits yang tidak tegar pendiriannya, sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad.
Selain itu ijtihad juga berfungsi untuk mengembangkan prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah itu sangat penting, karena dengan itu ayat/hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
g. Syarat Seorang Mujtahid
Ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang Mujtahid :
1. Mengerti dengan makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an tentang hukum-hukum baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal diluar kepala/tidak perlu menhafal seluruh Al-Qur’an. Seorang mujtahid cukup mengetahui tentang dimana ayat hukum itu berada, sehingga mudah baginya menemukan waktu yang ditentukan menurut Imam Al-Ghazali, jumlah ayat dan hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat..
2. Mengetahui tentang hadist dan hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’ seperti halnya Al-Qur’an maka dalam masalah hadist dan juga perlu dihafal yang berhubungan dengan hukum. Menurut sebagian ulama, misalnya Ibnu Al Arabi (w.543H), ahli tafsir dari kalangan Makiyah menyatakan bahwa hadist dan hukum sekitar 3000 hadist, sedangkan menurut Ahmad bin Hanbal bahwa hadits dan hukum sekitar 1200 hadist. Namun, Wahban Az-Zahalli tidak sependapat dengan pembatasan jumlah hadis. Menurutnya, yang penting bagi seorang mujtahid mengarah dengan seluruh hadist hukum yang terdapat didalam kitab hadisi yang besar yang sudah di akui, sahih muslim, dll.[10]
3. Mengakui tentang dimana ayat dan mana hadist telah mansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah dan Rasul-Nya), dan mana ayat dan hadist yang menasakh sebagai penggantinya.
4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui taqliqnya.
5. Mengetahui seluk beluk Qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukunnya, tentang illat hukum dan cara menemukan illat itu dari ayat/hadist dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip umum syariah islam.
6. Menguasai Bahasa Arab dan ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
7. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum/dalilnya. Tentang kaidah-kaidah cara mengistinbatkan hukum dari sumber tersebut tentang ijtihad.
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya sebagai peristiwa. [11]
h. Tingkatan Mujtahid
Para Ulama membagi mujtahid dalam beberapa tingkat, yaitu :
1. Mujtahid Mustaqin (mutlak/independen), yaitu tingkat tertinggi. Untuk sampai ketingkat ini, seseorang harus memenuhi syarat tersebut.
2. Mujtahid Mubtasib, yaitu yang dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh. Salah seorang Imam Mujtahid Mustaqil, seperti berpegang kepada Ushu Fiqh Abu Hanafiyah. Akan tetapi, mereka bebas berijtihad, tanpa terikat dengan salah seorang Mujtahid Mustaqil.[12]

C. Ittiba’
a. Pengertian Ittiba’
Secara bahasa berarti iqtifa’ (menulusuri jejak), Qudwah (bersuri teladan), dan Uswah (berpanutan). Sedangkan menurut istilah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil.
Berasal dari Bahasa Arab, kata Ittiba’, ya’tbu, dan ittibaran yang berarti mengikuti /menurut yaitu menerima perkataan orang lain yang berkah, dan kamu mengetahui alasan perkataannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang Faqih/mujtahid dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mashab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat, dengan jalan membanding.
Berikut pengertian ittiba’ menurut para ahli Islam :
1.      Menurut Ahmad bin Hanbal ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah saw.
2.      Menurut Ibnu Khuwaizi Mandab ittiba’ yaitu setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau muttabi.
3.      Menurut Ibnu Katsir yaitu segala ucapan Rasulullah yang bersuri tauladan dan segala hail ikhwalnya. [13]
1. Pengertian ittiba’ menurut Berlia :
Ittiba’ adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Allah mewajibkan kepada setiap manusia agar selalu mengikuti kepada wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, Allah jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia didalam kehidupannya.
2. Pengertian ittiba’ menurut Naili :
Ittiba’ yaitu mengikut atau meneruti semua yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah ataupun menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar pendapat itu dan sumber yang dijadikan dasar oleh yang berkata itu.
b. Hukum Ittiba’
Dari pengertian diatas, jelaslah bahwa yang dinamakan Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun yang mengambil/mengikuti alasan-alasan dinamakan Muttabi :
1.      Wajib
Yaitu wajib bagi setiap umat muslim, karna dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan dalam QS. Al-araf : 3, yang artinya “Ikuti apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu ikuti selain dia sebagai pemimpin, sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.”
Disamping itu juga ada sabda Rasulullah Saw yang berbunyi :
“Wajib diatas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafa Urrasyidin.” (HR. Abu Daud).
c. Pendapat Ulama tentang Ittiba’

Ulama mengartikan bahwa ittiba’ adalah mengikuti argumentasi pendapat yang diikuti. Ittiba’ dibagi menjadi dua :
a.    Ittiba’ kepada Allah dan Rasul.
Adalah wajib sebagaimana yang telah dijelaskan pada QS. Al-A’raf yang telah disebutkan diatas.
b.    Ittiba’ kepada selain Allah.
c.    Mujtahid Fi Al-Mazhab.
Yaitu, tingkat mujtahid yang dalam Ushul Fiqh dan Faruq bertaqlid kepada imam mujtahid tersebut. Mereka tidak lagi berijtihad pada masalah yang sudah ditegaskan hukumnya dalam buku fiqh mashabnya. Mereka disebut mujtahid karena berijtihad dalam mengistinbatkan hukum pada permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku mashab. Imam mujtahid yang menjadi panutannya.
d.   Mujtahid Fi Al-Tarjih.
Yang kegiatannya tidak mengistinbatkan hukum, tetapi terbatas membandingkan mashab/pendapat dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih dan memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat yang ada. Dengan metode ini, ia sanggup melemparkan dimana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana keunggulannya.[14]
D. Taqlid
a. Pengertian  Taqlid
Secara bahasa Taqlid berasal dari kata Qallada yang berarti meniru sedangkan menurut istilah adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan perkataan itu.
Taqlid berasal dari bahasa Arab qallada yaqauldu, taqlidan yang berarti meniru seseorang dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ushul fiqh adalah menerima perkataan orang lain yang berkata dan kamu tidak mengetahui alasan dari perkataan nya itu. Ada juga ulama lain yang memberi definisi seperti Al-Ghazali, yakni “Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Selain definisi ini masih banyak lagi definisi yang diberikan orang pada ulama, yang kesemuanya tidak jauh berbeda dengan definisi diatas.
Berikut pengertian taqlid menurut para ahli :
1.      Menurut Al-Ghazali yaitu menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.
2.      Menurut Muhammad Said taqlid adalah mengikuti orang lain tanpa dalil yang di gunakan atas keshahihan pendapat tersebut.
3.      Menurut Al-Kawkab al-Sathi taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui hujjah yang menunjukkan kebenaran pendapat tersebut.
Kesimpulan menurut (Naili Rahmasari), taqlid adalah menerima ataupun mengambil atau meniru apa yang dikatakan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an, hadis, qiyas, ijma’.[15]
1.      Pengertian taqlid menurut Berlia
Taqlid ialah mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang digunakan atas keshahihan pendapat tersebut.
2.      Pengertian taqlid menurut Naili
Yaitu menerima perkataan seseorang, sedangkan kita tidak mengetahui dari mana asal kata itu ataupun percaya tentang suatu hukum tanpa memerhatikan salah atau benar, baik dalam ibadah maupun adat.
b. Hukum Taqlid
Para ulama membagi hukum taqlid menjadi 3, yaitu :
1.      Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-sunnah. Taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya dan taqlid kepada pendapat seseorang sedangkan ia mengetahui pendapat orang itu salah.
2.      Boleh yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan dan berusaha menyelediki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain, bahwa taqlid seperti ini, sifatnya hanya sementara.
3.      Wajib yaitu taqliq kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapanya dijadikan hujjah yaitu Rasulullah Saw.
c. Pendapat Ulama Mengenai Taqliq
Menurut Muhammad Rasyid, taqlid adalah mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum/Islam, tanpa memerhatikan benar/salahnya baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut :
1.         Semata-mata mengikuti tradisi nenek monyang yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadist.
2.         Mengikuti seseorang/sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dengan mengandrungi daerahnya melebihi kecintaanya terhadap diri sendiri.
3.         Mengikuti pendapat seseorang padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah.[16]
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid dalam artian mengakui pendapat orang lain, karena belum ditemukan hukum Allah dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seorang yang bertaqlid tersebut harus belajar mendalami pengetahuan hukum Islam. Bila suatu saat orang tersebut menemukan dalil bahwa apa yang di taqlidnya selama ini bertentangan dengan syariat Allah, ia harus meninggalkan pendapat taqlidnya tersebut.
d. Pesan Para Ulama Mengenai Taqlid
Para ulama sepakat bahwa : Jika perkataan saya menyalahi kitab Allah dan hadist Rasul, maka tinggalkanlah perkataan selama ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
E. Fatwa
a. Pengertian Fatwa
Secara bahasa fatwa berarti jawaban, petuah dan nasihat. Sedangakn menurut istilah fatwa adalah tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa/orang yang bertanya.
Fatwa dalam bahasa Arab berarti jawaban pertanyaan atau hasil ijtihad/ketetapan hukum. Fatwa adalah pendapat atau keputusan mengenai ajaran Islam yang disampaikan lembaga/perseorangan yang diakui otoritasnya, yakni Mufti kumpulan tentang fatwa, seperti fatwa alamidiriyyah. Di Indonesia juga dikenal adanya fatwa majelis ulama Indonesia (MUI).
Maksudnya adalah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid sebagai ijtihadnya.[17]
Berikut pengertian menurut para ahli :
1.      Menurut Ensiklopedi Islam, fatwa adalah tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat, peminta fatwa.
2.      Menurut Ahmad Hasan, fatwa adalah jawaban pertanyaan atau ketetapan hukum.
3.      Menurut Syaifuddin fatwa adalah memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh seorang ahli.

ü  Pengertian fatwa menurut Berlia :
Yaitu sebuah istilah yang mengenai suatu pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam.

ü  Pengertian fatwa menurut Naili
Yaitu penjelas suatu hukum. Memberikan jawaban tentang sebuat keputusan yang telah ditetapkan sesuai dengan hukum Islam. Dan sebagai suatu metode dalam Al-Qur’an dan sunnah dalam menerangkan hukum syara’.
b. Macam-macam fatwa
1.      Fatwa khulafa’il Arba’ah Idzattafaqu
Fatwa yang diberikan oleh khalifah yang 4 apabila kebetulan itu serupa adanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa fatwa ini dapat di jadikan hujjah.
2.      Fatwa Shahabi
Pendapat yang difatwakan oleh seorang ulama shahabi. Ulama hanafiyah mengakui fatwa shahabi sebagai hujjah sedangkan jumhur ulama. Mashab seorang shahabi bukanlah hujjah.
3.      Fatwa Shahabi Idza Khalafal qiyas
Sebagian ulama berpendapat bahwa shahabi itu menjadi hujjah apabila menyalahi qiyas. Ahmad bin Hambal menetapkan bahwa fatwa shahabi sebagai hujjah dan menetapkan sebagai hadist shahih, mursal, dan sebelum hadist dhaif, yakni apabila beliau tidak mendapati hadist shahih dalam permasalahan yang dihadapinya, beliau mengambil fatwa sahabat dan mendahulukan fatwa sahabat daripada hadist mursal dan hadist dhaif.[18]
Dengan demikian, peminta fatwa tidak harus mengikuti isi/hukum fatwa yang diberikan kepadanya.
c. Syarat yang harus dipenuhi seorang Mufti
a.       Harus mengetahui sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan sunnah, baik qauliyah, fi’liyah.
b.      Mengetahui cara mengambil hukum keduanya.
c.       Mengetahui kaedah ushul fiqh.
d.      Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab.
e.       Mengetahui nasakh, mansukh dan hukum-hukumnya.
f.       Mengetahui ijma’ dan khilafiyah ulama terdahulu.
g.      Mengetahui cara mengqiyas hukum-hukum.
h.      Mengetahui ijtihad.
i.        Mengetahui cara mentarjih.
j.        Jujur.[19]



[1] Abu Zahra, Ushul Fiqh (Jakarta: Puataka Firdaus, 2011), hlm. 2.
[2] Ahmad Arifin, Hukum Islam Perspektif Ke Indonesia, (Makassar: UMTOHA UKHUWAH GRAFIKA, 2011), hlm. 2.
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.238.
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2...,hlm.239.
[5] Satria Effendi, M.Zein, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.246.
[6] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh...,hlm.247.
[7] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh...,hlm.240.
[8] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hlm.197.
[9] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh...,hlm.286.
[10] Alaidin Koto, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT.Grafindo, 2011), hlm.129-131.
[11] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh...,hlm.196.
[12] Satria Effendi, M.Zein, Ushul Fiqh...,256.
[13] A.Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.195-196.
[14] Alaidin Koto, Ushul Fiqh...,hlm.134-136.
[15] M.Saputra, Djedjen Zainuddin, Fiqh, (Semarang: PT.Karya Toha Putra, 2006), hlm.109-110.
[16] A.Hanafie, Ushul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1963), hlm.159.

[17] Totok Jumantoro, Samsul Munir, Kamus Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2001), hlm.62.
[18] Totok Jumantoro, Samsul Munir, Kamus Ushul Fiqh...,hlm.63.

[19] T.M.Hasbi Ash-Hiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT.Pustaka Rizqy Putra, 1997), hlm.86.

0 comments:

Post a Comment