Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Showing posts with label HUKUM SYARA’. Show all posts
Showing posts with label HUKUM SYARA’. Show all posts

SISTEMATIKA FIQH

SISTEMATIKA FIQH



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam setiap penulisan suatu karya tulis terdapat susunan atau sistematika yang membuat tulisan terlihat menarik dan mudah dipahami oleh setiap orang yang membaca tulisan tersebut. Namun jika tulisan tersebut tidak tersusun secara sistematik maka yang terjadi adalah sebaliknya yaitu: orang akan susah dalam memahami suatu karya tulis.
Namun, apakah sistematika ini juga berlaku dalam penulisan kitab-kitab fiqh Ushul ushul Fiqh itu sendiri Dan apakah ada perbedaan pembahasan masalah pada masa dulu tepatnya masa tabi’in dengan masa setelahnya.
Ada pergulatan sejarah yang panjang dalam mengungkapkan atau menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, para ahli telah menjawab pertanyaan tersebut dengan berbagai penelitiannya. Disini pemakalah hanya ingin menyampaikan apa yang telah diteliti oleh para ahli.




BAB II
PEMBAHASAN


A. TAHARAH

Taharah adalah bersuci,taharah menurut  syara’ adalah bersuci dari hadast dan najis.bersuci dari hadst ialah bersuci dengan mengerjakan wudhu,mandi dan tayamu,sedangkan beruci dari najis ialah menghilangkan najis yg ada di badan,tempat,dan pakain.

1. Macam macam air

Air yg dapat diapaki bersuci ialah air yang besih seci dan menyucikan yaitu air yg turun dari langit atau keluar dari bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
            
            Air yang suci menyucikn ialah sebagai berikut:

a. Air hujan
b. Air sumur
c. Air laut air sungai
d. Air salju air telaga
e. Air embun
Baca Juga : Bahan Full
a.Tayamum
          Ialah mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yg suci, pada suatu                                   ketika tayamum itu dapat menggantikan wudhu dan mandi dengan syarat syarat tertentu.
Sebab sebab tayamum:
Karena tidak adanya air yg memunuhi syarat kesucian dan telah berusaha mencarinya tetapi tidak mendapatkan.
Berhalangan menggunakan air,misalnya karna sakit yg akan aabila menggunakan air akan bertamah sakitnya.
Adanya air yg diperkukan untuk yg lebih penting

Syarat tayamum:
Menggunakan debu yg suci, yg belum digunakan untuk bersuci,dan tidak tercampur dengan sesuatu.
Mengusap kedua wajah dan keuda tangan
Terlebih dulu menghilangkan najis
Telah masuk waktu shalat
Tayamum hanya skali untuk shalat fardhu. 



B. IBADAH

           Sebagai mausia yg beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, tentu kita tidak akan terlepas dari yg namanya ibadah. Selalu banyak kesempatan kita untuk melakukan ibadah kepada allah dalam keadaan apapun, dimanapun dan kapanpun kita melakukan pasti banyak kesempatan. Jadi yg dimaksud dengan ibadah ialah secara bahasa ibadah adalah tunduk atau merendhkan diri sedangkan menurt istilah ibadah adalah merupakan suatu ketaatan yg dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya.

           Adapun ibadah terbagi menjadi 3 yaitu ibadah hati,ibadah lisan dan ibadah anggotabadan atauperbuatan.

Ibadah hati (qalbiah) antara lain: memiliki rasa takut, rasa cinta atau bisa dibilang (mahabbah),mengharap (raja’) senang (raqhbah) iklas.tawakkal.
Ibadah lisan dan hati antara lain: berdzikir,tasbih,tahlil,tahmid,takbir,syukur,berdoa,membaca ayat al-qur’an
Ibadah anggota badanantara lain: sholat,zakt,haji,berjihad,berpuasa.

Syarat- syarat diterima ibadah

Ikhlas semata mata karena allah semata,bebas dari syirik besar dan kecil.
Ittiba;, sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu;alaihi wa sallam
Meninggalkan riya, artinya beribada kita kepada allah hanya semata mata ingn dilihat oleh sama orng lain supaya tidak malu.
Bermuraqabah, artinya yakin bahwa alah itu melihat dan selalu ada disamping ita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya. 


C.MUAMALAH

            Muamalah adalah hubungan kepentingan antara seseorang denan orang lain apakah itu  hubungan kepentingan. Dan muamalah sendiri bisa dikatan suatu kegiatan yg mengatur hal hal yg berhubungan dengan tat cara hidup sesame umat manusia untuk memenuhi keperluan manusiahidup sehari hari.sedngkan yg dimaksud dngn kegiatan muamalat adalah.jual beli,sewa menyewa dan untang piutang.

1.jual beli
           
           Jual beli menurut syaria islam adalah kesepakatan tukar-menukar barang dengan tujuan untuk dimilikinya selamanya,melakukan jual beli dibenarkan sesuai dengan firman allah yang arinya”dan allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Syarat syarat jual beli :
Penjual dan pembelinya haruslah
Baliqh
Berakal sehat
Atas kehendak sendiri

Uang dan barangnya haruslah
Halal dan suci
Bermanfaat
Keadaan barng harus diserah terimkan
Keadaan barang harus diketahui olh penjual dan pembeli.apakah itu milik sendiri
Milik sendiri

2.utang-piutang

              Utang-piutang adalh menyerahkan hartadan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian

Rukun untang piutang
Yang berutan dan yang berputang
Ada harta atau barang
Lafadz kesepakatan antara kedua belah pihak

3.sewa-menyewa
             
             Sewa menyewa dalam fiqih islam disebut ijarah,artinya imbalan yg harus diterima oleh seseorang atau jasa yang di berikannya .jasa disiniberupa penyediaan tenaga dan pikiran,tempat tinggal atau hewan. 


D.MUNAKAHAT ( PERNIKAHAN )
             Munakaht atau pernikahan ialah akad yg menghaalkan di antara lelaki denhan perempuan hidup bersama dan menetapkan tiap-tiap pihak dari pada mereka hak-hak dan tanggung wab,dalam arti kata lain suatu akad yg menghalalkan persetubuhan dengn sebab perkataan yg mengandungi lafadz nikah, perkawinan dan sebagainya.  
1.Dasar Hukum Nikah
              Hukum nikah (perkawinan) yaitu hokum yg mengatur hubungan antara manusia dngan sesamanya yg menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis,dan hak serta kewajiban yang behubungan dengan akibat perkawinan tersebut.
              Perkawinan adalah sunnatullah, pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, imam izzudin abdusalam membagis mashlahat menjadi tiga bagan yaitu:
a. Maslahat yg diwajibkan oleh Allah SWT.
b. Maslahat yg disunnahkn oleh syar’i
c. Maslahat mubah.
2.Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
              Rukun Yaitu, sesuatu yg mesti ada yg menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan Sesutu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudu dan takbiratul ihram untuk shalat.
              Syarat yaitu, sesuatu yg mesti ada yg meentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah). Tetapi sesuatu itu tidk termasuk dalam rangkain pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.
 
               Sah yaitu, sesuatu pekerjaan (ibadah) yg memenuhi rukun dan syarat.pernikahan yg didalamnya terdapat akad, layaknya akd akad lain yg memerulukan adanya persetujuan kedua belah pihak yg mengadakan akad. Adapun rukun nikah adalah:

1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Shigat ijab kabul 


Syarat Syarat Suami

1. Bukan mahram dari calon istri
2. Tidak terpaksa ats kemauan sendiri
3. Orangnya tertentu, jelas orangnya
4. Tidak sedang ihram

Syarat Syarat Istri

1. Tidak ada halangan syara’ yautu tidak ada suami
2. Merdeka atas kemauan sendiri
3. Jelas orangnya
4. Tidak sedang berihram

Syarat Syarat Wali

1. Laki-laki
2. Baliqh
3. Waras akalnya
4. Tidak dipaksa
5. Adil
6. Tidak seang ihram

Syarat Syarat Saksi

1. Laki-laki
2. Baliqh
3. Waras akalnya
4. Adil
5. Dapat mendengar dan melihat
6. Bebas tidak dipaksa
7. Tidk sedang mengerjaan ihram
8. Memahami bahasa yg dipergunakan untuk ijab Kabul.


E.JINAYAT

         Jinayat ialah penganiayaan terhad tubuh badan,harta,jiwa,sedangkan menurut istilah jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yg didalamnya diwajibkan qisas aau diyat.jinayat juga bermakna  sanksi sanksi yg dijatuhkan atas penganiayaan badan.

Macam macam jinayat

1. Jinayat terhadap jiwa, atau pelanggaran terhadap seseorang dengan menghilangkan nyawa merupakan hal sangat dilarang oleh allah taala,apalagi manakala pelanggaran tersebut dilakukan secara sadar dang sengaja,srta yang dibunuh adalah mukmin.
2. Jinayat terhadap tubuh,,adalah jinayat atas salah salah satu organ tubuh manusia atau atas dari tulang tulang ats tubuh manusia ,atau atas kepalanya atau bagian dari atas tubuh manusia dengan sebuah pelukaan.para ahli fiqh menetapkan berlakunya kisas selain pada jiwa yaitu pada organ tubuh manusia. 


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan 
Hubungan ilmu fiqih dengan Ushul Fiqih, jelas sangat berhubungan sebab memang Ilmu Fiqih merupakan produk dari Ushul Fiqh. Ilmu Fiqh berkembang kerena berkembangnya Ilmu Ushul Fiqh.Ilmu fiqh akan bertambah maju manakala ilmu Ushul Fiqh mengalami kemajuan karena ilmu Ushul Fiqh adalah semacam ilmu atau alat yang menjelaskan metode dan sistem penetapan hukum berdsarkan dalil- dalil naqli maupun naqli. Sedangkan Ilmu Ushul fiqh adalah ilmu alat-alat yang menyediakan bermacam- macam ketentuan dan kaidah sehingga diperoleh ketetapan hukum syara’ yang harus diamalkan manusia.

3.2 Saran 
Tentunya penyusun menyadari bahwa apa yang ada dalam makalah ini masih sangatlah jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penyusun berharap kepada para pembaca dan penyimak makalah ini untuk bersedia memberikan kritik ataupun saran yang sifatnya konstruktif untuk kemudian bisa lebih memperbaiki lagi dalam penysunan makalah serupa yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA


Drs. Mohammad Rifa'I, Blogcoretansantri.blogspot.com, Abdul Hamid Hakim,Mabadi Awaliyah (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Muhammad Abu Zahra,fungsi ushul fiqh dan fiqh,(tt:dar al-fikri,2003),hal.12.

Pengertian Ushul Fiqh menurut para ahli

Pengertian Ushul Fiqh Menurut Para Ahli

-Menurut Khudary Beik
Yaitu ilmu tentang kaedah/aturan-aturan dimana dengan kaedah tersebut seseorang mujtahid sampai menemukan hukum syar’i yang diambil dari dalilnya.
-Menurut Ali Hasaballah

Sejarah Perkembangan Fiqh


1.         PENGERTIAN USHUL FIQH.
Ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah,hukum-hukum dasar tentang manusia yang sudah dewasa dsn berakal sehat.
·      Pengertian ushul fiqh menurut yova adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah, hukum-hukum dasar tentang manusia yang sudah dewasa dan berakal sehat.
·      menurut husna reva yanti adalah ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah,teori-teori,sumber-sumber yang ada pada islam.


2.         PENGERTIAN FIQH
Fiqh menurut bahasa adalah  berarti paham atau tahu.menurut istilah,berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’a yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang di peroleh dari dalil-dalil tafsil(jelas).
·      menurut yova adalah berarti paham atau tahu,berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang di peroleh dari dalil-dalil tafsil(jelas).
·      menurut husna reva yanti adalah suatu ilmu pengetahuan tentang islam yang berkenaan dengan perbuatan manusia.
 3.    SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH
A.      periode rasulullah
1.        massa mekkah dan madinah
 periode ini dimulai sejak di angkatnyamuhammad SAW. Menjadi nabi dan rasul sampai wafatnya.periode ini singkat,hannya sekitar 22tahun dan beberapa bulan saja.akan tetapi sangat menentukan,pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu fiqh selanjutnya berat sekali.masa rasulullah inilah mewariskan nash-nash hukum baik dari Al-QUR’AN maupun Al-sunnah,mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli maupun yang tersirat dari semangat dari Al-Qur’an dan Al-sunnah.
 Periode rasulullah ini di bagi dua macam yaitu;massa maekkah dan massa madinah.pada massa mekkah,di arahkan untuk memperbaiki akidah,karena akidah inilah yang mendasi ponfasi hidup.oleh karena itu,dapat kita pahami bahwah apabila rasulullah pada massa itu memulai dakwahnya dengan mengubah keyakinan masyarakat yang musyrik menuju  masyarakat yang beraqidah tauhid,membersihkan  hati dan menghiasi diri dengan al-akhlaq al-karimah,masa mekkah ini di mulai sejak  diangkatnya muhammad rasulullah Saw menjadi  rasul sampai beliau hijjrah ke madinah yaitu kurang lebih dua belas tahun lebih.[1]


2.Sumber hukum masa rasulullah.
a. Al-Qur’an
              Al-Qur’an di turunkan kepada rasulullah tidak sekaligus.berbeda dengan turunnya taurat kepada nabi musa.Al-Qur’an turun sesuai dengan kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu dan menjelaskan hukum-hukumnya,memberikan pertanyaan-pertanyaan atau jawaban terhadap permintaan.
  Contoh kasus seperti;larangan menikahi wanita musyrik.peristiwa berkenaan dengan martsad al-Ganawi yang meminta izin kepada nabi untuk menikahi wanita musyrikah,maka turun ayat:
‘’dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman’’.(Al-Baqarah:221)
Adapun untuk memberi jawaban atau fatwah,misal nya dalam ayat-ayat:
’mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan’’.(al-Baqarah:215)
‘’dan mereka bertanya kepadamu tentang haid’’.(al-Baqarah:222)
‘’mereka bertanya kepadamu tentang apa yang di halalkan kepada mereka’’.(al-Maidah:4)
‘’dan mereka meminta fatwah kepadamu tentang para wanita,katakanlah;allah memberi fatwah kepada mereka tentang wanita-wanita’’.An-Nisa:127).
               Pada umumnya hukum-hukum dalam Al-qur’an bersifat kulli dan bersifat umum,demikian pula dalalahnya(penunjukannya) terhadap hukum kadang-kadang bersifat qath’i yaitu jelas dan tegas,tudak bisa di tafsirkan lain.dan kadang-kadang bersifat dhaniyaitu memungkinkan terjadinya beberapa penafsiran.
b.Al-sunnah
               seperti telah di uraikan dalam bab-bab tedahuluAl-sunnah menjelaskan tentang hukum-hukum yang telah di jelaskan di Al-qur’an.seperti shalat di jelas kan cara-cara nya di dalam sunnah.di samping itu juga penguat bagi hukum-hukum yang telah di terapkan di dalam Al-qur’an.ada pula hadits yang memberi hukum tertentu,sedangkan prnsip-prinsipnya telah di terapkan dalam Al-Qur’an.
              Penjelasan rasulullah tentang hukum ini sering di nyatakan dalam perbuatan rasulullah sendiri,atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus,atau karena menjawab pertanyaan hukum yang di ajukan kepadanya,bahkan bisa terjadi karena diamnya rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukkan kepada perbuatan tersebut.[2]


c.Ijtihad pada masa rasulullah
                  pada zaman rasulullah pun ijtihad itu di lakukan oleh rasulullah dan juga para sahabat ,bahkan ada kesan rasulullahmendorong para sahabat nya untuk berijtihad seperti kesan rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijtihad seperti terbukti cara rasulullah sering bermustawarah dengan dan para sahabatnya dan juga dari kasus muadz bin jabal yang di utus ke yunan.hanya saja ijtihad pada zaman rasulullah ini tidak seluas pada zaman rasulullah,karena banyak permasalahan-permasalahan  yang di tanyakan kepada rasulullah kemudian di jawab dan di selesaikan oleh rasulullah sendiri.
                 Ijtihad rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijtihat untuk memberikan hikmah yang besar karena:’’memberikan contoh bagaimana cara beristinbat dan memberikan latihan kepada para sahabat bagaimana cara penarikan hukum dari dalil-dalil yang kulli,agar para ahli hukum islam (para fuqaha)sesudah beliau dengan potensi yang ada  padanya bisa memecahkan masalah-masalah baru dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip di dalam al-qur’an dan al-sunnah.
B.Periode sahabat
               Pada masa ini dunia islam sudah meluas,yang mengakibatkan adanya masalah-masalah baru yang timbu,oleh karena itu tidak mengherankan apabila periode para sahabat ini di bidang hukum di tandai dengan penafsiran para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya.di samping itu juga  terjadi hal-hal yang tdak menguntunkan yaitu pecahnya masyarakat islammenjadi beverapa kelompok yang bertentangan secara tajam.yang menurut ameer Ali,pada hakikatnya:’’permusuhan suku dan permusuhan padang pasir yang di kobarkan oleh perselisihan di nasti’’.
              Perselisihan suku itu memang ada pada zaman jahiliah,kemudian pada zaman rasulullah di netralisasi dengan konsep dan pelaksanaan ukhuwah islamiyah.periode ini di mulai sejak wafatnya rasulullah SAW .sampaiakhir abad pertama hijrah.
1.Sumber Hukum
             Pada periode sahabat ini ada usaha positif yaitu terkumpulnya ayat-ayat a;-qur’an dalam satu mushaf.ide untuk mengumpulkan ayat-ayat al-qur’andalam satu mushaf datang dari umar bin khattab,atau dasar karena banyak para sahabat yang banyak hafal al-qur’an gugur dalam perperangan.ide ini di sampaikan umar kepada abu bakar  pada mulanya abu bakar menolat saran tersebut ,karena hal tersebut tidak pernah  di lakukan oleh rasulullah tetapi pada akhirnya abu bakar menerima ide yang baik dari Umar ini. Maka beliau menugaskan Zaid bin Thabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-qur’an yang terpencar-pencar tertulis dalam pelepah-pelepah kurma,kulit-kulit binatang,tulang-tulang dan yang di hafal para sahabat.mushaf ini di simpan pada abu bakar,kemudian setelah Umarmeninggal di simpan pada Hafshah binti umar.kemudian pada zaman usman bin afwan,Usman meminjam mushaf  yang ada pada hafsah kemudian kemudian menugaskan lagi kepada zaid bin tsabit untuk memperbanyak dan membagikannya ke daerah-daerah islam yaitu ke madinah,mekkah,kuffah,basrah dan damaskus,mushaf itulah yang sampai pada kita sekarang.[3]
            Adapun hadits pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab memang pekerjaan lebih sulit mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an karena:Ayat-Ayat Al-Qur’an waktu nabi meninggal telah                             tertulis,hannya ,masih berpencar-pencar belum disatukan,nabi selalu meminta untuk menuliskan Al-Qu’an dan melarang menuliskan hadits.dengan demikian tidak akan tercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadits.di samping itu Al-Qur’an  banyak di hafal oleh para sahabat.bahkan banyak sahabat yang hafal keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an.
          tidak tertulisnya dan tidak terkumpulnya hadits dalam satu mushaf pada permulaan islam, maka para ulama-ulama islam pada periode selanjutnya harus meneliti keadan perawi hadits dari berbagai segi,sehingga menimbulkan berbagai hadits serta muncul ilmu muthalah hadits.akibat lain adalah timbulkan berbeda dalam menanggapi satuhadits tertentu.
2.Ijtihad sahabat
Seperti telas di jelaskan masa para sahabat ini islam telah menyebar luas misalnya ke negri persia,irak,syam,dan mesir.negara-negara tersebut telah memiliki kebudayaan yang tinggi,mempunyai adat-adat kebiasaan tertentu,peraturan-peraturan dan ilmu pengetahuan.bertemunya islam di luar jazirah arab ini mendorong pertemuan fiqh islam pada periode-periode selanjutnya.bahkan mendorong ijtihad para sahabat.seperti misalnya pada kasus usyuur(bea masuk barang-barang impor),tanah-tanah yang luas dikuasai di jadikan tanah khardj.kasus mualaf dan lain-lain pada zaman umar bin khatab.
           Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama –tama di cari nash nya dalam Al-Qur’an,apabila tidak ada,di cari di dalam hadits.apabila tidak di temukan baru berijtihad dengan bermusyawarah dengan sahabat.inilah bentuk ijtimak jama’i,apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat.keputusan musyawarah ini kemudian menjadi pegangan umat secara formal.khalifah umar bin khattab mempunyai mempunyai dua cara musyawarah yaitu:’’musyawarah yang bersifat khusus dan musyawarah yang bersifat umum’’,musyawarah yang bersifatkan khusus beranggotakan para sahabat muhajirin dan anshor,yang berupa musyawarah yang masalah-masalah yang berkaitan dengan musyawarah pemerintahan.adapun musyawarah yang bersifat umum di hadiri oleh seluruh penduduk madinah yang di kumpulkan di mesjid,yaitu apabila ada masalah yang sangat penting  seperti kasus tanah di irak yang di jadikan tanah khardj.
           Walaupun demikian tidak menutup adanya kemungkinan ijtihad para sahabat-sahabat yang sifatnya pribadi,tidak berkaitan langsung dengan kemasalahatan umum mereka menanyakan masalahnya kepada seseorang ke[ada sahabat nabi dan di beri jawabannya.dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan kemasalahatan umum dan dengan ijtihad fardi dalam hal-hal yang bersifat pribadi.untuk bentuk ijtihad fardi ada kemungkinann terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat,sebab.
         Petama;tidak semua ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu Qath’i dalalahnya atau petunjuknya kepada maksud tertentu,sehingga memberikan kemungkinan penafsiran-penafsiran yang berbeda.
          Kedua;hasits belum terkumpul dalam satu kitab tertentu dan tidak semua sahabat hafal hadits.
  Ketiga;mikieu dimana para sahabat berdomisili tidaklah sama.keperluannya berbeda-beda dan kemaslahatannya judga bisa berlainan.

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH DAN USHUL FIGH
Setiap ilmu mengalami pertumbuhan  dan perkembangan,tidak terkecuali dengan ilmu ushul figh.banyak orang bertanya tentang peletak dasar ilmu ushul fiqh.Cik Hasan Bisri pun bertanya tentang siapa yang menciptakan kaidah-kaidah ushul fiqh itu?siapa yang mula-mula menggunaunkaidah al-ashl fi al-amr lilwjub?pertanyaan tersebut menunjukkan dua hal,yaitu:(1)banyak orang yang belum mengetahui peletak dasar ushul fiqh dan pencipta berbagai kaidahnya;(2)banyak orang yang ingin mengetahui jawabannya agar jika ada yang menanya perihal yang sama,ia mampu menjawabnya.
Rachmat syafi’i[4]mengatakan bahwa benih-benih ushul fiqh sudah ada sejak zaman rasulullah SAW.dan sahabat.masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh,seperti ijtihd,qiyas.nasakh,dan takhsis  sudah ada pada zaman rasulullah dan sahabat.[5] sebagai mana sejak zaman rasulullah SAW. Sudah ada ijtihad.salah satu hadit yang populer tentang ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang di lakukan oleh Muadz ibnu jabal.[6]konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas,karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersifat juz’iyah harus dengan qiyas.
1.       Tahap Awal (abad ke-3H)
Pada abad ke 31-H,di bawah pemerintahan abbasyiah,wilayah islam semakin meluas di bagian timur. Khalifah –khalifah abbasyiah yang berkuasa  dalam abad ini adalah Al-Mutawakkil (w.218 H),Al-Mu’tashim(w.227 H),Al-wasiq(w.232 H),dsan Al-Mutawakkil(w.247 H), pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan islam,yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifahAr-rasyid.kebangkitan pemikiran pada masa ini di tandai dengan timbulnya semangat pada penerjemahan dikalangan ilmuan muslim.buku-buku filsafat yunani di terjemahkan dalam bahasa arab,kemudian di berikan penjelasan (syarah).di samping itu,ilmu-ilmu keagaman juga berkembang dan semakin meluas objek pembahasannya.hampir di katakan bahwah tidak ada ilmu keislaman yang berkembang sesudah Abbasyiah,kecuali yang telah di rintis atau di letakkan dasar-dasarnya pada zaman dinasti Abbasyiah ini.
Salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat keilmuan islam ketika itu adalah berkembang nya bidang fiqh,yang pada gilirannya mendorong untuk di susunnya metode berfikir fiqh yang di sebut ushul fiqh.



2.       Tahap perkembangan (Abad ke-4 H)
Abad ke 41-H hijriyah merupakan abad permulaan kelemahan di nasti abbasyiah dalam bidang politik.pada abad ini,di nasti abbasyiah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing di pimpin oleh seorang sultan.namun demikian,kelemahan bidang politik ini tidak memengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan para ulama ketika itu.bahkan,ada yang mengatakan bahwah perkembangan keislaman pada abad ke-4 H ini jauh lebih maju di bandingkan dengan masa-masa sebelumnya.hal ini antara lain di sebabkan oleh masing-masing pengembangan.
3.       Tahap penyempurnaan (abad ke-5-6 H)
    Kelemahan politik di baqdad,di tandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,membawa arti bagi         perkembangan peradaban dunia islam,peradaban islam tidak lagi terpusat di baqhdat,tetapi juga di kota-kota  seperti kairo,bukhara,gahznah,dan markusy,hal itu di sebabkan adanya perhatian besar dari para sultan,raja-raja penguasa daulah-daulah kecil yang tehadap perkembangan ilmu dan peradaban.[7]
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya;antara lain Al-abqilani,Al-Qahdhi abd jabar,abd al-wahab al-baqhdadi,abuzayd ad-dabusy,abu hu al-ghazali,dan lain-lain.mereka itulah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode jejak mereka untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ushul fiqh,itulah sebabnya,pada zaman itu,generasi islam di kemudian hari semakin menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul fiqh dan menjadi sebagai sumber pemikiran.
1.       definisi fiqh pada abad 1(pada masa sahabat)
definisi pada masa ini ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah di ketahui oleh masyarakat umum.sebab untuk fiqh atau ilmu fiqh hannya dapat di ketahui oleh orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam sehingga mereka bisa membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam masalah fiqh.[8]mereka inilah yang di sebut liyatafaqqahufiddin yaitu untuk mereka yang bertafaqquh dalam agama islam.
Sabda Nabi SAW.yang berbunyi
‘’Barang siapa yang di kehendaki allah akan di berikan kebaikan dan keutamaan niscaya diberikan kepadanya faham mendalam dalam agama’’.
(HR.Bukhari dan Muslim).                         




2.       definisi figh pada abad II(masa telah lahirnya mazhab-mazhab)
pada abad ll ini telah lahir pemuka-pemuka mujtahid yang mendirikan mazhab-mazhab yang terbesar di kalangan umat islam,pengertian/definisi fiqh waktu itu diperkecil skopnya,yaitu untuk membahas satu cabang ilmu pengetahuan dari bidang-bidang ilmu agama.maka lafaz fiqh di khususkan untuk nama dari hukum-hukum yang di petik dari kitabullah dan sunnatur rasul.
3.       definisi fiqh menurut ahli ushul dari ulama-ulama
Definisifiqh menurut ulama-ulama hanafiah ialah:
Artinya:
‘’ibnu yang menerangkan segala hak dan kewajiban berhubung dengan amalan para mukallaf’’.[9]
4.       definisi fiqh yang di kemukakan oleh pengikut-pengikut imam syafi’i ialah:

Artinya:
 ‘’ ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan perbuatan para mulallaf yang di gali(diistinbatkan)dari dalil-dalil yang jelas(tafshily)’’.
5.       Definisi fiqh menurut ibnu khaldun,dalam muqaddimah al mubtada wal khabar ialah:
Artinya:
‘’fiqh ialah ilmu yang dengannya di ketahui segala hukum allah yang berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf baik yang wajib,nadb,makruh dan yang harus (mubah)yang di ambil (diistinbatkan)dari al-kitab dan as-sunnah dan dari dalil-dalil yang telah di tegas kan syara.apabila di keluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalilnya,maka yang di keluarkan itu di namai ‘’fiqh’’.
6.       Definisi fiqh menurut jalalul malali,sebagai berikut:

Artinya:
‘’ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’yang berhubungan dengan amaliyah yang di usahakan memperolehnya dari dalil-dalil yang jelas(tafshill)’’.

7.       Definisifiqh menurut Al-imam ibnu hazm
8.       Definisi ijtihad islam(ulama) lainnya mengemukakan definisi fiqh:

Artinya:‘’suatu ilmu yang dengan ilmuitu kita mengetahui hukum-hukum syara’yang amaliyah yang di peroleh dari dalil-dalilnya yang secara rinci’’
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli,ilmu fiqh, ( jakarta : kencana,2006 )
Beni ahmad saebeni,fiqh dan ushul fiqh, (jakarta : CV pustaka setia,2008)
Ibd’
Salah seorang guru besar,ushul figh, (fakultas syari’i dan hukum UIN sunan gunung pjati bandung )
Abu daud,ushul fiqh,(jakarta : mutiara,2005 )


[1] Dzajuli ilmu fiqh dan ushul fiqh,(jakarta,kencana 2006)hal. 139.
[2] Dzajuli ilmu fiqh dan ushul fiqh (jakarta,kencana 2006) hal. 141.
[3] Dzajuli ilmu fiqh dan ushul fiqh (jakarta,kencana 2006) hal. 141.
[4] Salah seorang Guru Besar Ilmu Ushul Fiqh di Fakultas Syar’i dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
[5] Ibid., hlm. 26.
[6] Abu Daud,Sunan Abu Dawud,jilid IX,hlm. 509.
[7] Ibd., hlm. 29.
[8] Ibd., hlm. 30.
[9] Beni Ahmad Saebani,januri,fiqh ushul fiqh,(jakarta,CV PUSTAKA Setia 2008). Hlm. 30-39.

MAKALAH HUKUM SYARA’ FULL LENGKAP


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Seperti yang kita ketahui bersama bahwa didalam mempelajari Ushul Fiqh terdapat bermacam-macam hukum yang diantaranya yaitu hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan kata “Syara”. Kata Hukum berasal dari bahasa arab. “Hukum” yang secara etimologi berarti “memutuskan atau menetapkan dan menyelesaikan”. Sedangkan kata Syara’ secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada Allah. Dalam Al-Quran terdapat 5 kali disebutkan kata syara’ dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh.
            Jadi Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan, berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Dalam hukum syara’ terdapat beberapa pembagian hukum. Didalam pembagian hukum tersebut terdapat beberapa macam bentuk-bentuk hukumnya yang akan saya bahas lebih luas didalam pembahasan makalah ini.
            Untuk itu, lewat makalah ini akan dijelaskan tentang pengertian hukum syara’ dan hukum taklifi serta sekilas tentang hukum wadh’i yang menjadi bagiannya.



B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang diatas dapat kami ambil rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh ?
2.      Apa Pengertian Hukum Syara’ ?
3.      Apa Macam-Macam Hukum Syara’ ?
4.      Apa-apa saja Unsur-Unsur Hukum Syara’ ?

C. Tujuan Penulisan
            Setiap kegiatan pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai, demikian juga yang dilakukan oleh penyusun dalam pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah :
1.      Untuk mengetahui Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
2.      Untuk mengetahui Pengertian Hukum Syara’
3.      Untuk mengetahui Macam-Macam Hukum Syara’
4.      Untuk mengetahui Unsur-Unsur Hukum Syara’.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
            Menurut bahasa “Fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqh yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshilli).
            Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (    اصل   )  yang artinya kuat (rajin), pokok sumber, atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.

B. Pengertian Hukum Syara’
            Secara bahasa hukum berarti mencegah atau memutuskan. Menurut terminologi, hukum adalah Khitab (doktrin) Syara’ (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan orang yang sudah Mukallaf. Baik doktrin itu berupa tuntutan (perintah, larangan), anjuran untuk melakukan, atau anjuran untuk meninggalkan. Atau wadh’i (menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’ atau penghalang).[1]
            Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang bersangkutan dengan manusia, yakni yang dibahas dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang bersangkutan dengan akidah dan akhlak.[2]
            Bila dicermati dari definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadist-hadist hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam berikut :
a.       Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang diperintahkan itu sifatnya wajib.
b.      Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukallaf yang dilarang itu sifatnya haram.

c.       Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk dilakukan itu sifatnya mandub.
d.      Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang di anjurkan untuk ditinggalkan itu sifatnya makruh.
e.       Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f.       Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g.      Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h.      Menetapkan sesuatu sebagai mani’ (penghalang).
i.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad atau batal.
j.        Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.[3]

C. Macam-Macam Hukum Syara’
            Ulama ushul fiqh membagai hukum syara’ menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi dan hukum wadh’i.
1. Hukum Taklifi
            Hukum Taklifi ialah suatu ketentuan yang menuntut mukallaf melakukan atau meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk meakukan atau tidak melakukan perbuatan.[4] Untuk lebih jelasnya dapat dilihat contoh-contoh berikut :
·         Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk dilakukannya;
a.       Mukallaf wajib berpuasa di bulan Ramadhan.
b.      Mukallaf melakukan ibadah haji bagi yang mampu.

·         Contoh hukum Taklifi yang menuntut kepada mukallaf untuk meninggalkan perbuatan:
a.       Mukallaf tidak boleh memakan bangkai, darah, daging babi, mencuri, membunuh, dan berzina.
b.      Mukallaf tidak boleh berkata tidak sopan kepada kedua orang orang tua.



·         Contoh hukum Taklifi yang boleh bagi si mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya :
a.       Mukallaf bisa memilih antar bertebaran atau tidak bertebaran setelah melakukan shalat jumat.
b.      Mukallaf boleh mengqasar shalat ketika berpergian jauh.[5]

v  Pembagian Hukum Taklifi
1.      Wajib ialah ketentuan suatu perintah itu harus dilakukan oleh mukallaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi dari hukum wajib ini akan mendatangkan pahala jika dilakukan dan akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh sesuatu yang hukumnya wajib seperti : Shalat, berpuasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi orang yang mampu, dan berbakti kepada orang tua.
2.      Mandup (sunah), secara bahasa mandup adalah sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah ialah perintah yang datang dari Allah untuk yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mykallaf secara tidak tegas atau harus. Konsekuensi dari mandup ini jika dilakukan akan mendapatkan pahala dan tidak mendapat siksa atau celaan bagi orang yang meninggalkannya. Contoh dari perkara mandup (sunah) seperti : mencatat utang, shalat sunah, dan mengucapkan salam.
3.      Haram, secara bahasa berarti sesuatu yang lebih banyak kerusakannya dan sesuatu yang dilarang. Konsekuensi dari haram ini ialah bagi sesorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan dan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan. Contohnya seperti : berzina, mencuri, minum khamar, membunuh tanpa hak, memakan harta orang dengan zalim, dan lain-lain.
4.      Makruh, ialah berasal dari kata kariha yaitu sesuatu yang tidak disenangi, dibenci atau sesuatu yang dijauhi. Secara istilah makruh ialah sesuatu yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk meninggalkannya dalam bentuk tuntutan yang tidak pasti. Contohnya seperti : larangan Allah kepada manusia untuk tidak bertanya tentang sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan kamu,  dan menghamburkan harta.
5.      Mubah, secara bahsa yaitu melepaskan dan memberitahukan. Secara istilah, mubah ialah suatu perbuatan yang diberi kemungkinan kepada mukallaf antara memperbuat dan meninggalkan. Konsekuensinya adalah jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Contohnya seperti : makan dan minum, berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah shalat jumat, dan lain-lain.[6]

2. Hukum Wadh’i
            Hukum Wadh’i adalah ketentuan Allah yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’, rukhsah atau azimah, sah dan batal.[7]
v  Pembagian Hukum Wadh’i
1.      Sebab, dalam bahasa Indonesia berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Secara istilah, sebab didefinisikan sebagai sesuatu yang dijadikan syariat, sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.[8] Contohnya seperti masuknya bulan Ramadhan menjadi petanda datangnya kewajiban puasa Ramadhan. Masuknya bulan Ramadhan adalah suatu yang jelas dan dapat diukur, apakah bulan Ramadhan sebab, sedangkan datangnya kewajiban berpuasa Ramadhan disebut musabbab atau hukum atau disebut juga sebagai akibat.
2.      Syarat, menurut para ulama mendefinisikan ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengan adanya ada hukum. Dari definisi kedua dapat dipahami bahwa syarat merupakan penyempurna bagi suatu perintah syara’. Contohnya seperti hubungan perkawinan suami istri adalah menjadi syarat untuk menjatuhkan talak, tidak adanya perkawinan maka tidak ada talak. Wudhu adalah syarat sahnya shalat, tanpa wudhu maka tidak sah mendirikan shalat, tetapi tidak berarti adanya wudhu menertapkan adanya shalat. Dengan demikian, antara syarat dan yang disyarati itu merupakan bagian yang terpisah.[9]
3.      Mani’(penghalang), secara bahasa kata mani’ yaitu penghalang. Dalam istilah ushul fiqh mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan Syara’ sebagai penghalang bagi adanya hukum atau berfungsinya sebab (batalnya hukum). Contohnya seorang anak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya yang sudah meninggal. Tetapi kemudian si anak diputuskan tidak mendapat warisan dari peninggalan ayahnya karena ada penghalang (mani’). Penghalang itu bisa berupa karena si anak itu murtad atau kematiaan ayahnya ternyata karena dibunuh oleh anak itu sendiri.
4.      Rukhsah dan Azimah, Rukhsah ialah keringan hukum yang diberikan oleh Allah kepada mukallaf dalam kondisi-kondisi tertentu. Sedangkan Azimah ialah hukum yang berlaku secara umum yang telah disyariatkan oleh Allah sejak semula dimana tidak ada kekhususan karena suatu kondisi. Contoh seperti : shalat lima waktu yang diwajibkan kepada semua mukallaf dalam semua situasi dan kondisi, begitu juga kewajiban zakat, puasa. Semua kewajiban ini berlaku untuk semua mukallaf dan tidak ada hukum yang mendahului hukum wajib tersebut.
5.      Sah dan Batal, secara etimologi kata sah atau shihhah merupakan lawan saqam yang berarti sakit. Istilah sah dalam syara’ digunakan dalam ibadah dan akad maumalat. Yaitu suatu perbuatan dipandang sah apabila sejalan dengan kehendak Syara’, atau perbuatan mukallaf disebut sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan istilah batal, tidak tecapainya suatu perbuatan yang memberikan pengaruh secara syara’. Yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan mukallaf apabila tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan syara’, maka perbuatan disebut batal. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang tidak memenuhi rukun dan syaratnya, maka perbuatan itu menjadi batal.

C. Unsur-Unsur Hukum Syara’
1. Hukum
       Secara etimologi kata hukum yaitu berarti mencegah atau memutuskan.[10] Ahli ushul Fiqh mendefinisikan hukum yaitu “sebagai ketentuan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan melakukan atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan”.
            Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa :
a.       Khitab Allah yang berhubungan dengan selain perbuatan mukallaf, bukan hukum syara’ menuntut para ushul fiqh, seperti khitab Allah yang berkaitan dengan zat sifat-Nya.
b.      Dalam pandangan ahli ushul fiqh bahwa hukum adalah khitab Allah itu sendiri atau al-nushus al-syar’iyah. Sementara hukum dalam pandangan para ahli fiqh adalah apa yang dikandung oleh khitab Allah atau al-nushus tersebut.
            Istilah khitab Allah dalam definisi diatas adalah kalam Allah yang langsung terdapat dalam Al-Qur’an atau kalam Allah melalui perantaraan yang berasaldari Sunnah, ijma’, dan semua dalil-dalil syara’ yang dihubungkan kepada Allah untuk mengetahui hukum-Nya.

2. Al-Hakim
      Istilah hakim secara bahasa berarti orang yang memutuskan atau menetapkan hukum. Dalam kajian usul fiqh, istilah hakim diartikan sebagai pihak yang menentukan dan membuat hukum syariat secara hakiki. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa yang menjadi sumber pembuat hukum-hukum yang ditetapkan tersebut ada yang datangnya melalui Al-Qur’an dan Sunnah dan ada juga melalui perantaraan para ahli fiqh dan mujtahid. Dalam hal ini, para mujtahid dan ulama dipandang sebagai orang yang menjelaskan dan mengungkapkan hukum.
       Meskipun para ahli ushul fiqh sepakat bahwa yang membuat hukum adalah Allah, tetapi mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum itu hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu dan datangnya Rasulullah atau apakah akal dapat secara independen mengetahui hukum tersebut.
      Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat para ulama yang dilatar belakangi oleh perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik (al-husnu) dan buruk (al-qubhu) yaitu sebagai berikut :
1.      Kalangan Mu’tazilah, berpendapat bahwa menjadikan akal sebagai sumber hukum terhadap hal-hal yang tidak disebutkan dal Al-Qura’an.
2.      Kalangan Asy’ariyyah, berpendapat bahwa akal secara independen tidak dapat mengetahui hukum Allah tanpa perantaraan Rasul dan Wahyu.
3.      Kalangan Maturidiyyah, berpendapat bahwa akal mampu mengetahui baik dan buruk pada sebagian besar perbuatan karena ada sebagai besar perbuatan karena ada berbagai sifat yang melekat pada perbuatan tersebut, baik mengandung kemalahatan maupn yang mengandung kerusakan.



3. Mahkum Fih/Bih
     Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum. Mahkum fih atau perbuatan mukallaf adakalanya terdapat dalam hukum taklifi dan adakalanya terdapat dalam hukum wadh’i. Mahkam fih serring juga disebut dengan mahkam bih, karena perbuatan mukallaf tersebut selalu dihubungkan dengan perintah atau larangan.
      Ada beberapa syarat untuk sahnya suatu taklif (pembebasan hukum), yaitu :
1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Maka berdasyaratkan nas-nas ini Al-Qur’an  yang bersifat global (belum jelas), maka tidak wajib untuk mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul. Contohnya, tentang perintah haji dalam Al-Qur’an yang masih global. Maka tidak wajib mengamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan dari Rasul.
2.      Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang memiliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukallaf.
3.      Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Mengingat tujuan hukum adalah agar hukum itu dapat ditaati, oleh karena itu tidak ada beban yang diperintahkan oleh Al-Qur’an untuk dikerjakan atau ditinggalkan yang melewati batas kemampuan manusia. Berdasarkan syarat ini, maka tidak sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) mukallaf. Contohnya perintah untuk terbang seperti burung.

4. Mahkum Alaih
       Yang dimaksud dengan makum alaih adalah mukallaf yang layak mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berbungan dengan hukum syara’.
        Seseorang dapat dikatakan mukallaf jika telah memenuhi syarat-syarat berikut :
a.      Mukallaf dapat memahami dalil taklif, baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
b.      Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini adalah layak atau wajar untuk menerima perintah.


        Dalam hal ini, keadaan manusia harus dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban, yaitu dapat dikelompokkan menjadi 2 :
·         Tidak sempurna artinya dapat menerima hak tetapi tidak layak baginya kewajiban. Contohnya seperti janin yang ada di dalam perut seorang ibu. Baginya ada beberapa hak, ia berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tetapi tidak mampu melaksanakan kewajiban.
·         Secara sempurna artinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak melakukan kewajiban yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukallaf).

5. Ahliyyah
  Secara bahasa, kata ahliyyah berarti kemampuan atau kecakapan. Misalnya ungkapan yang menyatakan seseorang ahli untuk melakukan seatu pekerjaan.
Menurut para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyyah secara terminologi yaitu “Sifat yang dijadikan sebagai ukuran oleh syara’ yang terdapat pada diri seseorang untuk menentukannya telah cakap dikenai tuntutan syara’”. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa ahliyyah merupakan sifat yang mengindikasikan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya sehingga semua perbuatannya dapat dikenai taklif.
          Ahliyyah sendiri terbagi menjadi dua yaitu :
1.      Ahliyyah al-ada’, adalah kecakapan yang telah dimilliki seseorang seehingga setiap perkataan dan perbuatan telah diperhitungkan secara syara’. Orang yang telah memiliki sifat ini dipandang telah sempurna untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya diperhitungkan oleh hukum Islam, baik yang berbentuk positif maupun negatif. Seseorang dipandang sebagai ahliyyah al-ada’ atau memiliki kecakapan secara sempurna apabila telah baligh, berakal dan bebas dari semua yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan tidur, gila, lupa, terpaksa, dan lain-lain. Contohnya seperti : apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji, maka semua itu bisa diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban.

2.      Ahliyyah al-wujub, adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk menerima hak-hak dan sejumlah kewajiban.[11]
            Sifat kecakapan ini dimiliki seseorang sejak ia diperhitungkan ada dan hidupnya. Para ahli fiqh menyebutkan sebagai zimmah, yaitu suatu sifat yang ditetapkan syara’ yang menjadikan seseorang memiliki kewajiban dan hak-hak.

         Ahliyyah al-wujub dibagi menjadi dua yaitu :
·         Ahliyyah al-wujub al-naqisah, yaitu orang yang dianggap layak untuk mendapatkan hak tetapi tidak layak untuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya. Contoh yang pertama yaitu : janin yang berada dalam perut ibunya, janin ini berhak mendapatkan warisan
·         Ahliyyah al-wujub al-kamilah, yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada masa kanak-kanaknya, tamyiz, dan setelah baligh Ahliyyah al-wujub al-kamilah ini dapat diartikan sebagai sesuatu yang diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia secara menyeluruh.



















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Jadi, dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan dalam makalah ini adalah .
            Secara garis besar, hukum syara’ adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.
            Perbedaan perselisihan dikalangan dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya adallah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci.
            Hukum yang termasuk dalam hukum syara’ adalah sebagai berikut :
1.      Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan demikian hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
2.      Hukum wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.
Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah, batal, ataupun fasid.

B. Saran
            Semoga Makalah ini dapat menambah sedikit ilmu kita tentang apa-apa saja Hukum Syara’. Dan semoga kita dapat mengambil mamfaatnya.
            Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya kekeliruan dalam penyusunannya, baik dari segi materi, maupun penyusunannya, oleh karena itu penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses evaluasi pendidikan.



DAFTAR PUSAKA
Al-Zuhaili, Wahbah. 2001. Ushul al-Fiqh al-Islam. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Karim Zaidan, Abd. 1987. al-Wjiz Fi Ushul al-Fiqh, cet-2. Beirut: Muassasah al-Risalah.
Efendi, Satria, dkk. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. Jakarta: 1985.
Wahab Khalaf, Abdul. Tt. Ilmu Ushul Fiqh. Mesir: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.


[1] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 36.
[2] Muin Umar, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: 1985), hlm.20.
[3] Satria Efendi dkk, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 38-39.
[4] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), cet.Ke-2, hlm. 42.
[5] Saipiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), hlm. 124-126
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul fiqh, (Mesir : Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah , tt), hlm. 105-115
[7] Wahbah, al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar ak-Fikr, 2001), Cet. Ke-2, hlm. 93.
[8] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 55.
[9] Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 124-126.
[10] Wahbah al-Zulhaili, Ushul al-Fiqh al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Cet.Ke-2, hlm. 37.
[11] Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987), Cet. Ke-2, hlm. 112-126