Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Berpuasa Arafah


BELAJAR.NET - Pertanyaan : Apabila berbeda penentuan Hari Arafah, sebagai konsekuensi perbedaan mathla' hilal di masing-masing negeri. Apakah kita berpuasa mengikuti ru'yah negeri yang kita tinggal padanya, ataukah mengikuti ru'yah Haramain (Saudi Arabia)

asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah menjawab, Permasalahan ini sangat terkait dengan perbedaan pendapat di kalangan ulama : - Apakah hilal itu satu, berlaku untuk seluruh dunia? - ataukah berbeda-beda sesuai perbedaan mathla' PENDAPAT YANG BENAR hilal itu berbeda-beda sesuai perbedaan mathla' (yakni masing-masing negara berdasarkan ru'yah masing-masing, pen). Misalnya, apabila hilal telah telihat di Makkah, dan hari itu (berdasarkan ru'yah tersebut, pen) adalah hari ke-9; sementara di negeri lain hilal terlihat sehari sebelum Makkah, sehingga hari Arafah adalah hari ke-10 negeri tersebut. Maka mereka (penduduk negeri itu) TIDAK BOLEH BERPUASA pada hari tersebut, karena itu adalah Hari Raya (bagi penduduk negeri tersebut, pen). Demikian pula kalau seandainya di sebuah negeri ru'yah-nya terlambat daripada Makkah. Sehingga tanggal 9 Makkah adalah masih tanggal 8 di negeri itu. Maka mereka berpuasa TANGGAL 9 MEREKA, yang BERTEPATAN DENGAN TANGGAL 10 DI MAKKAH. INI ADALAH PENDAPAT YANG KUAT. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Kemudian apabila kalian melihat hilal (berikutnya) berhari rayalah." Hilal yang tidak terlihat di negeri mereka, berarti mereka tidak dikatakan "melihat hilal". Sebagaimana manusia secara ijma memperhitungkan perbedaan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari di tiap-tiap tempat. Demikianlah waktu bulanan, seperti waktu harian.

KAMU & HARTAMU MILIK ORANG TUAMU




BELAJAR.NET - Dengan Membaca tulisan ini saya berharap kita Semua Sadar Akan Pengorbanan Orang Tua dalam Membesarkan Kita, dan Kita Berbakti Kpeada Mereka. Seorang pemuda suatu hari bertanya kepada seorang ulama: Pemuda : Wahai syaikh ibuku tinggal menumpang bersamaku di rumahku. Dan terjadi masalah antara beliau dengan istriku ... Syaikh : Ulangi pertanyaanmu Pemuda : Ibuku tinggal menumpang bersamaku di rumahku... Syaikh : Ulangi pertanyaanmu Pemuda : Ibuku tinggal menumpang bersamaku di rumahku ... Syaikh : Ulangi lagi pertanyaanmu Pemuda : Ibuku tinggal menumpang bersamaku ... Syaikh : Ulangi lagi pertanyaanmu Pemuda : Wahai syaikh tolong biarkan aku menyelesaikan dulu pertanyaanku jangan anda potong ... Syaikh : Pertanyaanmu salah, yang benar engkaulah yang hidup menumpang pada ibumu, meski rumah itu milikmu, atas namamu Pemuda : Iya syaikh, kalau demikian selesai sudah permasalahannya... Pelajaran yang dapat diambil: Jangan durhaka wahai anak, jangan durhaka wahai menantu ! Kamu dengan seluruh hartamu adalah milik ibumu. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakek ayahnya yaitu Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash, ada seorang yang menemui Nabi lalu mengatakan, “Sesungguhnya ayahku itu mengambil semua hartaku.” Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau dan semua hartamu adalah milik ayahmu.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk jerih payah kalian yang paling berharga. Makanlah sebagian harta mereka.” (HR. Ibnu Majah, no. 2292, dinilai sahih oleh Al-Albani). Semoga ini mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga orang tua kita .... "Ya ALLAH ampunilah dosa2ku dan dosa kedua orang tuaku dan curahkanlah Rahmat-Mu untuk keduanya sebgaimana mereka berdua telah mendidik aku ketika aku masih kecil" Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud hlm. 351)