Dasar
Hukum Qardh
Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadist, dan ijma’.
1. Dalil
Al-Qur’an adalah firman Allah QS. Al-Hadid/57:11 ;
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta
di jalan Allah),maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak”.
2. Dalil
Hadist adalah riwayat Ibnu Majah yang bersumber dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Nabi
SAW, Beliau bersabda: “Tidaklah seorang
muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan
pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali”. (HR. Ibnu Majah)
3. Dalil
ijma’ adalah bahwa semua kaum
muslimin telah sepakat dibolehkannya utang-piutang.
b.
Rukun dan Syarat
Transaksi Qardh
Rukun qaradh ada tiga, yaitu :
1. Shighat,
maksud shighat disini adalah ijab dan
kabul.
2. ‘Aqadain,
yaitu (dua orang yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan pengutang. Adapun syarat-syarat bagi
pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan baik dan buruk)
3. Harta
yang Diutangkan.
Sedangkan syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah :
1. Orang
yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2. Qardh
harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/ dikonsumsi
3. Ijab
qabul harus dilakukan dengan jelas.
c. Hikmah
dan Manfaat Disyariatkan Qardh
Hikmah disyariatkannya qardh yaitu sebagai berikut :
1. Melaksanakan
kehendak Allah agar kaum muslimin saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
2. Menguatkan
ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang
membutuhkan, yang mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah
dilanda kesulitan.[1]
1.
Penjelasan
Tentang Riba’
a.
Definisi Riba’
Riba
secara bahasa berarti pertambahan, pertumbuhan,
kenaikan, dan ketinggian. Disebutkan: riba-yarbu-ribaan,
artinya; bertambah dan berkembang
Allah SWT berfirman:
!#sÎ*sù $uZø9tRr& $ygøn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨tI÷d$# ôMt/uur ÇÎÈ
“...Kemudian apabila Telah kami turunkan
air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah”... (QS. Al-Hajj (22): 5)
Artinya
bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari
sesuatu yang dihutangkan. Berkembang berarti, berbunga karena salah satu
perbuatan riba adalah membungakan harta uang yang dipinjamkan kepada orang
lain. Dan juga, naik dan tinggi. Allah SWT juga berfirman;
K öbr& cqä3s? îp¨Bé& }Ïd 4n1ör& ô`ÏB >p¨Bé& 4 ÇÒËÈ
“...Disebabkan
adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang
lain...[838]. [2]
Artinya
lebih banyak jumlah dan hartanya.
Sedangkan menurut terminologi syara’, riba berarti; “Akad untuk satu ganti khusus tanpa
diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama
dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya”. Misalnya, Si A memberi pinjaman
kepada Si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan
sekian persen tambahannya.
Sementara arti riba menurut syar’i, para ahli fiqih berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, meskipun artinya mirip. Sebagian Ahli Fiqih menyebutkan:“Riba adalah
sistem pertukaran yang nilai kesamaan yang ditukar tidak diketahui dalam
timbangan syariat ketika terjadi transaksi dengan menangguhkan salah satu yang
ditukar atau keduanya. Dengan
definisi itu, tercangkup didalamnya riba fadhal
dan riba nasii-ah.”[3]
b.
Macam-Macam Riba
Menurut para ulama,
riba ada empat macam :
1.
Riba Fadli, yaitu riba
dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama
ukuran jumlahnya. Misalnya, satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing
yang tidak/berbeda besarnya. Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang
karena dapat membawa kepada riba’ Nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata.
2.
Riba’ Qardhi, yaitu
riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam atau
yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar Rp 1.000.000,- (satu
juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu
rupiah). Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi
riba, seperti sabda Rasulullah SAW ; “Semua piutang yang menarik keuntungan
termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
3.
Riba Nasi’ah, ialah
tambahan yang diisyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang
sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya Si A
meminjam uang Rp 1.000.000 kepada si B
dengan perjanjian waktu mengembalikan satu bulan, setelah jatuh tempo si A
belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi
tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya.
4.
Riba Yad, yaitu riba
dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual
dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setalah dibayar,
sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah
cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya.[4]
c.
Diharamkan
Riba’
Riba’
mempunyai fenomena tersendiri dalam islam, diharamkan oleh Al-Qur’an secara
nyata dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadistnya dan dipahami para
ulama dengan berbagai macam pandangan. Bahkan riba’ bukan saja dilarang dalam ajaran islam melainkan semua agama
samawi mengharamkannya. Disamping itu, dalam sejarah legislasi pelarangan riba dalam Islam dilakukan secara
bertahap sesuai dengan turunnya ayat Al-Qur’an tentang riba’ secara berangsur-angsur.
Riba’ telah
dipraktekan sejak masa Jahiliyah atau sebelum kedatangan Islam oleh masyarakat
Mekkah. Setelah kehadiran Islam riba secara
bertahap dihapuskan dari praktek masyarakat. Dari segi turunnya ayat al-Qur’an
tentang riba, maka hanya satu ayat
yang turun di Mekkah dan tiga ayat turun di Madinah. Bila dikaitkan dengan
karakteristik ayat-ayat yang turun di Mekkah yang lebih menekankan aspek
aqidah, maka ayat yang turun di Madinah merupakan ayat-ayat yang mengatur
hubungan kemasyarakatan secara lebih luas. Riba
telah menjadi tradisi dalam masyarakat Arab karena itu melakukan pelarangan
terhadap praktek riba harus dilakukan
secara perlahan-lahan.
Kaitan
riba dengan akad adalah karena dalam
pelaksanaan akad eksis kezaliman yang dilakukan secara sepihak. Tindakan ini
dapat terlihat dalam sejarah riba sebagai
yang dipahami oleh ulama tafsir tatkala
menafsirkan ayat-ayat riba. Pengharaman
riba sangat berkaitan erat dengan tindakan
pihak yang meminjamkan uang melakukan kezaliman dengan menetapkan kewajiban
pihak berutang secara sepihak, akibatnya pihak yang meminjam akan merasa sangat
dirugikan.
Riba
hanyalah berlaku pada benda-benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena
itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali
jika harganya sebanding dan dilakukan kontan. Tidak diperbolehkan menjual
sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A
membeli barang terbut kepada B ). Tidak diperbolehkan pula menjual daging
dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan
ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding.[5]
d. Sebab-sebab
Diharamkannya Riba
Allah SWT melarang riba
antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri
sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain.
1. Merusak
dan Membahayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan
riba akan selalu menghitung-hitung banyaknya yang ia akan peroleh dari orang
yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan-angan yang demikian itu akan
mengakibatkan dirinya selalu was-was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu
tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang
yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu
tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat
berkah dari Allah SWT.
2. Merugikan
dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam
uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak, karena
tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap
bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang
meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat waktunya, tetapi
adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan.
Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang
tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
3. Ia
dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan kelompok tertentu.
4. Riba
akan menimbulkan adanya mental pemboros yang malas bekerja. Dapat pula
menimbulkan kebiasaan menimbun harta tanpa kerja keras, sehingga seperti pohon
benalu yang hanya bisa memanfaatkan tumbuhan lain (parasit).
5. Riba
merupakan cara menjajah. Karena itu orang berkata, “penjajahan berjalan
dibelakang pedagang dan pendeta. Dan kita telah mengenal riba dengan segala
dampak negatifnya didalam menjajah negara kita.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dapat
kami simpulkan bahwa dalam ilmu Fiqh mengajarkan pada manusia khususnya umat
Islam bagaimana menerapkan kehidupan yang diajarkan oleh Allah khususnya masalah
Muamalah. Dimana pengertian Muamalah Dari segi
bahasa, “muamalah” berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat, yang berarti
perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Sedangkan Muamalah
dari segi istilah adalah muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan
dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual-beli, perdagangan, dan
lain sebagainya.
Dimana jual beli dapat kita artikan Akad
saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu benda
atau manfaat untuk waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah.
“Dengan kata “saling mengganti”, maka tidak termasuk didalamnya hibah,dan yang
lain yang tidak ada saling ganti. Dan juga kita telah mempelajari bagaimana
rukun serta hikmah adanya jual-beli. Selanjutnya adanya hutang piutang yang
dapat didefinisikan “memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya
dan mengembalikan gantinya di kemudian hari”, rukun dan hikmahnya memberikan
pinjaman kepeda orang lain dengan dalih membantunya yang mana sudah diajarkan
bagaimana tatanan atau proses melakukan hutang piutang tersebut sesuai syariat
tentunya.
Dan
kemudian pemasalahan tentang riba yang mana banyak orang yang terjerumus
melakukannya. Arti dari riba itu sendiri adalah sistem pertukaran
yang nilai kesamaan yang ditukar tidak diketahui dalam timbangan syariat ketika
terjadi transaksi dengan menangguhkan salah satu yang ditukar atau keduanya. Dengan definisi itu, tercangkup
didalamnya riba fadhal dan riba nasii-ah.”
B. SARAN DAN KRITIKAN
Dalam
makalah ini telah kami jelaskan tentang Pokok-pokok Muamalat, kami menyadari
bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan perlu perbaikan
terutama dari bapak pembimbing/dosen dalam mata kuliah Fiqh/ Usul Fiqh untuk
memberikan arahan dan bimbingan sehingga permasalahan yang dibahas dalam
makalah ini bisa tercapai dan dapat dipahami, serta kepada kawan-kawan juga
kami mohon saran dan kritikan yang membangun kami agar dapat menghasilkan karya
yang lebih baik lagi di masa yang akan datang, dan menjadi bahan evaluasi bagi
kelompok penyusun makalah ini.
[2] [838] kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit
itu Telah mengadakan perjanjian yang Kuat dengan nabi di waktu mereka melihat
orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah
keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian dengan nabi Muhammad s.a.w. itu.
Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2010), hal. 215.
0 comments:
Post a Comment