PENGERTIAN SYARIAH, FIQH DAN USHUL FIQH

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SYARIAH, FIQH DAN USHUL FIQH

1.      Syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui perantaraan rasul agar hambanya beriman dan bertaqwa

2.      Fiqh adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum islam dan cara pelaksanaannya

3.      ushul fiqh berasal dari dua kata yaitu ushul dan fiqh, ushul adalah jamak dari kata aslh yang artinya kuat,pokok sumber,atau dalil tempat berdirinya sesuatu, adapun fiqh yaitu memahami,mengertisedangkan menurut istilah  adalah hukum dalam islam yang didalamnya mempelajari tentang kaedah-kaedah, teori dan sumbernya

menurut pendapat para ahli sebagai berikut :


-          menurut syaikh ‘atha abu ar-rasytah  ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang diatasnya dibangun ilmu tentang hukum syar’I yang bersifat aplikatif digali dari dalil-dali terperinci.

-          Menurut dr.wahba az-zuhaili hafizhullah adalah kaidah-kaidah yang dengannya seorang mujtahid bias mencapai itinbath terhadap hukum syar’I dan dalil terperinci.

-          Menurut syaikh taqiyuddin an-nabani rahimatullah adalah kaidah-kaidah yang dengannya bisa dicapai istinbath terhadap hukum –hukum syar’I dari dalil terperinci.

B.     PENGERTIAN IJTIHAD

 Ijtiihad berasal dari kata ijtahada yang memiliki arti bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.karenanya ijtihad memiliki arti berupaya dengan mencurahkan segala kemampuan dan bersungguh-sungguh. Sedangkan ulama ushul mengartikan sebagai perbuatan-perbuatan istinbat hukum syariah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syaria. Sedangkan al ghazali medefinisikan ijtihad sebagai usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang dalam rangka mengetahui hukum syariah dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Ijtihad adalah sebuah usaha sunguug-sungguh yang sebenarnya bisa  di laksanakan siapa saja yang sudah mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara. (menurut ikram)

Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para oleh para ulama ushul dalam mencurahkan segala piikiran dan kemampuannya dalam menetapkan suatu hukum.apabila hukum tersebut tidak ada dalam al-qur’an.dan hadist.(menurut saifin)

Menuru pendapat para ahli sebagai berikut :

-    Menurut al-midi ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni.

-          Menurut al-ghazali ijtihad adalah upaya maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum syara’.

-          Menurut yusuf qardlawi adalah mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan .

           

 Mujtahid didefinisikan sebagi seorang ahli fiqih yang menhabiskan tenaga fikirannya untuk memperoleh persangkaan yang kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath dari al-qur’an atau dan sunnah atau dari sesuatu dalil yang dibenarkan oleh syara’.[1]

1.     Dasar Hukum Ijtihad

Posisi ijtihad memiliki dasar yang kuat dalam ajaran hukum islam. Dalam al-qur’an terdapat ayat-ayat yang menunjukkan perintah untuk berijtihad.baik diungkapkan secara isyarat maupun jelas.

a.       Surat an-nisa/4ayat 59

Artinya: hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amrin diantara kamu, kemuduan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.

Pada ayat diatas terdapat perintah untuk mengembalikan sesuatu yang diperselisihkan kepada al-qur’an dan sunnah. Hal ini menunjukkan perintah berijtihad dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi menjadikan al-qur’an dan sunnah sebagai sumbernya. Dalam hadis nabi antara lain:

a.       Penghargaan terhadap hasil ijttihad

Artinya:’’ apabila seorang hakim memutuskan perkara ia berijtihad lalu hasil ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka ia mendapatkan satu pahala.’’

 

b.      Hadis yang menceritakan tentang pengangkatan muadz bin jabal sebagai hakim.

Artinya: ketika nabi mengutus muadz bin jabal sebagai hakim di negeri yaman. Nabi bertanya kepada Muadz, dengan apa kamu akan menghukum? Dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Nabi bertanya, jika tidak kamu dapatkan dalam kitab Allah? Aku akan berhukum dengan sunnah Nabi? Jika tidak kamu dapatkan, aku akan berijtihad dengan pendapatku. Segal puji bagi Allah telah memberikan taufik atas utusan rasulnya.”(HR.Turmudzi).

Dua hadis diatas dapat dasar hukum ijtihad sebagai salah satu sumber hukum setelah al-qur’an dan sunnah.

Di zaman Nabi orang tidak butuh ijtihad. Karena karena permasalahan baru yang belum ada hukumnya dapat ditanyakan langsung kepada Nabi dan Nabi langsung menjawabnya berdasarkan petunjuk wahyu yang terjamin kebenarannya, setelah Nabi wafat barula ijtihad diperlukan oleh ulama mujtahid untuk hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegan pada prinsip-prinsip al-Qur’an dan sunnah,jika tidak usaha yang sungguh-sungguh dari orang yang pantas berijtihad, maka akan terjadi kekosongan hukum. hal ini tidak sejalan dengan tujuan hukum, Oleh karena itu ijtihad untuk sekarang merupakan hal yang dharury(mendesak) untuk dilakukan karena begitu banyak permasalahan baru yang sifatnya kompleks dan rumit yang memerlukan jawaban dari hukum islam.[2]

 

2.     Syarat-Syarat Mujtahid

a.      Mengetahui ayat ahkam yang terdapat dalam al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah syara’. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak dituntut hafal seluruh ayat ahkam tersebutnamun paling tudak harus tahu tempat ayat tersebut, sehingga dapat mencarinya dengan cepat saat perlu.

b.      Mengetahui hadist ahkam secara bahasa maupun istilah. Tidak perlu di hafal sebagaimana juga al-Qur’an, menurut riwayat ahmad bin hambal 1.200 hadis, tetapi wahbah zuhailitidak sependapat, menurutnya yang terpenting mujtahid mengerti seluruh hadis hukumyang terdapat dalam kitab-kitab besar seperti sahih bukhari, sahihi muslim dll.

c.       Mengetahui al-Qur;an dan hadis yang telah di nasakh, tujuan agar mujtahid  tidak mengambil kesimpulan dari nask yang tidak berlaku lagi

d.      Mengetahui sesuatu hukum yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma, sehingga ia tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma.

e.      Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengannya yang meliputi rukun, syarat,illat dan keseluruhannya, pentingnya mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.

f.        Mengetahi bahasa Arab tentang nahwu,saraf,maani bayan dan uslubnyarkarena al-Qur’an berbahasa arab

g.      Mengetahui ilmu ushul fiqh karena ushul fiqh tiang ijtihad berupa dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melaui cara tertentu.[3]

 

3.     Tingkatan Mujtahid

a.      Mujtahid mustaqil adalah  seorang yang mandiri dalam melakukan kajian ijtihadnya    dia berijtihad dengan menggunakan kaidah sendir,dan dia pun merumuskan dasar-dasar pemikiran yang menjadi asa dalam perumusan kaidahnya itu. Mereka ini para mujtahid salaf yang melahirkan mazhab –mazhab fiqh

b.      Mujtahid muntasib adalah mereka yang mengambil atau memilih pendapat imam-imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dalam cabang furu’, meskipun secara umum menghasilkan kesimpulan yang hampir sama dengan yang diperoleh  imamnya.

c.       Mmujtahid takhrij adalah mereka yang sangat terikat dengan kaidah –kaidah imamnya, sertamenyelesaikan berbagai furu’ dengan kaidah imanya itu, mereka tidak melakukan kritik terhadap fatwa imamnya, dan tidak melahirkan kaidah –kaidah baru dalam berfatwa diantara mujtahid tingkat ini adalah hasan bin zayaddan al-kurakhi dari kalangan hanafia.

d.      Mujtahid tarjih adalah mereka yang tidak memenuhi kriteria kelompok 1,2,3, tapi dia menguasai ilmu fiqh dengan baik. Menguasai mazhab imamnya dan memahami Dalil-dalil yang menjadi dasar fiqh.

e.      Mujtahid fatwa adalah mereka yang cukup menguasai fatwa fiqh imam mazhabnya, tetapi kurang menguasai kaidah ushulnya itusehingga tidak mempunyai kecakapan  dalam mengaplikasikan kaidah tersebut pada berbagai furu’ dan juga kurang punya kecakapan dalam melakukan kajian analogis untuk menetapkan hukum islam . oleh sebabb itumereka hanya berfatwa dengan pemikiran-pemikiran fiqh hasil karya imam mazhabnya atau tokoh-tokoh disekitarnya.[4]

 

4.     Metode Ijtihad

        Untuk melakukan ijtihad ,menurut azhar basyri ada beberapa cara yang di tempuh oleh seorang mujtahid cara-cara itu adalah

a.       Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuai dengan hukum lain yang sudah ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab

b.      Maslahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nashnya dengan pertimbangan untukkepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada asas yang menarik manfaat dan menghidari mudharat

c.       Istihsan, ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum

d.      Istishab

e.       Urf.[5] 

C.     TAKLID

1.      Pengertian Taklid

Kata taklid berasal dari fi’il madhi(kata dasar) qalada dan taklidu yang secara lughawi yang mengalungkan’’ atau ‘’menjadikan kalung’’ . kalau dikatakan berarti  masyarakat awam mesir yang mengikuti pendapat imam al-syafi’i, hal demikian mengandung arti menjadikan pendapat imam syafi’I sebagai kalung.

Kata taklid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah, sedangkan qaladah itu sehdiri berarti kalung. Menurut asalnya qaladah (kalung) itu digunaanuntuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan itu sepenuhnya mengikuti kemana saja ditari korang. Kalau yang dijadikan ‘’kalung ‘’ itu ‘’pendapat’’ atau ‘’perkataan”seseorang ,maka berarti orang yang dikalungi itu mengikuti “pendapat” orang itu tanpa memoertanyakan lagi kanapa pendapat orang tersebut demikian.

Dari uraian diatas. Maka jelas bahwa secara lughawi bila dikatakan  “si A bertaklid kepada si B’’, berarti si A mengikuti pendapat si B dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu. Dari taqklid menurut pengertian lughawi berkembang menjadi istilah hukumyang hakikatnya tidak berjahuan darimaksud lughawi itu. Diantara definisinya, ialah:

a.       Al-ghazali memberi definisi: menerima ucapan tanpa hujjah

b.      Al-asnawi dalam kitab nnihayat al-ushul mengemukakan definisi: mengambil perkataan orang lain tanpa dalil

c.       Ibnu subki dalam kitab jam’ul jawami’ merumuskan definisi: mengambil perkataan orang lain tanpa mengetahui dalilnya.[6]

Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber ataupun dalil yang jelas (menurur ikram).

Taklid adalah mengikuti keyakinan atau pendapat orang lain tanpa mengetahui alas an dan sumberny (menurut saifin).

 

2.      Hukum Bertaqlid

        Hukum bertaklid dibedakan menjadi dua macam, yakni taklid yang haram dan taklid yang diperbolehkan.

a.        Taklid yang haram meliputi:

-          Taklid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.

-          Taklid kepada orang atau sesuatu yang belum diketahui kemampuan dan keahliannya sehingga dapat dipegangi pendapatnya.

-          Taklid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaklid mengetahui perkataan dan pendapat itu salah.

 

b.      Taklid yang diperbolehkan

Adapun taklid yang diperbolehkan adalah bertaklid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam yang belum ia ketahui tentang hukum Allah dan rasulnya yang behubungan dengan persoalan atau peristiwa dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu.jadi sifatnya sementara.

 

c.       Taklid yang diwajibkan

Wajib bertaklid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasul SAW.[7]

 

3.      Ketentuan Bertaklid

Ibn al-human menunjukkan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaklid kepada seseorang yang ahli  ilmu yang diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (pengertian ‘adalah atu adil disini mengandung maksud khusus, yaitu ‘adil dalam dalam pengertian periwayatan hadis, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seseorang yang memiliki sifat sebagai berikut: (1) tidak pernah melakukan dosa besar, (2) tidak sering melakukan dosa kecil, (3) selalu menjaga harga diri).

Pengetahuan akan kemampuan seseorang untuk berijtihad, memiliki sifat adil tersebut diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita tentang dirinya atau diketahui melalui kedudukannya dan orang-orang yang sering minta fatwa minta fatwa kepadanya serta menghormati kedudukannya.

Menurut kalangan ulama syafi’I bahw pendapat yang paling tepat adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada orang-orang , untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut lahirnya tanpa harus memeriksa.

Bila dua syarat tersebut (berilmu dan adil) tidak terdapat pad seseorang maka tidak boleh bertaklid, para ulam sepakat bahwa diduga kuat ia tidak memiliki satu diantara keduany, maka orang awam tidak boleh bertanya atau bertaklid kepadanya, Apabila dalam satu wilaya terdapat beberapa orang mujtahid dan berbeda tingkat keilmuannya, maka harus diikuti pendapatnya oleh orang awam.[8]

 

D.    ITTIBA’

1.      Pengertian Ittiba’

Menurut bahas ittiba’ berasal dari bahas arab dri kata ittaba’ yang berarti mengikuti. Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kat aini menyisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meladaninya, dan mencontoh.

Sedangkan menurutu istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik ulama atau lainnya dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh para ulama tersebut. Menurut ulam ushul, ittiba’ adalah mengikuti atau menuruti semua yang di perintahkan yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah. Dengan kata lain melaksanakan ajaran agama islam.

Ittiba’ adalah mengikuti semua yang diperintahkan oleh Allah swt dan menjahui semua larangannya.(menurut ikram)

ittiba’ adalah mengikuti atau menerima pendapat para ulama dengan mengetahui alaannya.(menurut saifin)

 

2.      Macam-Macam Ittiba’

a.       Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya

b.      Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul

Ulama berpendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam ahmad bin hambal menyatakan bahwa ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, rasul, dan para sahabat tidak boleh kepada yang lain, pendapat yang lain membolehkan kepada ulama yaitu ulama yangwaratsatul anbiyaa(ulama pewaris nabi).

 

1.      Tujuan ittiba’

Dengan adanya ittiba’ diharapkan agar kita kaum muslim, sekalipun orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama dengan penuh keyakinan tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu amal atau ibadah kalu dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keiklasan dan kekhususan yang merupakan syarat sahnya ibadah atau amal yang dikerjakan.[9]

E.     FATWA

1.      Pengertian fatwa

Fatwa berasal dari bahasa arab yang artinya petuah,nasihat,jawaban atau pendapat.adapun mengenai istilah  adalah  mengenai pendapat atu tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Fatwa dalam bahasa arab adalah nasihat,petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil dari suatu lembaga yang disampaikan oleh seorang mufti atu ulama sebaga tanggapan atau pertanyaaab yang diajukan oleh peminta fatwa(mustafti).[10]

Fatwa adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi yang diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya.(menurut ikram

Fatwa adalah keputusan hukum atau mengeluarkan hukum tentang suatu perkara yang dinyatakan oleh seoramg mujtahid.(menurut saifin).

Menurut pendapat para ahli sebagai berikut :

-          Menurut  syarifuddin fatwa adalah usah memberi penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang lain yang belum mengetahuinya.

-          Menurut ibnu qayyum fatwa adalaha pernyataan yang diampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan

-          Menurut ahmad hasan fatwa adalah jawaban pertanyaan atau ketetapan hukum, tentang suatu masalah atau peristiwa yang dinyatakan oleh seorang mujtahid.   

2.      Mufti

Mufti adalah orang yang memberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat bila ia memberi fatwa yang benar dan akan sesat bila ia salah dalam berfatwa, dengan demikian ia harus memiliki syarat-syarat tertentu

Adapun syarat-syarat seorang mufti dikelompokkan pada empat kelompok sebagai berikut:

a.       Syarat umum: ia harus seorang mukallaf yaitu muslim,dewasa,dan sempurna akalnya

b.      Syarat keilmuan: yaitu ia ahli dan mempunyai kemampuan berjihad. Untik itu ia harus memenuhi syarat sebagaimana yang berlaku pada mujtahid antar lain ia mengetahui secara baik dalil-dalil sam’I dan dalil-dalil aqli.

c.       Syarat kepribadian: yaitu adil dan dapat dipercaya, dua pesyaratan ini dituntut oleh seorang mufti karena ia langsung menjadai ikutan bagi umat beragama, dua syarat ini bahkan tidak dituntut bagi mujtahid karena tugasnya hanya meneliti dan mengali.

d.      Syarat pelengkap dalam kedudukannya yang diuraikan oleh al-midi antara lain:ia bermaksud mendidik dan mengetahui hukum syarat’. Al-asnawi secara umum mengemukakan syarat mufti yaitu sepenuhnya syarat’syaratnya berlaku pada seorang perawi hadis karena dalam tugasnya menberi penjelasn sama dengan tugas seorang perawi.

3.      Hukum befatwa

Berfatwa atau menyampaikan fatwa menduduki amar ma’ruf nahi mungkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang harus dikerjakan dan yang harus dijauhinoleh umat. Oleh karena itu hukum berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mufti yang ditanya suatu masalah hukum yang terjadi dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas mufti tersebut adalah fardhu ain. Namun bila ada mujtahid lain yang kualitasnya sama atau lebih baik (menurut pandangan ulama mengharuskan mencari yang lebih afdhal) atau masalah yang ditanyakan bukan sesuatu yamg mendesak yang harus segera dipecahkan, maka hukum berfatawa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifayah.[11]

PENUTUP 

A.    KESIMPULAN

Ijtiihad berasal dari kata ijtahada yang memiliki arti bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.karenanya ijtihad memiliki arti berupaya dengan mencurahkan segala kemampuan dan bersungguh-sungguh. Sedangkan ulama ushul mengartikan sebagai perbuatan-perbuatan istinbat hukum syariah dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam syaria. Sedangkan al ghazali medefinisikan ijtihad sebagai usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang dalam rangka mengetahui hukum syariah dan orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Kata taklid berasal dari fi’il madhi(kata dasar) qalada dan taklidu yang secara lughawi yang mengalungkan’’ atau ‘’menjadikan kalung’’ . kalau dikatakan berarti  masyarakat awam mesir yang mengikuti pendapat imam al-syafi’i, hal demikian mengandung arti menjadikan pendapat imam syafi’I sebagai kalung.

Menurut bahas ittiba’ berasal dari bahas arab dri kata ittaba’ yang berarti mengikuti. Dikatakan mengikuti sesuatu jika berjalan mengikuti jejaknya dan mengiringinya. Dan kat aini menyisar pada makna menyusul, mencari, mengikuti, meladaninya, dan mencontoh.

Fatwa  adalah sebuah istilah mengenai pendapat atu tafsiran pad suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Fatwa dalam bahasa arab adalah nasihat,petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil dari suatu lembaga yang disampaikan oleh seorang mufti atu ulama sebaga tanggapan atau pertanyaaab yang diajukan oleh peminta fatwa(mustafti).

 

B.     SARAN

Mungkin dari makalah kami terdapat kesalahan kami mohon kepada dosen dan kawan-kawan mahasiswa untuk mengkritik dan memberikan saran kepada kelompok kami, agar terciptanya makalah yang sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta: Total Media,2001.

Amir Syarif.Usul Fiqh.  Jakarta : Kencana,2001.

Amir Syarif.Usul Fiqh.  Jakarta : Kencana,2001.

Abdul Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta: Total Media,2001.

Abdul Ghofur Al-ansori. Hukum Islam. yogyakarta: Total Media,2001.

Amir Syarif.Usul Fiqh.  Jakarta : Kencana,2001.

Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Raja Gfrindo Persada,1999

http:// ahmadafuadhasan. Blogspot. Co.id/2011/06/ijtihad-talfiq-dan-ittiba’ 23.html?m=1

http://id.m.wikypedia.org/wiki/fatwa

Ibrahim Husen. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung

Sapiuddin Shiddiq. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana,2011.



[1] Abdul Ghoffur Ansyori. Hukum Islam, (Yogyakarta:Kreasi Total Media, 2008), hal. 153.

[2] Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),hal. 115-116.

[3] Sapiudin Shiddiq. Ushul FiqH. (Jakarta: Kencana, 2011 ),hal. 257-258.

[4] Abdul Ghofur Al-ansori. Huku Islam.(Yogyakarta:Total Media, 2008 ), hal.117-118.

[5] Ibrahim Husen. Ijtihad dalam Sorotan. (Bandung:Mizan 1996 ),hal.  123.

[6] Amir syarif, ushul fiqh, (Jakarta : kencana, 2001),hlm 433-434

[7] Abdul ghofur al-ansori , hukum islam ,(yogyakarta : total media, 2008 ),hlm 157-158

[8] Amir Syarif. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2001),hal.145-146.

[10] http://id.m.wikypedia.org/wiki/fatwa diakses tanggal 20 april 2017.

[11]Sapiuddin Shiddiq. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2001), hal. 457-461.

1 comment: