Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Showing posts with label fiqh. Show all posts
Showing posts with label fiqh. Show all posts

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II PART II

Imam Al-Ghazali mengungkapkan ijtihad merupakan upaya maksimal seorng mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hanafi juga berpendapat bahwa pengertian adalah mencurahkan tenaga untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Untuk menjadi seorang mujtahid, harus mencukupi  beberapa syarat yang kemudian menjadi hukum sah nya melakukan ijtihad. Yang kemudian syarat-syarat ini telah ditetapkan oleh para ulama ahli ushul adalah sebagai berikut:
a. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya seperti ilmu nahwu, sharaf, dan lain sbagainya, sehingga ia mengerti benar-benar  akan susunan kata ayat-ayat  Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.

b. Mengerti tentang nash-nash Al-Qur’an, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat mujmal, yag muhkam, yang khas dan lain sebagainya, hingga mengerti akan sebab-sebab diturunkan, dimana ayat diturunkan, dan demikianlah seterusnya  hingga hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
c. Mengerti tentang hadist-hadist dan bagian-bagiannya, seperti hadist mutawatir, ahad, shahih, dan lai sebagainya dengan tidak mesti menghafal hadist-hadistnya, asal sudah dapat membedakan mana yang shahih dan dan mana yang tidak, dan lain sebagainya. 
d. Mengerti tentang ushul fiqh. Ilmu ushul inlah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang mujtahid dapat berinstinbat dari Al-Qur’an dan Hadist untuk menetapkan sesuatu hukum syar’i. 

C. Taqlid 
Kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidah yang artinya mengukangi, meniru, dan mengikuti. Taqlid secara istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. 
Adapun pengertian Taqlid menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Al-Ghazali “Menerima suatu perkataan dengan tidak ada huddjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusam ushul maupun dalam urusan furu’.
b. Ibnu Subki  “Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Taqlid adalah mengakui kebenaran pendapat seseorang yang dipercayainya tanpa tahu sumber atau atas dalil apa pendapata yang dibenarinya tersebut.
Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad Al-Maliki berkata “Taqlid itu artinya pada syara’ ialah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya”. Imam Al-Ghazali berkata “Taqlid itu ialah menerima perkataan tidak dengan alasan”. Dan banyak lagi pengertian yang artiya serupa dengan pengertian tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa “Taqlid itu ialah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjahnya (alasannya) dari Al-Qur’an ataupun dari Sunnah Rasul”.
Lalu muncullah pertanyan “Bolehkah ber-taqlid dalam urusan keagamaan ?” Jika Anda telah memahami pengertian taqlid diatas, maka sangat jelas bahwa bertaqlid dalam urusan agama itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. Dalam surah Al-Baqarah ayat seratus tujh puluh menjelaskan kepda kita bahwa orang yang sudah bertaqlid akan dibeci oleh Allah. Karena, apabila mereka diajak kembali mengikut pimpinan Allah dan kepada tutunan Rasul, mereka menjawab, “Kami hanya akan menuruti cara-cara yang telah dilakukan oleh orang tua kami, nenek-nenek moyang kami, dan datuk-dtuk kami”. Atau “Cukuplah bagi kami kami agama yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami dan datuk-datuk kami”. Mereka berkata begitu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan bahwa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka. Maka, sangat jelaslah bahwa islam benar-benar melarang bertaqlid khususnya dalam urusan agama. 
Tidak semua perbuatan taqlid itu dilarang dalam agama, akan tetapi ada juga taqlid yang dibolehkan oleh agama. Yaitu taqlid kepada para mujtahid dengan syarat yang dibolehkan adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum-hukum syariat. Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencar sendiri hukum-hukum suariat, maka harus berijtihad sendiri. Akantetapi, bila waktuny sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.

D. Ittiba’ 
Kata ittiba’ barasal dari kata ittiba’a-yattabi’u-muttabi’un, dan kata ini diambil dari tabi’a-yatba’u-tabi’un, yang artinya menikuti atau menuruti, menelusuri jejak, bersuri tauladan, dan berpanutan. Adapun secara istilah Ittiba’ adalah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Jika taqlid mengikuti seseorang ataupun ucapannya tanpa alasan. Maka, ittiba’ mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil padanya. Jadi, ittiba’ terhadap A-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. 
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin dan muslimat ber-ittiba’ kepada Rasulullah seperti firmannya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)  Maka wajib hukumnya berittiba’ dan dilarang untuk bertaqlid kepada yang tidak memenuhi syarat mujtahid. Disinilah letak yang membedakan antara ittiba’ dengan taqlid.
 Kata Imam Dawud dalam hadistnya “Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata ‘Ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya’.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ittiba’ ialah mengikuti, menuruti apa-apa yang diperintakan oleh Rasulullah S.A.W. atau dengan kata lain, mengerjakan perintah agama dengan meuruti apa-apa yang yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, dan juga menjauhi apa-apa yang telah dilarang, dan orang yang mengerjakan demikian itu namanya muttabi’. 
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang atau mengikuti perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya tersebut.
A. Fatwa 
Menurut Ensiklopedia Islam, fatwa secara bahsa arinya nasihat, petuah, jawaban, atau pendapat.  Maka, definisi fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Aku menyampaikan atau menfatwakan kepada si Fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskan kepada dirinya tentang pendapat itu. Aku berfatwa mengenai jawaban atas masalah itu”.
Secara istilah, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan juga merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menerangkan hukum-huku syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya. Kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan, dan kadang juga datang setelah adanya pertanyaan mengenai suatu permasalahan hukum syara’ tersebut.
Adapun pengertian Fatwa menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ahamd Hasan “Bahasa arab yang berarti jawaban pertannyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
b. Ibnu Qayyim “Pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. 

Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu. Maka, fatwa harus di dasari dari dalil-dalil syariat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad. Jika mujtahid ini memberikan fatwa (seorang muftiy berfatwa), haruslah kita menjadi muttabi’nya. Akan tetapi, apabila dia bukan seorang mujtahid, secara tidak sengaja ia telah bertaqlid dan menjadi orang yang dibenci oleh Allah serta orang-orang yang juga mempercayai fatwanya (bertaqid atasnya). 


LANJUTAN BAB III

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fiqh dan Ushul Fiqh 

a. Pengertian Fiqh 
Sacara bahasa fiqh  berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Dan secara istilah, fiqh merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum yang diperoleh melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.  
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ashshiddieqy “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshily”.
b. Hanafi “Mengetahui hukum-hukum syara’ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.
c. Rosyada “Mengetahuii hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang di kaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fiqh yaitu memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai ilmu pengetahuan. 
Hukum mempelajari ilmu fiqh ini adalah wajib atau fardhu ‘ain bagi setiap laki-laki maupun wanita. Dan hukum mempelajari hukum ini bisa berubah tergantung amal yang akan dilakukannya. Yang pertama, kalau amal yang akan dilakukan itu wajib, maka hukum mempelajarinya juga wajib. Seperti shalat lima waktu, hukum mempelajari ilmu yang membahas tata cara shalat lima waktu akan menjadi wajib. Yang kedua, kalau amalannya sunnah, maka mempelajarinyapun menjadi sunnah contohnya shalat rawatib. Akan tetapi, walaupun hukumnya sunnah kalau itu akan dijalankan, maka hukum mempelajariya manjadi wajib pula.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allahkebaikan atasnya, maka Allah akan menjadikannya paham dalam masalah agamanya” (H.R. Bukhari-Muslim, dari Muawiyah R.A.). Maka dapat disimpulkan bahwa, fiqh ini adalah suatu ilmu yang mempelajari hukum-hukum islam yang mana hukum ini sudah dikumpulkan oleh para ulama’, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.dan hukum mempelajarinya adalah fardu ‘ain, ketika ingin melakukan suatu amal, karena amalan tersebut harus dikerjakan dengan syarat-syarat tertentu hingga menjadi wajib hukum mempelajarinya.

b. Pengertian Ushul Fiqh 
Secara bahasa, ushul fiqh terdiri dari dua kata. Yang pertama yaitu ushul, ushul adalah bentuk jamak dari al-ashlu yang bararti pondasi, asas, akar, atau dasar atas segala sesuatu. Sedangkan menurut istilah, kata al-ashlu adalah dalil. Misalnya, para ulama mangatakandalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an. Yang kedua fiqh, kata ini berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal seperti yang telah dibahas secara rinci diatas. 
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ibnu Qudamah “Dalil-dalil fiqh yang menunjukkan kepadanya secara garis besar, tidak secara terperinci (Raudhatun Nazhir, 1:60-61)”.
b. Imam Al-Ghazali “Sesungguhnya ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum ini dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkan terhadap hukum-hukum secara garis besar tidak secara terperinci (Lihat, Al-Mustashfa,1:5)”.
c. Ibnu Burhan “Keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (Al-Wushul, 1:51)”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ushul fiqh mengenai dalil-dalil dan pengetahuan secara garis besar bukan terperinci.
Jadi, pengertian ushul fiqh adalah dalil-dali fiqh yang termasuk kedalam ilmu hukum islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori, dan sumber-sumber secara umum dalam rangka menghasilkan hukum islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.Dalil-dalil yang dimaksud adalah kaidah atau kajian umum yang bersifat universal, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh dan jelas berbeda.

B. Ijtihad 
Kata ijtihad barasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang artinya barsungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah mencurahkan segala upaya sekuat tenaga dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas secara menditeil atau kejelasannya masih umum didalam Al-quran maupun hadis Nabi dengan menggunakan logika sehat dan pertimbangan matang.  
Adapun pengertian Ijtihad menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Mahdi “Mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tak mampu mencari tambahan kemampuan.
b. Ibrahim Hoesen “Ijtihad tidak diterapkan pada konsep pengertian sesuatu yang mudah atau ringan”.
c. Ulama Ushul “Usaha seorang ahli fiqih menggunakan seluruh kemampuan untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ijtihad adalah usaha yang dilakukan dengan sunguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilakukan dengan siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadist atau dengan kata lain, menggali dan kemudian mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang kemudian dipublikasikan kepada orang awam dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. 
Ijihad biasa sering kita dengar sebagai jihad yang biasa diartikan perang, hal ini dikarenakan berjihad tentu dilakukan dengan bersusah payah. Suatu perbuatan dapat diktakan jihad apabila dilakukan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Maka, dapat dikatakan bahwa ijtihad adalah menghabiskan kesanggupan dalam memperoleh suatu hukum syara’ yang ‘amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah. 

SAMBUNGAN >>> BAB II PART III

PEMBAGIAN THAHARAH

PEMBAGIAN  THAHARAH
    1.    Suci dari hadats ialah dengan mengerjakan wudhu , mandi dan tayammum.
    2.    Suci dari najis ialah menghilangkan najis yang ada di badan ,tempat dan pakaian.
PEMBAHASAN BENDA – BENDA SUCI TERBAGI DUA.
a.    Benda Padat
Yang termasuk benda padat adalah semua bagian dari bumi dan tambang – tambangnya ,seperti emas, perak, temabag, besi, timah dan sebagainya. Termasuk juga semua macam tumbuh – tumbuhan walaupun dapat menghilangkan ingatan yang dikenal tumbuhan perusak, yaitu yang dapat menghilangkan akal tetapi tidak menghilangkan rasa  tidak memabukkan dan tidak berakibat pada keguncangan, seperti ganja dan apiun (candu), atau semacam obat penidur yang dapat menghilangkan akal dan rasa sekaligus, seperti obat bius dan narkotik, ataupun yang dapat membahayakan badan seperti tumbuh – tumbuhan yang mengandung racun. Semua tumbuh – tumbuhan ini suci walaupun ada sebagian yang haram dimakan bila dapat membahayakan akal dan rasa atau lainnya. Benda suci lainnya adalah bangkai hewan darat yang tidak mempunyai darah mengalir , seperti lalat  anai – anai ( rayap ) ,cicak , belalang  semut dan kutu, bulu kambing, wool, bulu unta , bulu burung , bulu kucing. Demikian halnya juga dengan Bangkai hewan laut maka itu suci,berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
Artinya :
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal." Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya. ( diambil dari kitab bulughul maram )
Bangkai hewan belalang dan ikan maka itu suci, berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
َوَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ
Artinya :
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.
( diambil dari kitab bulughul maram )

 Dalil kucing itu tidak najis, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

َوَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة
Artinya :
Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah. ( diambil dari kitab bulughul maram )
b.    Benda Cair
Adapun yang termasuk benda cair ,yaitu minyak , air gula, tebu, air sari bunga, minyak wangi ( bila berahkohol maka tidak suci ), dan cuka. Semua ini termasuk benda cair suci selama belum terkena sesuatu yang menajiskan. termasuk juga air mata setiap makhluk hidup, keringatnya, air liurnya ( kecuali air mata, keringat, air liur anjing dan babi ), air ludah empedu, air mani  dan dahak.

Adapun air mani tidak najis sesuai sabda Rasululloh SAW :

وَلِمُسْلِمٍ : لَقَدْ كُنْت أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ
Artinya :

Dalam Hadits riwayat Muslim: Aku benar-benar pernah menggosoknya (bekas mani) dari pakaian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, kemudian beliau sholat dengan pakaian tersebut. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
               
وَفِي لَفْظٍ لَهُ : لَقَدْ كُنْت أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِي مِنْ ثَوْبِهِ
Artinya :
Dalam Lafadz lain hadits riwayat Muslim: Aku benar-benar pernah mengerik mani kering dengan kukuku dari pakaian beliau. ( Diambil dari kitab bulughul maram )
Khamr ( tuak ) itu tidak suci kecuali telah berubah menjadi cuka dengan sendirinya, dengan syarat sebelum menjadi cuka ia tidak terkena najis. Jika terkena najis , maka ia tidak suci lagi , walaupun najis tersebut diambil pada waktu itu juga.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا ؟ قَالَ : لَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya :
Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang khamar (minuman memabukkan) yang dijadikan cuka. Beliau bersabda: "Tidak boleh." Riwayat Muslim dan Tirmidzi. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan dan shahih.
( Diambil dari kitab bulughul maram )

Kehujjah (Fiqh)

     
A.       Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas. Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya, kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah : “Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi) dengan beberapa syarat, antara lain:[xiv]
a.   Apa yang disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
b.     Apa yang disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS. Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.

Mafhum dan Pembagiannya

     
A.    Mafhum dan Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
      Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
“Jangan kamu mengucapkan kepada kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1.   Mafhum Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.

Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:[viii]
a.    Fahwal Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan.
Contohnya firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji kepada dua orang ibu bapakmu.”
Sedangkan kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b.     Lahnal Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti firman Allah swt.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
2.   Mafhum mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat (menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a.    Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu kepada syah satu sifatnya.

Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan keadaan) dan ‘adad (bilangan). Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang digembalakan.[ix]
Mafhum sifat ada 3 macam:
1)    Mustaq dalam ayat.
Contohnya dalam QS. Al-Hujarat ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil wajib diterima.
2)      Hal (keterangan keadaan)
Seperti fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.”
Ayat ini menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja. Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang buruan tidak sengaja.
3)      ‘Adad (bilangan)
Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الألْبَابِ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b.    Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.[x]
c.    Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6:
اِذَا قُنْتُمْ اِلىَ الصَّلَوةِ فاَغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ واَيْدِيَكُمْ أِلىَ الْمَرَافِقِ....
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d.   Mahfum laqaab (pemahaman dengan julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para ibu.[xi]
e.    Mafhum hasr adalah pembatasan. Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.[xii]
f.     Mafhum syarat , adalah petunjuk lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
...وَإِنْ كُنَّ أُولاَتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ...
“...Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil, tidak wajib diberi nafkah.[xiii]


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Karim, Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Sya’ban, al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Tim Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986

Mantuq dan pembagiannya

   
 A. Mantuq dan Pembagiannya
Mantuq secara bahasa  adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah[i], dilâlah  lafal nash dibagi kepada dua macam,  yaitu  dilâlat al-mantûq  (دلالـة الـمـنطوق dan  dilâlat  al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم))Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“… Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq sarih dan mantuq gairu sharih.
1.  Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili[ii] yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash. Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.[iii]

Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir:
a.       Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt. dalam Surat al-Baqarah: 196
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
“Maka wajib berpuasa 3 hari dalam  masa haji dan tujuh hari lagi apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna secara pasti.[iv]
b.      Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2.   Mantûq Ghairu Sarih 
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan terbagi menjadi 3 macam:
a.       Dalalat al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.


Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan (mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya.[v]
b.  Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”[vi]
c.   Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga demikian arti hadits menjadi : diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa atau karena keterpaksaan.[vii]