Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II PART II

Imam Al-Ghazali mengungkapkan ijtihad merupakan upaya maksimal seorng mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hanafi juga berpendapat bahwa pengertian adalah mencurahkan tenaga untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Untuk menjadi seorang mujtahid, harus mencukupi  beberapa syarat yang kemudian menjadi hukum sah nya melakukan ijtihad. Yang kemudian syarat-syarat ini telah ditetapkan oleh para ulama ahli ushul adalah sebagai berikut:
a. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya seperti ilmu nahwu, sharaf, dan lain sbagainya, sehingga ia mengerti benar-benar  akan susunan kata ayat-ayat  Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.

b. Mengerti tentang nash-nash Al-Qur’an, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat mujmal, yag muhkam, yang khas dan lain sebagainya, hingga mengerti akan sebab-sebab diturunkan, dimana ayat diturunkan, dan demikianlah seterusnya  hingga hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
c. Mengerti tentang hadist-hadist dan bagian-bagiannya, seperti hadist mutawatir, ahad, shahih, dan lai sebagainya dengan tidak mesti menghafal hadist-hadistnya, asal sudah dapat membedakan mana yang shahih dan dan mana yang tidak, dan lain sebagainya. 
d. Mengerti tentang ushul fiqh. Ilmu ushul inlah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang mujtahid dapat berinstinbat dari Al-Qur’an dan Hadist untuk menetapkan sesuatu hukum syar’i. 

C. Taqlid 
Kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidah yang artinya mengukangi, meniru, dan mengikuti. Taqlid secara istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya. 
Adapun pengertian Taqlid menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Al-Ghazali “Menerima suatu perkataan dengan tidak ada huddjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusam ushul maupun dalam urusan furu’.
b. Ibnu Subki  “Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Taqlid adalah mengakui kebenaran pendapat seseorang yang dipercayainya tanpa tahu sumber atau atas dalil apa pendapata yang dibenarinya tersebut.
Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad Al-Maliki berkata “Taqlid itu artinya pada syara’ ialah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya”. Imam Al-Ghazali berkata “Taqlid itu ialah menerima perkataan tidak dengan alasan”. Dan banyak lagi pengertian yang artiya serupa dengan pengertian tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa “Taqlid itu ialah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjahnya (alasannya) dari Al-Qur’an ataupun dari Sunnah Rasul”.
Lalu muncullah pertanyan “Bolehkah ber-taqlid dalam urusan keagamaan ?” Jika Anda telah memahami pengertian taqlid diatas, maka sangat jelas bahwa bertaqlid dalam urusan agama itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. Dalam surah Al-Baqarah ayat seratus tujh puluh menjelaskan kepda kita bahwa orang yang sudah bertaqlid akan dibeci oleh Allah. Karena, apabila mereka diajak kembali mengikut pimpinan Allah dan kepada tutunan Rasul, mereka menjawab, “Kami hanya akan menuruti cara-cara yang telah dilakukan oleh orang tua kami, nenek-nenek moyang kami, dan datuk-dtuk kami”. Atau “Cukuplah bagi kami kami agama yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami dan datuk-datuk kami”. Mereka berkata begitu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan bahwa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka. Maka, sangat jelaslah bahwa islam benar-benar melarang bertaqlid khususnya dalam urusan agama. 
Tidak semua perbuatan taqlid itu dilarang dalam agama, akan tetapi ada juga taqlid yang dibolehkan oleh agama. Yaitu taqlid kepada para mujtahid dengan syarat yang dibolehkan adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum-hukum syariat. Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencar sendiri hukum-hukum suariat, maka harus berijtihad sendiri. Akantetapi, bila waktuny sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.

D. Ittiba’ 
Kata ittiba’ barasal dari kata ittiba’a-yattabi’u-muttabi’un, dan kata ini diambil dari tabi’a-yatba’u-tabi’un, yang artinya menikuti atau menuruti, menelusuri jejak, bersuri tauladan, dan berpanutan. Adapun secara istilah Ittiba’ adalah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Jika taqlid mengikuti seseorang ataupun ucapannya tanpa alasan. Maka, ittiba’ mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil padanya. Jadi, ittiba’ terhadap A-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. 
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin dan muslimat ber-ittiba’ kepada Rasulullah seperti firmannya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)  Maka wajib hukumnya berittiba’ dan dilarang untuk bertaqlid kepada yang tidak memenuhi syarat mujtahid. Disinilah letak yang membedakan antara ittiba’ dengan taqlid.
 Kata Imam Dawud dalam hadistnya “Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata ‘Ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya’.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ittiba’ ialah mengikuti, menuruti apa-apa yang diperintakan oleh Rasulullah S.A.W. atau dengan kata lain, mengerjakan perintah agama dengan meuruti apa-apa yang yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, dan juga menjauhi apa-apa yang telah dilarang, dan orang yang mengerjakan demikian itu namanya muttabi’. 
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang atau mengikuti perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya tersebut.
A. Fatwa 
Menurut Ensiklopedia Islam, fatwa secara bahsa arinya nasihat, petuah, jawaban, atau pendapat.  Maka, definisi fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Aku menyampaikan atau menfatwakan kepada si Fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskan kepada dirinya tentang pendapat itu. Aku berfatwa mengenai jawaban atas masalah itu”.
Secara istilah, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan juga merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menerangkan hukum-huku syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya. Kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan, dan kadang juga datang setelah adanya pertanyaan mengenai suatu permasalahan hukum syara’ tersebut.
Adapun pengertian Fatwa menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ahamd Hasan “Bahasa arab yang berarti jawaban pertannyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
b. Ibnu Qayyim “Pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. 

Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu. Maka, fatwa harus di dasari dari dalil-dalil syariat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad. Jika mujtahid ini memberikan fatwa (seorang muftiy berfatwa), haruslah kita menjadi muttabi’nya. Akan tetapi, apabila dia bukan seorang mujtahid, secara tidak sengaja ia telah bertaqlid dan menjadi orang yang dibenci oleh Allah serta orang-orang yang juga mempercayai fatwanya (bertaqid atasnya). 


LANJUTAN BAB III

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB II

BAB II
PEMBAHASAN

A. Fiqh dan Ushul Fiqh 

a. Pengertian Fiqh 
Sacara bahasa fiqh  berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Dan secara istilah, fiqh merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum yang diperoleh melalui dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah.  
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ashshiddieqy “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshily”.
b. Hanafi “Mengetahui hukum-hukum syara’ yang mengenai perbuatan dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dari pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan pemikiran dan perenungan.
c. Rosyada “Mengetahuii hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang di kaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fiqh yaitu memahami sesuatu secara mendalam atau sebagai ilmu pengetahuan. 
Hukum mempelajari ilmu fiqh ini adalah wajib atau fardhu ‘ain bagi setiap laki-laki maupun wanita. Dan hukum mempelajari hukum ini bisa berubah tergantung amal yang akan dilakukannya. Yang pertama, kalau amal yang akan dilakukan itu wajib, maka hukum mempelajarinya juga wajib. Seperti shalat lima waktu, hukum mempelajari ilmu yang membahas tata cara shalat lima waktu akan menjadi wajib. Yang kedua, kalau amalannya sunnah, maka mempelajarinyapun menjadi sunnah contohnya shalat rawatib. Akan tetapi, walaupun hukumnya sunnah kalau itu akan dijalankan, maka hukum mempelajariya manjadi wajib pula.

Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allahkebaikan atasnya, maka Allah akan menjadikannya paham dalam masalah agamanya” (H.R. Bukhari-Muslim, dari Muawiyah R.A.). Maka dapat disimpulkan bahwa, fiqh ini adalah suatu ilmu yang mempelajari hukum-hukum islam yang mana hukum ini sudah dikumpulkan oleh para ulama’, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.dan hukum mempelajarinya adalah fardu ‘ain, ketika ingin melakukan suatu amal, karena amalan tersebut harus dikerjakan dengan syarat-syarat tertentu hingga menjadi wajib hukum mempelajarinya.

b. Pengertian Ushul Fiqh 
Secara bahasa, ushul fiqh terdiri dari dua kata. Yang pertama yaitu ushul, ushul adalah bentuk jamak dari al-ashlu yang bararti pondasi, asas, akar, atau dasar atas segala sesuatu. Sedangkan menurut istilah, kata al-ashlu adalah dalil. Misalnya, para ulama mangatakandalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an. Yang kedua fiqh, kata ini berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang artinya pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal seperti yang telah dibahas secara rinci diatas. 
Adapun pengertian fiqh menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ibnu Qudamah “Dalil-dalil fiqh yang menunjukkan kepadanya secara garis besar, tidak secara terperinci (Raudhatun Nazhir, 1:60-61)”.
b. Imam Al-Ghazali “Sesungguhnya ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum ini dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkan terhadap hukum-hukum secara garis besar tidak secara terperinci (Lihat, Al-Mustashfa,1:5)”.
c. Ibnu Burhan “Keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (Al-Wushul, 1:51)”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ushul fiqh mengenai dalil-dalil dan pengetahuan secara garis besar bukan terperinci.
Jadi, pengertian ushul fiqh adalah dalil-dali fiqh yang termasuk kedalam ilmu hukum islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori, dan sumber-sumber secara umum dalam rangka menghasilkan hukum islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.Dalil-dalil yang dimaksud adalah kaidah atau kajian umum yang bersifat universal, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh dan jelas berbeda.

B. Ijtihad 
Kata ijtihad barasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang artinya barsungguh-sungguh. Sedangkan menurut istilah ijtihad adalah mencurahkan segala upaya sekuat tenaga dalam memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas secara menditeil atau kejelasannya masih umum didalam Al-quran maupun hadis Nabi dengan menggunakan logika sehat dan pertimbangan matang.  
Adapun pengertian Ijtihad menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Mahdi “Mencurahkan segala kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni sampai dirinya merasa tak mampu mencari tambahan kemampuan.
b. Ibrahim Hoesen “Ijtihad tidak diterapkan pada konsep pengertian sesuatu yang mudah atau ringan”.
c. Ulama Ushul “Usaha seorang ahli fiqih menggunakan seluruh kemampuan untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Ijtihad adalah usaha yang dilakukan dengan sunguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilakukan dengan siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an maupun hadist atau dengan kata lain, menggali dan kemudian mengistinbatkan hukum-hukum syara’ yang kemudian dipublikasikan kepada orang awam dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. 
Ijihad biasa sering kita dengar sebagai jihad yang biasa diartikan perang, hal ini dikarenakan berjihad tentu dilakukan dengan bersusah payah. Suatu perbuatan dapat diktakan jihad apabila dilakukan dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Maka, dapat dikatakan bahwa ijtihad adalah menghabiskan kesanggupan dalam memperoleh suatu hukum syara’ yang ‘amali dengan jalan mengeluarkan dari kitab dan sunnah. 

SAMBUNGAN >>> BAB II PART III

IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, DAN FATWA BAB I

BAB I 
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang 
Ilmu ushul fiqh merupakan metode dalam mengenali dan menetapkan hukum islam. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum syara’ secara benar dan dipertanggung jawabkan. Melalui ushul fiqh kita dapat menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Sedangkan bagi orang awam yang tidak mampu menggali hukum islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan sanggup menginstinbatkan sendiri hukum-hukum islam, maka diperbolehkan bagi mereka megikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang diprcayainya.

Dalam ushul fiqh juga membahas masalah ijtihad, taqlid, ittba’, dan fatwa. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dengan maksud yang berbeda pula. Akan tetapi, keempatnya sangat jelas diatur dalam agama Islam. Salah satunya ialah ittiba’ yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 43 yang artinya “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri Wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.

B. Rumusan Masalah 
1. Apa yang dimaksud dengan fiqh dan ushul fiqh ?
2. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
3. Apa yang dimaksud dengan ittiba ?
4. Apa yang dimaksud dengan taqlid ? 
5. Apa yang dimaksud dengan fatwa ?



C. Tujuan dan Manfaat 

  1. Memberi pemahaman tentang pengertian fiqh, ushul fiqh, ijtihad, ittiba’, taqlid, dan fatwa. Agar para pembaca bisa membedakan antara ittiba’ dengan taqlid dan juga pemahaman yang lainnya yang bisa menjadi pengetahuan masing-masing. Seperti melakukan segala perlakuan atas tujuan berijtihad dijalan Allah, mencari dari mana dasar hukum yang selama ini menjadi taqlidnya sebelum mengetahuinya dan lain sebagainya. 
  2. Untuk memenuhi tugas pada mata kuliah ushul fiqh yang kemudian akan didiskusikan bersama-sama agar lebih dimengerti nantinya.


MAQASHID AL – TASYRI’I AW SYARI’AH

BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Setiap manusia pastilah membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas dar hal ini karena manusia adalah makhluk social, dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan orang lain. Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan tuhan melalui ibadah yang di lakukan setiap hari. Islam dalam hal ini telah di atur semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuan yang berlaku. Ilmu fiqh telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada masalah yang dahulu belum ada dan belum terpikirkan.

RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian  Fiqh ?
2.      Apa pengertian darii Ushul Fiqh ?
3.      Pengertian Maqashid al-syariah
4.      Tujuan umum Maqasid al- Tasryi aw Syari’ah ?
5.      Apa saja macam-macam hukum  Al-Tasryi’ ?

TUJUAN PEMBAHASAN
Makalah ini di susun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti hal-hal yang berhubungan dengan ilmu ushul fiqh, mulai dari pengertian, definisi,macam-macam apa yang harus kita lakukan dengan benar, dan lain sebagainya.


 BAB 2
 PEMBAHASAN
Pengertian Fiqh dan Ushul fiqh
Pengertian Fiqh
Menurut bahasa, Fiqh berarti pemahaman yang mendalam. Dan menurut istilah Fiqh dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan pokok ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat amali dan keduanya tentang dalil-dalil tafsili.[1]
Beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Definisi yang di ajukan Abu Hanafiah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karena itu sesuai dengan pengertian fiqih yang di sebutkannya itu, istilah fiqih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukun ibadah, dan mu’amalah.
Jadi fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hokum allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Definisi fiqh secara umum,ialah suatu ilmu yang mempelejari bermacam-macam syariat atau hukum  islam dan berbagai macam aturan hudup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat social.
Pengertian Ushul Fiqh
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan pebuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.[2]
Tujuan  yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat di keluarkan suatu hokum yang tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hokum yang lain. Selain itu dapat juga di jadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab di antara para imam mujtahid.

Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan.[3]
Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Syekh Muhammad abu Zahra dalam kitabnya ushul fiqh merumuskan tiga tujuan kehadiran hokum islam:
    Membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bagi orang lain, tidak menjadi sumber keburukan bagi orang lain.
     Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik  sesama muslim maupun nonmuslim.
 Merealisasikan kemaslahatan.
Tujuan ketiga ini merupakan tujuan puncak yang melekat pada hokum islam secara keseluruhan.maka tidak ada syariat yang berdasarkan al-qur’an dan hadis kecuali didalamnya terdapat kemaslahatan yang hakiki dan berlaku secara umum.
Tujuan umum maqasyid syariah
Imam al-syatibi dalam kitab al-muwafaqat berkata : “sekali-kali tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan rangka mencegah kemafsadatan yang akan menimpa mereka.”
Tujuan umum dari hokum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan hokum islam adalah kemaslahatan yang hakiki yang beroriebtasi kepada terpeliharanya lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Dengan kelima perkara inilah manusia dapat menjalankan kehidupannya yang mulia.[4]
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dari maqashid al-syariat, maka berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh fathurrahman djamil. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhannya masing-masing.
Memelihara agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara agama dalam tingkat daruriyat (pokok), yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu.
2.      Memelihara agama dalam tingkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian.
3.      Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat,yaitu mengikuti petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
Memelihara jiwa (hifz an-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan tiga peringkat yaitu:
1.      Memelihara jiwa dalam tingkat daruriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
2.      Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat seperti dibolehkannya berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat.
3.      Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
 Memelihara akal (hifz al-aql)
Memelihara akal dapat dilihat dari segi kepentingannya yaitu :
1.      Memelihara akal dalam tingkat daruriyat seperti diharamkannya meminum minuman keras.
2.      Memelihara akal dalam tingkat hajiyat seperti anjuran untuk menuntut ilmu pengetahuan .
3.      Memelihara akal pada tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayalatau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
Memelihara keturunan (hifz an-nasl)
Memelihara keturunan,dilihat dari tingkat kebutuhannya yaitu :
1.      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyat seperti disyariatkannya nikah dan larangan zina.
2.      Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat,seperti ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikannya hak talak pada suami.
3.      Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti disyariatkan khitbah (meminang) atau walimah dalam perkawinan.
 Memelihara harta (hifz al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan beberapa tingkat yaitu :
1.      Memelihara harta dalam tingkat daruriyat, seperti disyariatkannya tata cara pemilikikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan  cara tidak sah.
2.      Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti disyariatkan jual beli dengan cara salam.
3.      Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat,seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan.

Macam-macam Tasyri’
Secara umum tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya.
Tasyri’ dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan tasyri’ kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya. Tasyri’ tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat.[5]
Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu :
a. Thaharah
b. Shalat
c .Zakat
d. Puasa
e. I’tikaf
f. Jenazah
g. Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan.
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat.
Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan.Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.
Ulama syafi’iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (uqubat).[6]


BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan. Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
B.SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat.dan apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah kami memohon maaf Karena kami juga dalam masa belajar.



[1]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,(Mesir:Maktabah al- Da’wah al – Islamiyah, tt.).hal:4.
[2] Ibid 5.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.),hlm:197.
[4] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998), Cet. Ke-1, hlm: 268.
[5] Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman:Dar al-Nafais,1991), hal:21

[6] Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al-Islamiyah,(Amman: Dar al-Nafais, 1991), hlm:21

SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM (AL QUR’AN, HADIST, IJMA’, QIYAS)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
                  Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan  pula adalah hukum syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
                  Penyebutan hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.  
B. Rumusan Masalah
Dengan adanya latar belakang dapat disimpulkan rumusan masalah seperti berikut :
  1. Bagaimana pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh?
  2. Macam-m,acam dalil hukum yang disepakati ?
  3. Macam-macam dalil yang tidak disepakati ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh/Ushul Fiqh
            Menurut bahasa “Fiqh” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sini ditariklah perkataan fiqh yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah,makrruh, atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshilli).
            Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Ushul adalah bentuk jamak dari kata Ashl (    اصل   )  yang artinya kuat (rajin), pokok sumber, atau dalil tempat berdirinya sesuatu. Jadi ushul fiqh itu adalah ilmu yang mempelajari dasar-dasar atau jalan yang harus ditempuh didalam melakukan istimbath hukum dari dalil-dalil syara’.

B. Pengertian Sumber Hukum Islam
            Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.[1]
C. Macam-macam dalil yang disepakati
1. Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an yaitu  105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[347],
            Definisi tentang Al-Qur’an telah banyak dirumuskan oleh beberapa ulama’,akan tetapi dari beberapa definisi tersebut terdapat empat unsur pokok,yaitu :
1.      Bahwa Al-Qur’an itu berbentuk lafazt yang mengandung arti bahwa apa yang disampaikan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad dalam bentuk makna dan dilafazkan oleh Nabi dengan ibaratnya sendiri tidaklah disebut Al-Qur’an.
2.      Bahwa Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab
3.      Bahwa Al-Qur’an ini diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
4.      Bahwa Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir
Ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan beberapa cara dan keadaan,antara lain, yaitu :
1.      Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW
2.      Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi Muhammad SAW berupa seorang laki-laki yang mengucapkan kata-katanya
3.      Wahyu datang seperti gemirincing lonceng
4.      Malaikat menampakkan diri kepada Nabi Muhammad SAW benar-benar sebagaimana rupanya yang asli
Ayat-ayat yang diturunkan tadi dibagi menjadi dua bagian/jenis,yaitu :
1.      Ayat-ayat Makkiyah
2.      Ayat-ayat Madaniyah
Di dalam ajaran islam terdapat ketentuan-ketentuan untuk membentuk sesuatu hukum,yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Ushul Fiqih.Pengertian bahasa arab “Ushul Fiqih” secara harfiah adalah akar pikiran,dan secara ibarat (tamsil) adalah sumber hukum atau prinsip-prinsip tentang ilmu fiqih.Pada umumnya para fuhaka sepakat menetapkan dan Qiyas.[2]

2. Hadist
             Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.Hadist merupakan bagian dari sunnah Rasulullah.Pengertian sunnah sangat luas,sebab sunnah mencakup dan meliputi:
  1. Semua ucapan Rasulullah SAW yang mencakup sunnah qauliyah
  2. Semua perbuatan Rasulullah SAW disebut sunnah fi’liyah
  3. Semua persetujuan Rasulullah SAW yang disebut sunnah taqririyah
   Pada prinsipnya fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an.Sebagai penganut hukum yang ada dalam Al-Qur’an,sebagai penjelasan/penafsir/pemerinci hal-hal yang masih global.Sunnah dapat juga membentuk hukum sendiri tentang suatu hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.Dalam sunnah terdapat unsur-unsur sanad (keseimbangan antar perawi),matan (isi materi) dan rowi (periwayat).
Dilihat dari segi jumlah perawinya sunnah dapat dibagi kedalam tiga kelompok yaitu :

  1. Sunnah Mutawattir : sunnah yang diriwayatkan banyak perawi
  2. Sunnah Masyur : sunnah yang diriwayatkan 2 orang atau lebih yang tidak mencapai tingkatan mutawattir
  3. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan satu perawi saja.
Pembagian hadist dapat pula dilakukan melalui pembagian berdasarkan rawinya dan berdasarkan sifat perawinya.
1.      Matan, teks atau bunyi yang lengkap dari hadist itu dalam susunan kalimat yang tertentu.
2.      Sanad, bagian yangg menjadi dasar untuk menentukan dapat di percaya atau tidaknya sesuatu hadist. Jadi tentang nama dan keadaan orang-orang yang sambung-bersambung menerima dan menyampaikan hadist tersebut, dimulai dari orang yang memberikannya sampai kepada sumbernya Nabi Muhammad SAW yang disebut rawi.
Ditinjau dari sudut periwayatnya ( rawi ) maka hadist dapat di golongkan ke dalam empat tingakatan yaitu:
·               Hadist mutawir, hadist yang diriwayatkan oleh kaum dari kaum yang lain hingga sampai pada Nabi Muhammad SAW.
·               Hadist masyur, hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, kemudian tersebar luas. Dari nabi hanya diberikan oleh seorang saja atau lebih.
·               Hadist ahad, hadist yang diriwayatkan oleh satu, dua atau lebih hingga sampai kepada nabi muhammad.
·               Hadist mursal, hadist yang rangkaian riwayatnya terputus di tengah-tengah,se hingga tidak sampai kepada Nabi Muhammad SAW.        
3. Al-Ijma’
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal. Ijma merupakan salah satu upaya istihad umat islam setalah qiyas.
Kata ijma’ berasal dari kata jam’ artinya maenghimpun atau mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu menyusun mengatur suatu hal yang tak teratur,oleh sebab itu berarti menetapkan memutuskan suatu perkara,dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha). Ijma berati kesepakatan pendapat di antara mujtahid, atau persetujuan pendapat di antara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.[3]
Apabila di kaji lebih mendalam dan mendasar terutama dari segi cara melakukannya, maka terdapat dua macam ijma’ yaitu :
  1. Ijma’ shoreh (jelas atau nyata) adalah apabila ijtihad terdapat beberapa ahli ijtihad atau mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara tegas dan jelas.
  2. Ijma’ sukuti (diam atau tidak jelas) adalah apabila beberapa ahli ijtihad atau sejumlah mujtahid mengemukakan pendapatnya atau pemikirannya secara jelas.
Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hukum tentang suatu hal, maka ijma’ dapat digolongkan menjadi :
  1. Ijma’ qathi yaitu apabila ijma’ tersebut memiliki kepastian hukum ( tentang suatu hal)
  2. Ijma’ dzanni yaitu ijma’ yang hanya menghasilkan suatu ketentuan hukum yang tidak pasti.
Pada hakikatnya ijma’ harus memiliki sandaran, danya keharusan tersebut memiliki beberapa aturan yaitu :
Pertama: bahwa bila ijma’ tidak mempunyai dalil tempat sandarannya, ijma’ tidak akan sampai kepada kebenaran.
Kedua: bahwa para sahabat keadaanya tidak akan lebih baik keadaan nabi, sebagaimana diketahui, nabi saja tidak pernah menetapkan suatu hukum kecuali berdasarkan kepada wahyu.
Ketiga: bahwa pendapat tentang agama tanpa menggunakan dalil baik kuat maupun lemah adalah salah.kalau mereka sepakat berbuat begitu berati mereka sepakat berbuat suatu kesalahan yang demikian tidak mungkin terjadi.
Keempat: bahwa pendapat yang tidak didasarkan kepada dalil tidak dapat diketahui kaitannya dengan hukum syara’ kalau tidak dapat dihubungkan kepada syara’ tidak wajib diikuti.[4]

4. Al-Qiyas
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.Seterusnya dalam perkembangan hukum islam kita jumpai qiyas sebagai sumber hukum yang keempat. Arti perkataan bahasa arab “Qiyas” adalah menurut bahasa ukuran, timbangan. Persamaan (analogy) dan menurut istilah ali ushul fiqih mencari sebanyak mungkin  persamaan antara dua peristiwa dengan mempergunakan cara deduksi (analogical deduction).
Yaitu menciptakan atau menyalurkan atau menarik suatu garis hukum yang baru dari garis hukum yang lama dengan maksud memakaiakan garis hukum yang baru itu kepada suatu keadaan, karena garis hukum yang baru itu ada persamaanya dari garis hukum yang lama.Sebagai contoh dapat dihadirkan dalam hal ini yaitu surat Al-Maidah ayat 90,yakni :

“ hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk berhala) mengundi nasb dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”(QS.Al-Maidah : ayat 90)
Menurut ketentuan nash, khamar dilarang karena memabukkan da dampak negatifnya akan menyebabkan rusaknya badan, pikiran dan pergaulan. Dengan  demikian sifat memabukkan dimiliki sebagai sebab bagi ketentuan hukum haram. Hal ini dapat diqiyaskan bahwa setiap minuman yang memabukkan haram hukumnya jadi dilarang di dalam hukum islam.[5]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).
 Al-Qur’an adalah sumber atau dasar hukum yang utama dari semua ajaran dan syari’at islam.
Hadist adalah ucapan Rasulullah SAW tentang suatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia atau tentang suatu hal,atau disebut pula sunnah Qauliyyah.
Ijma’ menurut hukum islam pada prinsipnya ijma’ adalah kesepakatan beberapa ahli istihan atau sejumlah mujtahid umat islam setelah masa rasulullah tentang hukum atau ketentuan beberapa masa yang berkaitan dengan syariat atau suatu hal.
Qiyas ialah menyamakan suatu peristiwa yang tidak ada hukumnya dalam nash kepada kejadian yang lain yang hukumnya dalam nash karena adanya kesamaan dua kejadian dalam illat hukumnya.
B.     SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA
Ali Zainuddin,  Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005
Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, Yogyakata, 2004.





[1] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 13.

[2] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 16.

[3] Ali Zainuddin,  Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, Sudarsono, 2005), hal. 18.

[4] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 13.

[5] Hamidi Jazim, Hukum islam, Teori Penemuan Hukum islam, (Yogyakata, 2004), hal. 17.