Learn from experience

BELAJAR.NET-"Life is a journey to be experienced, not a problem to be solved".

Grateful Every Time

BELAJAR.NET-"Do something today that your future self will thank you for".

the Road to Success

BELAJAR.NET-"Work hard in silence. Success be your noise"..

Learning Without Limits

BELAJAR.NET-"Don't stop learning because life doesn't stop teaching"

Focus on What you Want

BELAJAR.NET-"Your time is limited, so don't waste it living someone else's life".

Showing posts sorted by relevance for query ilmu. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query ilmu. Sort by date Show all posts

Pengertian Metodologi Studi Islam

1.    Pengertian Metodologi Studi Islam
            Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk memcapai tujuan (dalam ilmu pengetahuan dsb). Atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
            Metode juga dapat diartikan sebagai cara yang paling cepat dan tepat dalam melakukan sesuatu. Studi mengandung arti memahami, mempelajari, mengkaji dan meneliti. Penelitian atau riset adalah suatu metode studi yang dilakukan seorang melalui peyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoreh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut. Sebagian ulama' mendefinisikan islam sebagai:
            "Wahyu allah yang disampaikan kepada nabi muhammad saw. sebagaimana terdapat dalam al-qur'an dana as-sunnah , berupa undang-undang serta aturan-aturan hidup sebagai petunjuk bagi seluruh manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat."
            Metode berasal dari dua perkataan yaitu meta yang artinya adalah melalui dan hodos yang berarti jalan atau cara. Dapat disimpulkan bahwa metode adalah suatu jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Adapun istilah metodologi berasal dari kata metoda dan logi. Logi berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti akal atau ilmu. Jadi metodologi artinya ilmu tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan.
            Ada pula yang mengatakan bahwa metode adalah suatu cara untuk menemukan, menguji, dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan disiplin ilmu tersebut. Ada pula yang mengatakan metode adalah suatu jalan untuk mencapai suatu tujuan,
            Jalan untuk mencapai tujuan itu bermakna ditempatkan pada posisinya sebagai suatu cara untuk menemukan, menguji dan menyusun data yang diperlukan bagi pengembangan ilmu atau tersistematisasikannya suatu pemikiran.
            Metodologi studi islam adalah suatu kajian atas seperangkat konsep-konsep tentang paradigma, pendekatan dan metode yang dipergunakan untuk mengkaji dan meneliti islam sebagai obyek studi.
            Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.
BAB II
PEMBAHASAN
PENDEKATAN TEOLOGI DALAM STUDI ISLAM

A.    Defenisi Teologi
             Teologi berasal dari bahasa Yunani theos, yang berarti “Tuhan” dan logia, “kata-kata, ucapan”, atau wacana-wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama spiritualitas dan Tuhan. Dengan demikian, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan  keyakinan beragama.
            Sebagaimana dilihat dari pengertian diatas teologi membahas tentang dasar-dasar ajaran agama, maka dalam bahasa arab ajaran-ajaran dasar tentang agama disebut usul al-din, ajaran-ajaran dasar agama disebut juga aqa’id yang artinya keyakinan-keyakinan.
            Teologis normative dalam memahami agama secara harkiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud nyata dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya.
            Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bebtuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan aliran yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa fahamnyalah yang paling benar sedangkan faham yang lainnya salah, sehingga memandang orang lain keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya.





Beberapa istilah kunci dalam Teologi Islam yaitu, tauhid, kalam, dan Aqidah
A.      TAUHID
*  Defenisi Tauhid
          Tauhid berasal berasal dari bahasa arab dari kata wahada, yuwahhidu, tauhid, asal arti tauhid ialah mengesakan, maksudnya mengi’tiqodkan bahwa Allah adalah Esa.
* Lahirnya Tauhid sebagai Komponen Ilmu
          Sumber Ilmu adalah Al-Qur’an dan hadist yang dikembangkan dengan dalil-dalil aqal disuburkan denganpola fikir filsafat dan unsur-unsur lainnya sekitar dua abad setelah wafatnya Rasulullah SAW.
          Menurut Muhammad Amin dalam bukunya islam dan faktor-faktor yang melatar belakangi lahirnya ilmu tauhid ada dua yaitu:
·    Faktor eksternal
Yang datangnya dari dalam diri sendiri, misalnya:
a.       Al-Qur’an, disamping berisi ketauhidan, kenabuan dan sebagainya.
b.       Pada mulanya, keimanan umat umat islam tidak dipermasalahkan secara mendalam, tetapi setelah nabi wafat dan umat islam telah bersentuhan dengan kebudayaan asing mereka baru mengenal, dan merasa penting untuk memperdalam ilmu tauhid.
c.       Masalah polotik terutama tentang khilafah menjadi faktor pula dalam kelahiran ilmu tauhid.
·    Faktor Eksternal
          Faktor yang datangnya dari luar kalangan islam seperti pola pikir ajaran agama lain yang masuk ke ajaran islam


B.       Kalam

  1. Pengertian Ilmu Kalam
            Menurut Ibnu Khaldun, sebagai mana dikutip A. Hanafi bahwa ilmu kalam adalah “ilmu yang berisikan alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan. Iman dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang yang menyelewengkan dari kepercayaan aliran golongan, salaf dan sunnah’.
            Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bkti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifah (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para rasulNya dengan menggunakan dalil yang pasti untuk mencapai kehidupan abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama dan paling mulia, karena berkaitan dengan Zat Allah dan para RasulNya.

C.  Aqidah

  1. Pengertian Aqidah
            Aqidah kepada Islamiyyah adalah ilmu kepada Allah, para  MalaikatNya,  kitab-kitabNya, para Rasulnya hari akhir kepada Qoda dan Qodar baik dan buruk keduanya dari Allah.
            Sedangkan pengertian aqidah/iman : aqidah adalah ajaran tentang keimanan terhadap keesaan Allah iman artinya: Percaya disebut juga Aqoid atau aqidah segala yang berhubungan dengan kepercayaan disebut dengan iman, iman itu sejenis ibadah yang dilakukan dengan hati, dengan ringkas dapat dikatakan tempat iman itu ada di dalam hati.
v  Ruang Lingkungan Aqidah/Iman meliputi:
1.      Iman kepada Allah
2.      Iman kepada Malaikat Allah
3.      Iman kepada Kitab-kitab Allah
4.      Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
5.      Iman kepada Hari Akhir
6.      Iman kepada Qodo dan Qodar
            Dalam hadist riwayat Muslim dinyatakan bahwa iman itu memiliki 60 sampai 70 cabang, dan cabang yang paling tinggi kualitasnya adalah ikrar. Ikrar dari  Syahadat tauhid ini memiliki arti sesembahan yang hak selain Allah dalam Syahadat ia memiliki dua rukun.
1.      An-Nafyu atau peniadaan (Lailaha) yakni membatalkan syirik dengan segala bentuk dan mewajibkan kekafiran terhadap segala apa yang disembah selain Allah.
2.      Al-Isbat atau penetapan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah dan mewajibkan pengamalan sesuai konsekuensinya.

D.    ALIRAN-ALIRAN TEOLOGI ISLAM
a.    Khawarij
Secara etimologis katakhawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu khuraja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Ini yang mendasari Syahrastani untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun yang dimaksud khawarij dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu skte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim), dalam perang Siffin pada tahun 37 H/648 M, dengan kelompok bughat (pemberontak) Muawiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah.
Doktrin Teologi  aliran Khawarij adalah :
Ø Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun orang itu adalah penganut agama islam.
Ø Islam yang benar adalah Islam yang mereka pahami dan amalkan, sedangkan Islan sebagaimana yang dipahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.
Ø Orang-orang Islam yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke Islam yang sebenarnya, yaitu Islam seperti yang mereka pahami dan amalkan.
Ø Karena pemerintahan dan ulama yang tidak sefaham dengan mereka adalah sesat, maka mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, yakni imam dalam arti pemuka agama dan pemuka  pemerintahan.
Ø Mereka bersifat fanatik dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.

b.  Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atu arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh ampunan Allah. Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan dibelakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.
Doktrin-doktrin teologi Murji’ah :

  •    Iman adalah percaya kepada Allah dan rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
  •   Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

c.       Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-munjid, dijelaskan bahwa Jabariyah berasal dari kata jabara  yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mublaghah), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan al-insan majbur (dalam bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama) setelah ditarik menjadi jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan, bahwa faham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.


Para pemuka Jabariyah beserta doktrin-doktrinnya :
Menurut Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Di antara Jabariyah ekstrimadalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan pebuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya..
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah:
1.         Jahm bin Sofwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan teologinya adalah: Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Surga dan neraka tidak kekal. Iman adalah ma’rifat atau pembenaran dalam hati. Kalam Tuhan adalah makhluk.
2.         Ja’d binDirham
Doktrin pokok ja’d secara umum sama dengan fikiran Jahm. Al-  Ghuraby menjelaskannya sebagai berikut: Al-Qur’an adalah makhluk. Allah tidak mempunyi sifat yang serupa dengan makhluk, sepeti berbicara, melihat, dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai efek untuk mewujudkannya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah moderat berikut ini adalah:
1.        An Najjar Diantara pendapatnya adalah:

  • Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
  • Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
2.       Adh-Dhirar
Doktrin-doktrinnya adalah:

  • Manusia tidak hanya dalang yang digerakkan oleh wayang.
  • Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.

d.  Qadariyah
            Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
            Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tinglah laku manusia, baik yang bagus maupun jahat. Namun, sebutan tersebut telah nelejat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Doktrin-doktrin Qadariyah
Ø Mewujudkan tindakan manusia tanpa campur tangan tuhan.
Ø Manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas perbuatannya.
Ø Berhak mendapatkan pahala atas kebaikannya ysng dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.

e.       Mu’tajilah
            Secara harfiah, kata Mu’tajilah berasal dari kata i’tajala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis, istilah murji’ah menunjuk pada dua golongan.
            Golongan pertama(selanjutnya disebut Mu’tajilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik,khususnya dalam arti bersikap lunak da menandatangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya,terutama Mua’wiyah, Aisyah dan Abdullah bin Jubair’. Menurut seorang penulis,golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tajilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah.
            Golongan kedua(selanjutnya disebut Mu’tajilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini  muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.


DAFTAR PUSTAKA


  • Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada. Jakarta,2011.
  • Hup/tsalatsin.Blogspot.com/2009/11/Sejarah munculnya teologi islam.Html.
  • Rozak, Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung,2001.
  • Muhammad, Tengku, Ash-Shiddiqy,Hasbi, Ilmu Tauhid/Kalam,Pustaka Rezki Putra, Semarang, 2010.
  • Monang, Sori, Diktat Ilmu Tauhid

Pokok-pokok Muamalah


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri yakni membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak hal ini, yang bertujuan untuk mencukupkan kebutuhan sehari-hari. Baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam-meminjam, bercocok tanah atau usaha-usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Agar hubungan mereka berjalan dengan lancar dan teratur, maka agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya.

MAQASHID AL – TASYRI’I AW SYARI’AH

BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Setiap manusia pastilah membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas dar hal ini karena manusia adalah makhluk social, dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan orang lain. Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan tuhan melalui ibadah yang di lakukan setiap hari. Islam dalam hal ini telah di atur semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuan yang berlaku. Ilmu fiqh telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada masalah yang dahulu belum ada dan belum terpikirkan.

RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian  Fiqh ?
2.      Apa pengertian darii Ushul Fiqh ?
3.      Pengertian Maqashid al-syariah
4.      Tujuan umum Maqasid al- Tasryi aw Syari’ah ?
5.      Apa saja macam-macam hukum  Al-Tasryi’ ?

TUJUAN PEMBAHASAN
Makalah ini di susun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti hal-hal yang berhubungan dengan ilmu ushul fiqh, mulai dari pengertian, definisi,macam-macam apa yang harus kita lakukan dengan benar, dan lain sebagainya.


 BAB 2
 PEMBAHASAN
Pengertian Fiqh dan Ushul fiqh
Pengertian Fiqh
Menurut bahasa, Fiqh berarti pemahaman yang mendalam. Dan menurut istilah Fiqh dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan pokok ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat amali dan keduanya tentang dalil-dalil tafsili.[1]
Beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Definisi yang di ajukan Abu Hanafiah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karena itu sesuai dengan pengertian fiqih yang di sebutkannya itu, istilah fiqih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukun ibadah, dan mu’amalah.
Jadi fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hokum allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Definisi fiqh secara umum,ialah suatu ilmu yang mempelejari bermacam-macam syariat atau hukum  islam dan berbagai macam aturan hudup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat social.
Pengertian Ushul Fiqh
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan pebuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.[2]
Tujuan  yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat di keluarkan suatu hokum yang tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hokum yang lain. Selain itu dapat juga di jadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab di antara para imam mujtahid.

Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan.[3]
Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Syekh Muhammad abu Zahra dalam kitabnya ushul fiqh merumuskan tiga tujuan kehadiran hokum islam:
    Membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bagi orang lain, tidak menjadi sumber keburukan bagi orang lain.
     Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik  sesama muslim maupun nonmuslim.
 Merealisasikan kemaslahatan.
Tujuan ketiga ini merupakan tujuan puncak yang melekat pada hokum islam secara keseluruhan.maka tidak ada syariat yang berdasarkan al-qur’an dan hadis kecuali didalamnya terdapat kemaslahatan yang hakiki dan berlaku secara umum.
Tujuan umum maqasyid syariah
Imam al-syatibi dalam kitab al-muwafaqat berkata : “sekali-kali tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan rangka mencegah kemafsadatan yang akan menimpa mereka.”
Tujuan umum dari hokum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan hokum islam adalah kemaslahatan yang hakiki yang beroriebtasi kepada terpeliharanya lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Dengan kelima perkara inilah manusia dapat menjalankan kehidupannya yang mulia.[4]
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dari maqashid al-syariat, maka berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh fathurrahman djamil. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhannya masing-masing.
Memelihara agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara agama dalam tingkat daruriyat (pokok), yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu.
2.      Memelihara agama dalam tingkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian.
3.      Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat,yaitu mengikuti petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
Memelihara jiwa (hifz an-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan tiga peringkat yaitu:
1.      Memelihara jiwa dalam tingkat daruriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
2.      Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat seperti dibolehkannya berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat.
3.      Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
 Memelihara akal (hifz al-aql)
Memelihara akal dapat dilihat dari segi kepentingannya yaitu :
1.      Memelihara akal dalam tingkat daruriyat seperti diharamkannya meminum minuman keras.
2.      Memelihara akal dalam tingkat hajiyat seperti anjuran untuk menuntut ilmu pengetahuan .
3.      Memelihara akal pada tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayalatau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
Memelihara keturunan (hifz an-nasl)
Memelihara keturunan,dilihat dari tingkat kebutuhannya yaitu :
1.      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyat seperti disyariatkannya nikah dan larangan zina.
2.      Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat,seperti ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikannya hak talak pada suami.
3.      Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti disyariatkan khitbah (meminang) atau walimah dalam perkawinan.
 Memelihara harta (hifz al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan beberapa tingkat yaitu :
1.      Memelihara harta dalam tingkat daruriyat, seperti disyariatkannya tata cara pemilikikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan  cara tidak sah.
2.      Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti disyariatkan jual beli dengan cara salam.
3.      Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat,seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan.

Macam-macam Tasyri’
Secara umum tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya.
Tasyri’ dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan tasyri’ kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya. Tasyri’ tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat.[5]
Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu :
a. Thaharah
b. Shalat
c .Zakat
d. Puasa
e. I’tikaf
f. Jenazah
g. Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan.
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat.
Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan.Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.
Ulama syafi’iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (uqubat).[6]


BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan. Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
B.SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat.dan apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah kami memohon maaf Karena kami juga dalam masa belajar.



[1]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,(Mesir:Maktabah al- Da’wah al – Islamiyah, tt.).hal:4.
[2] Ibid 5.
[3] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.),hlm:197.
[4] Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh, (al-Raudhah, 1998), Cet. Ke-1, hlm: 268.
[5] Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman:Dar al-Nafais,1991), hal:21

[6] Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al-Islamiyah,(Amman: Dar al-Nafais, 1991), hlm:21